SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Sjafruddin Prawiranegara dan Mr Assaat, Presiden dari Padang yang Terlupakan

| | | 0 komentar
Pengamat sejarah Prof Dr Muchlis Muchtar mengatakan, dua tokoh Sumatra Barat, Sjafruddin Prawiranegara dan Mr Assaat, pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia di masa revolusi fisik, namun nama mereka tidak pernah disebutkan dalam daftar nama Presiden RI.

“Dalam daftar nama-nama Presiden RI hanya terdapat delapan nama presiden, padahal seharusnya sepuluh nama, termasuk Sjafruddin Prawiranegara dan Mr Assaat,” kata Muchlis di Padang, Rabu. Menurut dia, masih belum ada alasan yang dikemukakan mengapa dua tokoh pejuang asal Sumbar itu tidak tercatat secara resmi sebagai Presiden. “Mungkin karena alpa, tetapi mungkin juga disengaja,” katanya.

Ia menjelaskan, Sjafruddin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Presiden merangkap menteri pertahanan, penerangan dan luar negeri ad interim pada pada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949.

PDRI, katanya, dibentuk untuk menyelamatkan pemerintahan RI pasca agresi militer Belanda ke II pada 19 Desember 1948 atas Ibukota RI Yogyakarta dan menahan Presiden dan Wakil Presiden RI, Soekarno/Hatta. Saat dalam penangkapan itu, Presiden Soekarno mengirim telegram kepada Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran RI dan tengah berada di Bukittinggi, Sumatra Barat.

Dalam telegramnya, Presiden Soekarno menyebutkan, jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, maka kami (Soekarno/Hatta) menugaskan Mr Sjafruddin Prawiranegara membentuk pemerintahan darurat di Sumatra.

Dalam situasi itu, Sjafruddin dan tokoh-tokoh bangsa lainnya di Sumatra membentuk PDRI untuk menyelamatkan negara RI yang dalam keadaan berbahaya karena tengah terjadi kekosongan kepala pemerintahan yang menjadi salah satu syarat internasional untuk diakui sebagai negara.

PDRI diproklamasikan, 22 Desember 1948 di Desa Halaman, sekitar 15 Kilometer dari Payakumbuh dan Sjafruddin Perwiranegara menjabat sebagai Presiden merangkap menteri pertahanan, penerangan dan luar negeri ad interim.

Jabatan itu berakhir setelah Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden RI, Soekarno yang kembali ke Yogyakarta pada 13 Juli 1949, sekaligus berakhir pula riwayat PDRI. Sementara itu, Mr Assaat pernah dipercaya menjabat Pemangku sementara jabatan Presiden Republik Indonesia (RI) pada periode 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950.

Jabatan itu diamanatkan kepada Mr Assaat, setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949 dimana pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia kepasa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS).

RIS merupakan negara serikat terdiri dari 16 negara bagian dan salah satunya adalah Republik Indonesia (RI) yang saat itu dipimpin pemangku sementara jabatan Presiden, Mr Assaad. Jabatan tersebut dipangku Mr Assaat, karena Soekarno dan Mohammad Hatta ditetapkannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden RIS, sehingga terjadi kekosongan pimpinan di RI.

Menurut Muchlis Muchtar, pada saat kekosongan pimpinan RI itu, Mr Assaat tampil sebagai Pemangku sementara jabatan Presiden RI sekaligus mempertahankan kedaulatan RI. Peran dilakukan Mr Assaat saat penting, karena jika RI tanpa pimpinan, berarti ada kekosongan dalam sejarah Indonesia dimana RI pernah hilang dalam perjalanan bangsa ini, tambahnya.

Jabatan Mr Assaat sebagai pemangku sementara jabatan Presiden RI, berakhir setelah Belanda dan dunia internasional mengakui kembali kedaulatan RI dan RIS dilebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (RIS) pada 15 Agustus 1950.

Dengan pengakuan NKRI maka Soekarno dan Mohammad Hatta kembali ditetapkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, sekaligus berakhir pula jabatan Mr Assaat sebagai pemangku sementara jabatan Presiden RI.

sumber : surya online

Kasus Balibo Tak Perlu Dibuka Lagi

| | | 0 komentar
Jakarta, 10 September 2009 07:30
Departemen Luar Negeri menyatakan, kasus pembunuhan lima wartawan asing di Balibo, Timor Leste, pada tahun 1975 sudah selesai dengan kesimpulan bahwa kematian mereka karena kecelakaan.

