SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Mereka Membela Diri (Mengenang Tragedi Haur Kuning)

| | |
Sebelum peristiwa pembantaian itu terjadi, saya disuruh pulang oleh Kang Abdul Manan. Saya dengar kabar dari seorang murid yang lolos dari pengepungan aparat, penyerangan itu sangat biadab. bayangkan, keponakan Abdul Manan yang waktu itu usianya sekitar 5 tahun; bocah perempuan itu dilempari granat!

Pengepungan pertama, saya berada di sana. Kami menyambut para aparat dengan keakraban. tetapi keributan terjadi ketika Kang Abdul Manan membentak beberapa aparat yang akan masuk ke masjid tanpa melepaskan sepatu.

Saya juga baca di media massa, para murid Abdul Manan yang rata-rata usianya di bawah 10 tahun yang rata-rata adik-adik dan para keponakannya, ditulis rata-rata berusia 35 tahun. dan banyak informasi tidak benar dari media massa tentang Jemaah Haur Kuning. karena itulah saya tidak mudah percaya kepada media massa. Setahu saya, kami tak suka bawa-bawa bambu kuning.

Namun yang lalu biar berlalu. bahkan sekarang keluarga Abdul Manan bersahabat dengan keluarga Rokhamid, seolah-olah peristiwa itu tak pernah ada. sumber masalahnya sepele. hanya masalah potong sapi tanpa memberi daging kepada aparat desa!

Berikut ini saya kutip dari Majalah Tempo, sekedar untuk mengenang orang-orang yang pernah hidup bersama saya bertahun-tahun lamanya.

AKHIRNYA semua orang menyesal. Dan sedih. Tapi sudah terlambat. Korban pun sudah berjatuhan dalam insiden berdarah itu. Tragedi yang menimpa belasan petani miskin di Majalengka (Jawa Barat) ini belakangan terkenal sebagai ”kasus Haur Koneng” (bambu kuning) karena mereka biasa membawa bambu kuning.

Tapi ternyata setidaknya seperti yang tersirat dalam hasil tim pencari fakta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mereka merupakan korban fitnah belaka. Akhir Juli lalu, para petani penghuni empat rumah di Dusun Gunung Seureuh di Lembah Sirna Galih, di kaki Gunung Ciremai, Majalengka itu berusaha bertahan dari kepungan sepasukan polisi dan tentara.

Dengan berdoa minta perlindungan Tuhan, mereka mempersenjatai diri dengan golok, parang, sabit, atau pentungan. Kewaspadaan seperti itu bisa dimaklumi karena mereka dikepung tiga lapis. Lapis pertama, begitu menurut seorang perwira polisi di Majalengka, terdiri dari 14 anggota Sabhara. Lapis kedua adalah satu satuan tempur (SST) Brimob. Dan lapis ketiga adalah SST Yonif 321/Majalengka, yang berjaga-jaga sekitar 400 meter dari lokasi. Padahal mereka hanyalah 15 petani miskin, bahkan 5 di antaranya perempuan dan 2 orang anak-anak.

Bahkan, jauh hari sebelumnya, petugas intel sudah pula disusupkan untuk menyadap informasi mengenai kegiatan para petani itu. Mestinya, bila sang intel mampu mengumpulkan data yang benar, tragedi ini tak akan terjadi. Akibat serbuan itu, delapan orang tewas, termasuk Abdul Manan, pemimpin jemaah Haur Koneng. Lima peluru bersarang di perutnya. Juga dua anak yang masing-masing berusia 12 dan 9 tahun. Beberapa lagi luka parah.

Selain itu, empat rumah hancur dibakar, begitu pula sejumlah kitab agama dalam sebuah lemari besar. ”Ngeri, seperti perang,” cerita seorang kakek yang tinggal tak jauh dari tempat kejadian itu. Prihatin atas kejadian itu, sehari setelah penyerbuan terhadap kelompok Abdul Manan, LBH Bandung membentuk tim pencari fakta, diketuai salah seorang Direktur LBH Bandung, Effendi Saman. Tim ini segera dibentuk, antara lain, dengan alasan perlunya penerapan praduga tak bersalah sehubungan dengan tuduhan bahwa Abdul Manan menyebarkan aliran sesat, dan adanya pelanggaran terhadap hak asasi jemaah tersebut oleh aparat keamanan yang menyelesaikan masalah itu dengan tidak manusiawi.

