SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

ketika senjata berbicara di nipah (1)

| | |
NIPAH… Sebuah tragedi berdarah yang tak bisa dilupakan. Empat warga tewas tertembus timah panas aparat. Warga lainnya tunggang langgang menyelamatkan diri.

25 SEPTEMBER 1993. Redaktur Pelaksana Harian Surya, Basuki Subianto (mantan wartawan Kompas yang kini jadi pengusaha real estate), tiba-tiba memanggil saya. ”Bec... ada kabar bahwa tadi sore di Nipah, Sampang, Madura, telah terjadi aksi penembakan oleh tentara. Beberapa warga tewas. Kamu segera berangkat.” perintahnya.

Sebagai prajurit (wartawan) tidak ada kata membantah apalagi berani menolak tugas. Malam itu saya ajak Dicky Subagyo --fotografer andalan Jawa Post yang sudah hijrah ke Harian Surya— untuk berangkat ke Nipah, Sampang, Madura. Pria berbadan besar dan berkumis lebat itu kesannya sangat angker. Pergelangan tangan kanannya selalu mengenakan gelang yang terbuat dari akar bahar. Jari jemarinya penuh dengan batu akik yang berjajar di jari-jemarinya.

Saya mengenal Dicky cukup lama. Ia teman akrab saya ketika masih cangkruk di Bengkel Muda Surabaya (Dewan Kesenian Surabaya). Sebelum berangkat saya ajak Sigit, seorang wartawan tergolong masih muda. Usai menyiapkan segala peralatan 'tempur' kami bertiga berangkat ke Nipah dengan menggunakan mobil Kijang milik kantor.

Pukul 20.00, mobil bergerak ke arah Pelabuhan Tanjung Perak, lalu menyeberang ke Madura. Dalam perjalanan menuju Nipah, tepatnya di daerah Bangkalan saya melihat puluhan lelaki mengendong seorang nenek-nenek. Mobil kuhentikan. ”Ini pasti ada yang sakit.... Coba kita tanya, mereka mau kemana,” kataku kepada Dicky.

Kami kemudian keluar dari dalam mobil. Benar! Ternyata, nenek-nenek itu sakit keras, terserang diare. Warga setempat lalu mengendongnya menuju ke rumah seorang dokter Puskesmas. ”Jaraknya apa jauh?” ”Lumayan Pak. Biasanya kalau malam begini sulit mencari angkutan umum,” kata seorang di antara mereka.

Okey...! ”Mari masuk ke dalam mobil. Saya antarkan kalian ke rumah Pak Dokter.” Mengingat jumlah warga yang mengantarkan cukup banyak, maka yang terangkut hanya beberapa orang saja. Sisanya, tetap berjalan kaki meneruskan perjalanan.

Sekitar lima kilometer kemudian, mobil berhenti. ”Itu rumah Pak Dokternya...” Malam itu juga pintu rumah saya ketuk. Sang dokter keluar. Kemudian nenek itu dibawa masuk ke ruang perawatan.

Usai mengantar, kami tancap gas menuju Nipah. Nama desa itu amat asing buat saya, meski selama ini saya kerap bertandang ke sejumlah kota di Pulau Madura. Ketika pemerintah berniat membangun waduk. Untuk itu dibutuhkan 170 Ha lahan dan diproyeksikan dapat mengairi tegalan seluas 1.150 Ha dengan biaya pembangunan Rp 14 milyar. Jika rencana itu terealisasi, maka sejumlah desa dipastikan akan tenggelam demi untuk menghidupi lahan pertanian di daerah itu. Maklum, para petani selama ini hanya mengandalkan tadah hujan.

Pro dan kontra mulai menyeruak sejak isu pembangunan waduk bergulir. Apalagi, proses pembebasan lahan (tanah) dilakukan tidak bijaksana. Sebagian warga mulai melakukan aksi unjuk rasa, ketika pengukuran tanah di bakal calon lokasi Waduk Nipah dimulai.

Apalagi, di daerah Banyuates ada kesimpangsiuran informasi perihal kepastian proses pembebasan tanah bakal calon lokasi waduk dan lokasi genangan di tujuh desa, Pelanggaran Barat, Pelanggaran Timur, Tebanah, Lar-lar, Tolang, Nagasari, Tapa'an.

Bahkan muncul praktek-praktek pembebasan tanah yang pada hakekatnya merupakan praktek penipuan. Yakni, pembebasan tanah dari warga yang sebenarnya bukan pemilik tanah yang sesungguhnya, melainkan saudara pemilik tanah.

"Karena banyak di antara pemilik tanah atau pewaris tanah yang pergi bekerja sebagai TKI menitipkan tanahnya kepada saudaranya. Saudaranya inilah yang menerima uang ganti rugi tanpa diketahui pemilik sesungguhnya," tutur salah seorang warga ketika itu.

Tidak hanya itu, di Banyuates juga beredar surat-surat waris yang tidak sesuai dengan kepemilikan tanah yang sesungguhnya. Surat waris itu direkayasa sedemikian sehingga uang ganti rugi jatuh kepada bukan pemilik tanah. Bahkan, ada oknum petugas yang menekan warga untuk membesarkan luas tanah dan jumlah pohon yang terkena ganti rugi dari keadaan yang sesungguhnya. "Selisihnya nanti diminta oleh oknum petugas," jelas warga lainnya.

Derasnya protes dari warga membuat aparat militer turun ke ke Nipah untuk melakukan pengamanan. Empat warga setempat terkena tembakan senjata aparat keamanan, ketika mereka sedang melakukan aksi penentangan. Tiga warga tewas di tempat adalah Mutirah (55) dan Simoki (30) warga Desa Lar-lar, Nindin (14) warga Desa Talang. Sementara Mohammad (35) warga Desa Lar-lar meninggal di RSUD Dr Soetomo. (achmad subechi)

sumber diSINI

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?