"Indonesia tidak melihat adanya suatu kepentingan untuk membuka kasus ini lagi. Sudah disimpukan bahwa kematian kelima wartawan asing tersebut adalah karena kecelakaan bukan disengaja" kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah, di Jakarta, Rabu (9/9).

Hal ini diungkapkannya terkait dengan pengumuman Kepolisian Federal Australia (AFP), Rabu (9/9), yang memberikan konfirmasi bahwa proses investigasi kasus penembakan lima wartawan Australia di Timor Leste yang kemudian dikenal dengan nama kasus "Balibo Five" telah dimulai pada 20 Agustus 2009.

"Tuduhan kejahatan perang yang dilakukan di luar negeri memiliki masalah hukum yang kompleks dan masalah faktual yang harus dipertimbangkan secara hati-hati oleh penegak hukum sebelum memutuskan untuk menyelidikinya," ujar pernyataan AFP.

Dalam insiden Balibo Five ada lima wartawan asing yang tewas. Mereka adalah reporter Greg Shackleton (Australia), perekam suara Tony Stewart (Australia), juru kamera Gary Cunningham (Selandia Baru), juru kamera Brian Peters (Inggris), dan reporter Malcolm Rennie (Inggris).

Pihak Indonesia menyatakan, kelima wartawan tersebut tewas di tengah baku tembak antara "sukarelawan Indonesia" dan anggota Fretilin, sementara kesimpulan Pengadilan Glebe Coroners Negara Bagian New South Wales (NSW) menyatakan bahwa personel TNI merupakan pihak yang membunuh lima wartawan Australia itu.

Indonesia dan Timor Leste sendiri sejak pengumuman jajak pendapat di Timor Leste pada tahun 1999 sepakat tidak membongkar lagi kasus-kasus lama terkait HAM antara tahun 1975 hingga tahun 1999.

Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menyatakan, hasil jajak pendapat di Timor Timur pada tahun 1999, merupakan buah dari reformasi di Indonesia. Sebagaimana negara Indonesia mengakui Timor Leste yang merdeka, MPR saat itu pada tahun 1999 juga mengakui hasil jajak pendapat.

Sejak itu, katanya, Indonesia, yang bertekad mengembangkan hubungan bertetangga baik yang rekonsiliatif mencari cara mengatasi beban sejarah masa lalu dan melangkah melihat masa depan.

Sejak awal 2000, kedua pemerintahan berusaha mencari pemecahan masa lalu, yang terjadi menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat di Timor Leste. "Opsi pertama adalah melalui pendekatan hukum dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran dan persahabatan yang tidak berujung pada peradilan," Wirajuda.

Menurutnya kedua pemerintahan sepakat untuk menempuh jalan yang kedua yakni melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Hasil investigasi komisi tersebut telah diterima, dan pada Juli 2009 lalu telah dilaporkan kepada kedua kepala negara. Kedua negara juga sepakat untuk tidak melibatkan negara ketiga atau pihak internasional jika ada masalah di lingkup hubungan bilateral.

sumber gatra

ketika senjata berbicara di nipah (habis)

| | | 0 komentar
Kalau Kalian Mati...


TEPAT pukul 22.00 mobil yang kami tumpangi tiba di mulut desa menuju Nipah. Suasananya benar-benar menegangkan. Tak ada satu pun warga setempat yang berani keluar rumah. Di mulut desa, saya melihat puluhan aparat militer bersenjata laras panjang siaga I.

”ANDA darimana?” bentak seorang ’serdadu’ dengan garangnya. ”Kami dari Surya” kata saya. ”Bukan di sini tempatnya. Kantor Surya di sana...” kata petugas itu. Mendapat jawaban tersebut saya mulai cemas, sedikit ketakutan karena memang situasinya tidak memungkinkan.

Rekan saya Dicky yang ada di dalam mobil, tak kalah takutnya. Selanjutya mobil bergerak ke arah utara. Empat ratus meter kemudian, kami berhenti. Ternyata di tepi jalan, ada agen rokok Surya. ”Oh... kita tadi itu dikira karyawan rokok Surya...” gurau saya kepada Dicky.