Di lapangan, tim yang beranggotakan delapan orang itu banyak menemukan hal yang sangat mengejutkan, antara lain: Latar belakang konflik itu adalah sengketa tanah seluas dua hektare (yang dihuni Abdul Manan dan jemaahnya) antara Abdul Manan dan Rokhamid, yang sudah berlangsung turun-temurun. Belakangan, Rokhamid, yang menjadi Kepala Dusun Gunung Seureuh, menuduh Abdul Manan melawan Pemerintah, misalnya tak mau disensus serta tak mau membayar pajak bumi dan bangunan. Rokhamid juga menuduh Abdul Manan menyebarkan aliran sesat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal, Abdul Manan, yang 12 tahun belajar agama di beberapa pesantren, hanya mengajarkan wirid atau zikir seperti lazimnya kaum tarekat di kalangan, misalnya, NU. Abdul Manan dan jemaahnya kritis terhadap beberapa peraturan Pemerintah. Ia, misalnya, mengkritik pajak bumi dan bangunan, yang menurutnya tidak ada kaitannya dengan usaha menyejahterakan rakyat. Ia mengajak kelompoknya menyendiri atau hijrah (tapi dituduh memutuskan silaturahmi) untuk menghindari kebiasaan membeli SDSB atau mabuk-mabukan.

Pihak aparat desa dan kecamatan tidak pernah berusaha menjembatani perbedaan itu dengan bijaksana, misalnya lewat musyawarah dalam Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Kepala desa malah melaporkannya ke Serka Sri Ayem, Kepala Sektor Bantar Ujek, yang belakangan tewas dikeroyok jemaah Abdul Manan.

Aparat keamanan tidak menyelesaikannya secara persuasif dan edukatif, tapi menggunakan pendekatan keamanan dan represif, misalnya mengepung mereka dengan sepasukan polisi dan tentara sampai tiga lapis, melempari mereka dengan granat gas air mata, dan membakar rumah dengan bom molotov. Tim LBH itu juga menyimpulkan bahwa jemaah Abdul Manan semata-mata membela diri ketika anggota polisi Sri Ayem, yang melakukan penembakan ke arah mereka, tewas di tangan pengikut Abdul Manan.

Menurut sumber di Polres Majalengka, temuan tim LBH itu tidak seluruhnya benar. Tidak benar aparat keamanan menyerang lebih dulu. Polisi, katanya, juga sudah melakukan pendekatan persuasif dan edukatif dengan memanggil mereka untuk ”dimintai keterangan”. Tentu saja yang dipanggil enggan datang karena rakyat kecil di mana pun selalu beranggapan bahwa dipanggil oleh polisi berarti ditangkap. Gara-gara tak mau memenuhi panggilan itulah mereka dianggap membangkang.

Lalu dikerahkanlah pasukan polisi dan tentara terutama setelah sebelumnya terjadi pemukulan terhadap Kepala Dusun, Rokhamid, oleh jemaah Abdul Manan. Kini LBH Bandung sudah mendapat surat kuasa dari para korban yang dirawat di rumah sakit dan yang ditahan di Polres Majalengka untuk menjadi pembela. Adapun hasil temuan tersebut akan disampaikan ke Komisi Hak-Hak Asasi Manusia PBB, DPR, dan Pangab. ”Kepada Pangab, kami minta agar pelaku penembakan itu segera diadili,” ujar Effendi Saman. Sampai kini tampaknya yang akan ke pengadilan hanya para pengikut Abdul Manan. Mereka dituduh bertanggung jawab atas tewasnya Serka Sri Ayem.

Sumber : Majalah Tempoaktif

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?