Meski saya sedikit menghibur, namun rasa takut Dicky masih kelihatan. Dia diam seribu basah. Begitu juga Sigit, wartawan yang masih pemula. ”Dick... kita enggak mungkin berdiam di sini sampai pagi. Pak Bas sudah mengingatkan agar kita membuat laporan via telepon...”

Saya lalu keluar dari dalam mobil. Seorang warga saya tanya soal insiden Nipah. Ia membenarkan dan meminta saya agar menemui skretaris desa. Malam itu juga kami mendatangi rumah sekretaris desa. Di sana, kami mendapat penjelasan panjang lebar.

”Yang membuat surat kepada Pak Gubernur Jatim tadi saya. Termasuk melaporkan kronologi kejadiannya,” tuturnya. Apakah bisa Anda mengambil surat telegram yang dikirim ke gubernur? ”Wah kami tidak berani. Kantor saya ada di sekitar Nipah. Dan untuk masuk ke sana agak susah karena banyak tentara yang berjaga-jaga...”

Usai mendapatkan informasi awal, kami segera berangkat ke Bangkalan mencari wartel. Melalui wartel itupula saya melaporkan kasus penembakan Nipah ke markas besar Harian Surya. Usai memberikan laporan, kami balik lagi ke rumah sekretaris desa.

Di tempat itulah kami mulai mengatur siasat agar bisa tembus ke Nipah. Rencana menerobos ke TKP diatur sedemikian rupa. Agar identitas kami tidak ketahuan, maka kami minta Pak Sekretaris Desa menyiapkan seorang pemuda setempat agar ikut dalam rombongan kami. Sekitar pukul 06.00, mobil bergerak menuju lokasi.

Tiba di mulut desa, puluhan anggota militer menghentikan kami. ”Mau kemana?” ”Pulang Pak... Rumah saya disana....” sahut pemuda itu. Sementara Dicky, sahabat saya yang berpenampilan ala militer karena berkumis lebat, terlihat ketakutan. ”Silakan...”

Lolos dalam pemeriksaan, saya tanya kepada pemuda itu. ”Kita nanti menuju ke rumah siapa?” ”Rumah Pak Klebun (kepala desa) aja...” ”Apa teman saya yang satu ini tidak terancam jiwanya kalau masuk kesana? Dia potongannya kayak militer. Apalagi warga kan sekarang benci sama tentara?” Mendengar pertanyaan itu, Dicky semakin ketakutan. ”Bec... saya tiduran saja di dalam mobil biar enggak ketahuan,” tuturnya.

Mobil berhenti di depan balai desa. Puluhan warga bersenjata celurit terlihat sedang rapat di pendopo. Ketika saya turun dari dalam mobil, mereka semua pada berdiri lengkap dengan senjatanya. ”Assalamuallaikum...” sapa saya. Mereka semua membalas salam saya.

”Kami dari wartawan... Kami datang kesini untuk mendapatkan informasi mengenai kasus penembakan oleh militer..” ”Silakan duduk. Ini kebetulan... kami sedang membahas bagaimana caranya mengambil mayat-mayat itu di TKP...” kata seorang diantara mereka. Ketika susananya terlihat kondusif, Dicky turun dari dalam mobil dengan wajah yang agak pucat karena ketakutan. Ia lalu saya perkenalkan kepada warga lainnya.

Beberapa jam setelah rapat, masa mulai bergerak menuju ke TKP. Kami diajak serta melewati bukit-bukit tandus yang saya sendiri tidak tahu mana utara, selatan dan timur. Sambil berjalan kaki, massa masing-masing membawa senjata celuritnya.

Setengah jam dalam perjalanan, tiba-tiba massa berhamburan. Mereka berlarian kesana-kemari, karena berpapasan dengan empat orang tentara bersenjata laras panjang dan satu basoka. Kami berusaha lari. Tapi, percuma. Kami tidak tahu jalan. Kedua tangan saya angkat tanda menyerah. Tentara-tentara itu lalu memeriksa kami.

”Dari wartawan? Kalau kalian mati di sini kami tidak bertanggung jawab. Ini merupakan daerah konflik,” kata seorang diantara mereka sambil meminta kami berjalan menuju ke rumah salah seorang penduduk yang belakangan ini dijadikan Posko militer.

Seorang pemandu jalan yang ikut dalam rombongan saya juga ikut ditangkap. ”Lapor Ndan...(komandan) . Ini ada wartawan yang masuk ke daerah sini...” kata seorang prajurit kepada atasannya berpangkat letnan satu. Kami disuruh duduk di kursi dan diintrograsi. Kartu pers dan KTP diperiksa. ”Kami tidak bertanggung jawab jika Anda mati terbunuh di sini. Ini daera konflik. Kami saja tidak berani mendekati TKP, apalagi Anda,” kata sang letnan kepada saya dengan ketusnya.

Sebelum panjang lebar mengintrograsi kami, pikiran saya mulai berputar mencari akal. Aha... saya menemukan jawaban. ”Kami datang kemari bukan atas kemauan sendiri. Kami datang ke Nipah atas perintah Pangdam Brawijaya dan Kapolda Jatim. Beliau-bveliau tadi datang ke kantor kami dan meminta agar ada wartawan yang berangkat ke Nipah untuk melihat kebenaran bahwa sesungguhnya tentara tidak bersalah,” tutur saya.

Eit....! Letnan itu keder juga. ”Oh... Jadi apa yang bisa saya bantu?” tanyanya. “Kami minta data-data dan kronologinya,” kata saya. Usai mendapat penjelasan, sang letnan kembali bertanya, ”Anda kemarin naik apa?” ”Kami membawa mobil Kijang...” ”Kalau begitu... kami bisa titip prajurit saya. Mereka mau ke kota membeli makanan.” ”Okey...” jawabku.

Setidaknya ada lima anggota militer bersenjata lengkap --termasuk senjata basoka yang pernah ditodongkan ke saya-- ikut naik ke dalam mobil. Di dalam mobil, mereka sempat bercerita panjang lebar mengenai aksi penembakan yang terjadi di Nipah. Apalagi, pada saat kejadian, mereka-lah militer yang menghadapi rakyat kecil nan hanya bermodalkan hati nurani dan keberanian untuk mencari kebenaran.... Setelah kami kembali ke Surabaya, kasus Nipah akhirnya meledak. Wartawan nasional maupun internasional, termasuk para pejabat dan anggota DPR RI, berdatangan ke Nipah... (achmad subechi)

SUMBER :di sini

ketika senjata berbicara di nipah (1)

| | | 0 komentar
NIPAH… Sebuah tragedi berdarah yang tak bisa dilupakan. Empat warga tewas tertembus timah panas aparat. Warga lainnya tunggang langgang menyelamatkan diri.

25 SEPTEMBER 1993. Redaktur Pelaksana Harian Surya, Basuki Subianto (mantan wartawan Kompas yang kini jadi pengusaha real estate), tiba-tiba memanggil saya. ”Bec... ada kabar bahwa tadi sore di Nipah, Sampang, Madura, telah terjadi aksi penembakan oleh tentara. Beberapa warga tewas. Kamu segera berangkat.” perintahnya.

Sebagai prajurit (wartawan) tidak ada kata membantah apalagi berani menolak tugas. Malam itu saya ajak Dicky Subagyo --fotografer andalan Jawa Post yang sudah hijrah ke Harian Surya— untuk berangkat ke Nipah, Sampang, Madura. Pria berbadan besar dan berkumis lebat itu kesannya sangat angker. Pergelangan tangan kanannya selalu mengenakan gelang yang terbuat dari akar bahar. Jari jemarinya penuh dengan batu akik yang berjajar di jari-jemarinya.

Saya mengenal Dicky cukup lama. Ia teman akrab saya ketika masih cangkruk di Bengkel Muda Surabaya (Dewan Kesenian Surabaya). Sebelum berangkat saya ajak Sigit, seorang wartawan tergolong masih muda. Usai menyiapkan segala peralatan 'tempur' kami bertiga berangkat ke Nipah dengan menggunakan mobil Kijang milik kantor.

Pukul 20.00, mobil bergerak ke arah Pelabuhan Tanjung Perak, lalu menyeberang ke Madura. Dalam perjalanan menuju Nipah, tepatnya di daerah Bangkalan saya melihat puluhan lelaki mengendong seorang nenek-nenek. Mobil kuhentikan. ”Ini pasti ada yang sakit.... Coba kita tanya, mereka mau kemana,” kataku kepada Dicky.

Kami kemudian keluar dari dalam mobil. Benar! Ternyata, nenek-nenek itu sakit keras, terserang diare. Warga setempat lalu mengendongnya menuju ke rumah seorang dokter Puskesmas. ”Jaraknya apa jauh?” ”Lumayan Pak. Biasanya kalau malam begini sulit mencari angkutan umum,” kata seorang di antara mereka.

Okey...! ”Mari masuk ke dalam mobil. Saya antarkan kalian ke rumah Pak Dokter.” Mengingat jumlah warga yang mengantarkan cukup banyak, maka yang terangkut hanya beberapa orang saja. Sisanya, tetap berjalan kaki meneruskan perjalanan.

Sekitar lima kilometer kemudian, mobil berhenti. ”Itu rumah Pak Dokternya...” Malam itu juga pintu rumah saya ketuk. Sang dokter keluar. Kemudian nenek itu dibawa masuk ke ruang perawatan.

Usai mengantar, kami tancap gas menuju Nipah. Nama desa itu amat asing buat saya, meski selama ini saya kerap bertandang ke sejumlah kota di Pulau Madura. Ketika pemerintah berniat membangun waduk. Untuk itu dibutuhkan 170 Ha lahan dan diproyeksikan dapat mengairi tegalan seluas 1.150 Ha dengan biaya pembangunan Rp 14 milyar. Jika rencana itu terealisasi, maka sejumlah desa dipastikan akan tenggelam demi untuk menghidupi lahan pertanian di daerah itu. Maklum, para petani selama ini hanya mengandalkan tadah hujan.

Pro dan kontra mulai menyeruak sejak isu pembangunan waduk bergulir. Apalagi, proses pembebasan lahan (tanah) dilakukan tidak bijaksana. Sebagian warga mulai melakukan aksi unjuk rasa, ketika pengukuran tanah di bakal calon lokasi Waduk Nipah dimulai.

Apalagi, di daerah Banyuates ada kesimpangsiuran informasi perihal kepastian proses pembebasan tanah bakal calon lokasi waduk dan lokasi genangan di tujuh desa, Pelanggaran Barat, Pelanggaran Timur, Tebanah, Lar-lar, Tolang, Nagasari, Tapa'an.

Bahkan muncul praktek-praktek pembebasan tanah yang pada hakekatnya merupakan praktek penipuan. Yakni, pembebasan tanah dari warga yang sebenarnya bukan pemilik tanah yang sesungguhnya, melainkan saudara pemilik tanah.

"Karena banyak di antara pemilik tanah atau pewaris tanah yang pergi bekerja sebagai TKI menitipkan tanahnya kepada saudaranya. Saudaranya inilah yang menerima uang ganti rugi tanpa diketahui pemilik sesungguhnya," tutur salah seorang warga ketika itu.

Tidak hanya itu, di Banyuates juga beredar surat-surat waris yang tidak sesuai dengan kepemilikan tanah yang sesungguhnya. Surat waris itu direkayasa sedemikian sehingga uang ganti rugi jatuh kepada bukan pemilik tanah. Bahkan, ada oknum petugas yang menekan warga untuk membesarkan luas tanah dan jumlah pohon yang terkena ganti rugi dari keadaan yang sesungguhnya. "Selisihnya nanti diminta oleh oknum petugas," jelas warga lainnya.

Derasnya protes dari warga membuat aparat militer turun ke ke Nipah untuk melakukan pengamanan. Empat warga setempat terkena tembakan senjata aparat keamanan, ketika mereka sedang melakukan aksi penentangan. Tiga warga tewas di tempat adalah Mutirah (55) dan Simoki (30) warga Desa Lar-lar, Nindin (14) warga Desa Talang. Sementara Mohammad (35) warga Desa Lar-lar meninggal di RSUD Dr Soetomo. (achmad subechi)

sumber diSINI

Pesanan Bodong dari Manila

| | | 0 komentar
Seratus pucuk senjata serbu dan sepuluh pistol buatan PT Pindad disita Bea Cukai Filipina. Si pemesan raib tak tentu rimba.
PELABUHAN Tanjung Priok, awal Agustus la lu. Sebuah kapal berbendera Panama bergerak perlahan mendekati dermaga. Seluruh lambung kapal dicat hitam pekat. Ada tulisan ”Captain Ufuk” di sisinya. Di atas geladak, nakhoda berkebangsaan Inggris, Kapten Bruce Jones, menghubungi PT Tirta Samudera Caraka, agen perusahaan kargo yang mengurus barang muatannya di Jakarta.

Joni, anggota staf Tirta Samudera yang kita sebut saja namanya demikian, minta tambahan waktu. ”Dokumen barang masih diperiksa di bea cukai,” katanya melaporkan situasi. Jones lalu memutuskan menurunkan jangkar satu setengah mil dari pelabuhan. Ia menunggu.

Tiga hari kemudian, pemeriksaan rampung. Captain Ufuk bergerak lagi mendekati pelabuhan. Memasuki kawasan dermaga, mendadak enam speedboat berisi selusin polisi dari Kepolisian Sektor Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan merapat di sisi kanan dan kiri kapal. Patroli pelabuhan ini terus mengawal kapal dengan berat lebih dari 2.400 ton itu sampai berlabuh di Terminal Besi Bekas, Tanjung Priok.

Di dermaga, sudah menunggu tujuh petugas dari satuan polisi air dan udara berseragam lengkap. Di samping mereka tampak setumpuk peti kayu. Itulah muatan yang dicari kapal Captain Ufuk: 100 pucuk senjata laras panjang SS1-V1 dan 10 pistol P2 kaliber 9 x 19 mm. Semuanya buatan PT Pindad, perusahaan milik negara yang khusus memproduksi peralatan militer. Menurut dokumen pengiriman, semua pistol itu pesanan Filipina. Sedangkan sera tus senjata serbu dipesan pemerintah Republik Mali, nun di Afrika.

Semua senjata serbu dipak dalam 20 boks kayu. Setiap peti berukuran 60 x 80 x 40 sentimeter. Setiap kotak sesak berisi lima pucuk senapan SS1-V1 kaliber 5,5 lengkap dengan 15 magasin, lima bayonet, dan lima tali sandang. Berat setiap pucuk senjata sekitar empat kilogram.

Dibutuhkan waktu tiga jam untuk memuat peti-peti tersebut ke atas kapal tua buatan 1967 itu. Sabtu malam, sekitar pukul sepuluh, pada akhir pekan kedua Agustus lalu, kapal akhirnya bergerak meninggalkan Tanjung Priok. ”Saya pikir itu ekspor senjata resmi,” kata Asisten Manajer Pelayanan Pelanggan dan Humas PT Pelabuh an Indonesia II, Hambar Wiyadi, saat ditemui pekan lalu. ”Semua suratnya lengkap.”

Tak sampai dua pekan kemudian, kapal itu membuat berita. Petugas Bea Cukai Filipina menahannya di Port Mariveles, Manila, pada 20 Agustus. Semua muatan disita, termasuk senjata-senjata buatan Pindad. Yang membuat kabar ini makin heboh adalah keterangan polisi Filipina: sebagian kotak kayu di atas kapal sudah kosong. Lebih dari separuh senjata Pindad raib.

”Kami menyelidiki kemungkinan senjata ini dikirim untuk teroris atau untuk kepentingan politik tertentu,” kata Fernandino Tuason, Kepala Intelijen dan Penyelidikan Bea Cukai Filipina, seperti dikutip koran lokal The Phi lippine Star. Nama Pindad dan Tentara Nasional Indonesia pun terseret-seret. Pertanyaan besar muncul: mengapa kiriman senjata resmi dari Indonesia dianggap barang haram di Filipina?

l l l
TRIYONO Adi Susilo, Deputi Direktur Bidang Pemasaran dan Penjualan Produk Militer PT Pindad, masih ingat awal dari kisruh pengiriman senjata ini. Akhir tahun lalu, dia menerima sepucuk surat elektronik berisi penjajak an pembelian pistol P2 dan senjata laras panjang tipe SS1-V1 dari seseorang yang mengaku bernama William Nestor del Rosario.

Dalam suratnya, Rosario mengaku mewakili agen senjata Red White Blue (RWB) Arms Incorporated, yang berkantor di kawasan bisnis Makati, Manila, Filipina. Selain bergerak dalam bidang jual-beli senjata, RWB merupakan asosiasi penembak amatir yang terdaftar resmi di Manila. ”Pistol itu dibeli untuk klub menembak di Manila, sedangkan senjata serbu adalah pesanan Republik Mali,” kata Triyono.

Rosario bukan nama baru untuk Pindad. Dia berulang kali menjajaki pembelian senjata untuk klub menembaknya di Manila. Karena itulah surat elektroniknya yang terakhir ditang gapi serius. Apalagi, ”Saat diberi tahu total nilai pembeliannya Rp 810 juta, dia langsung setuju,” kata Triyono.

Departemen Pertahanan lalu meminta surat jaminan pengguna akhir (end user’s certificate) yang diterbitkan Kepolisian Filipina dan Departemen Keamanan Dalam Negeri Republik Mali, sebagai syarat pembelian senjata antarnegara.

Permintaan itu dianggap kecil oleh Rosario. Dalam waktu singkat, kedua dokumen penting itu sudah dikirim ke Pindad. Surat dari Mali diketik rapi di atas kop meyakinkan: Ministry of Internal Security and Civil Protection, Quartier du Fleuve Bamako-Mali.

Setelah semua syarat dokumen lengkap, Desember tahun lalu, Pindad pun memohon izin ekspor senjata ke Departemen Pertahanan. Surat permohonan klarifikasi keamanan (security clearance) juga dilayangkan ke Asisten Intelijen Panglima Tentara Nasional Indonesia. Kedua surat yang diminta terbit tak sampai sebulan kemudian. ”Jadi semuanya legal,” Triyono menegaskan.

Kontrak jual-beli lalu diteken April 2009. Rosario minta pengiriman senjata menggunakan sistem FOB alias free on board. Artinya, Pindad hanya bertanggung jawab mengurus pengiriman dari pabrik mereka di Bandung sampai terbitnya izin ekspor dari Bea Cukai Pelabuhan Tanjung Priok. Pindad setuju. ”Artinya, jika terjadi sesuatu di laut lepas, setelah keluar dari Tanjung Priok, itu bukan kewenangan kami,” kata Sekretaris Perusahaan Pindad Ahmad Jaelani.

Sebenarnya ada pilihan lain: menggunakan sistem cost, insurance, and freight (CIF). ”Tapi, kalau pakai sistem itu, kami yang harus bertanggung jawab sampai barang sampai ke tangan konsumen,” kata Jaelani. Pindad terkesan enggan mengambil risiko. ”Menjaga barang di perjalanan tidak mudah,” katanya.

Setelah harga dan tata cara pengiriman disepakati, pada pekan pertama Agustus, 21 peti kayu berisi senjata pesanan Rosario pun disiapkan.

Pada saat hampir bersamaan, PT Tir ta Samudera Caraka menerima order dari seseorang yang mengaku bernama William Nestor via surat elektronik. Nestor minta Tirta Samudera mengangkut peti-peti senjata dari pabrik Pindad di Bandung ke Pelabuhan Tanjung Priok. ”Kerja sama kami disepa kati lewat e-mail saja,” kata satu anggota staf perusahaan kargo itu pekan lalu.

Begitu semua peti dimuat ke atas kapal, PT Pindad menerima transfer dana via bank sebesar Rp 1 miliar dari Rosario.

l l l
”TIDAK ada pegawai kami yang bernama William Nestor del Rosario,” suara di ujung telepon terdengar setengah membentak. Pekan lalu, Tempo menghubungi kantor RWB Arms Inc. di Makati, Filipina, untuk menelusuri jejak pemesanan senjata Pindad yang dituduh ilegal itu. Nomor telepon kantor perusahaan itu tertera jelas di situs Internet mereka.

Yang menjawab panggilan telepon Tempo adalah seorang pria yang mengaku bernama Michael B. Lontoc, Direktur RWB Arms. ”Saya sudah diinterogasi polisi Filipina kemarin,” katanya masih dengan nada kesal. ”Jawaban saya sama: saya tidak kenal William Nestor.”

RWB Arms baru berdiri Desember tahun lalu. ”Kami memang menangani impor senjata, tapi kebanyakan dari Amerika,” kata Michael. Dia berkeras tak punya relasi atau kontrak bisnis di Indonesia. Dia bahkan heran bagaimana Rosario berhasil memperoleh sertifikat pemakai akhir dari Kepolisian Filipina.

Michael juga menjelaskan bahwa kantor RWB berlokasi di Chino Roces Avenue, Makati City. Sedangkan alamat pengiriman senjata-senjata Pindad yang diberikan Rosario kepada agen kargonya di Jakarta adalah sebuah gudang di Paseo de Roxas, Makati. ”Kami tidak punya kantor atau gudang di Paseo de Roxas,” kata Michael.

Lalu siapa William Nestor del Rosario? Nomor telepon selulernya yang di tinggalkan di Pindad tak pernah aktif lagi. Sesekali nada panggil terdengar, tapi tak pernah diangkat. Kaburnya Rosario membuat ihwal pengiriman senjata ke Mali diselimuti kabut. Juru bicara Pindad, Timbul Sitompul, mengaku sudah meminta bantuan atase militer Indonesia di Kedutaan Besar RI di Mali untuk menelisik asal-usul pemesan senjata ini.

Tapi, masalahnya, Indonesia tidak punya kantor perwakilan di Mali. Kedutaan terdekat ada di Dakar, Senegal. Sebaliknya, Mali juga tak punya kantor di Jakarta. Kedutaan mereka ada di Tok yo—perwakilan yang berperan sebagai wakil Mali untuk Indonesia.

Juru bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengaku tak pernah dihubungi Pindad untuk memeriksa kesahihan pemesanan senjata dari Mali. ”Tidak pernah ada laporan ke sini,” katanya.

Pindad terkesan buang badan da lam kisruh ini. Triyono, misalnya, ber dalih semua prosedur ekspor senja ta sudah dipenuhi. ”Verifikasi kesahih an pe mesanan sudah dilakukan dengan me min ta clearance TNI atas sertifikat pengguna akhir dari pembeli,” katanya.

Lalu bagaimana prosedur verifikasi yang dilakukan TNI? Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen tak memberikan jawaban jelas. Dia memastikan Asisten Intelijen Panglima TNI sudah berkomunikasi dengan atase militer di Kedutaan Besar RI di Manila dan Dakar. ”Anak dan bapak pasti berkomunikasi, mereka pasti melapor ke sini,” katanya. Meski mengaku masih menanti hasil penyelidikan Departemen Luar Negeri dan pihak terkait, Sagom menilai ekspor senjata perdana Pindad ini sudah sesuai prosedur.

Wahyu Dhyatmika, Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Widiarsi Agustina, Sandi Indra, Alwan Ridha (Bandung)

sumber : majalah tempo

Peristiwa Lapangan Banteng, Kerusuhan di Musim Kampanye

| | | 0 komentar
Sebuah amuk meledak menjelang Pemilu tahun 1982. Tanggal 18 Maret 1982, terjadi bentrokan antara para simpatisan partai PPP dengan pendukung Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta. Tetap tak jelas mengenai asal-muasal keributan tersebut bisa terjadi. Apalagi ketika itu semua kebenaran sepenuhnya dipegang oleh pemerintah, dan ketika orang yang menyuarakan perbedaan dianggap sebagai pihak yang salah.

Dan seperti api yang menjalar, kerusuhan segera merembet ke luar lapangan. Aksi segera berubah menjadi perusakan dan penjarahan terhadap mobil-mobil maupun toko-toko dan gedung-gedung yang berada di sekitar lokasi. Aparat Brimob dan ABRI turun ke lapangan untuk mengendalikan massa. Situasi dikuasai aparatur keamanan pada pukul 18.30.

Amuk di Lapangan Banteng itu terjadi justru setelah Pangkopkamtib Laksamana Sudomo melaporkan situasi keamanan kepada Presiden Soeharto. Ketika itu antara lain diperingatkan agar ketiga kontestan yakni PPP, Golkar dan PDI tetap waspada terhadap usaha sisa-sisa G30S/PKI dan golongan ekstrim lainnya yang akan memanfaatkan situasi terutama pada saat massa berkumpul. Menurut Sudomo golongan tersebut bekerja dengan cara melancarkan agitasi dan provaksi kepada massa atau secara langsung melakukan tindakan fisik untuk mengacau keamanan.

Setelah kejadian tersebut, aparat keamanan kemudian menangkap 318 orang, 274 orang di antaranya sebagian besar pelajar SD, SMP dan SMA yang kemudian dilepaskan karena dianggap hanya ikut-ikutan dan masih di bawah umur. Sisanya, sebagian besar simpatisan PPP segera diproses untuk kemudian akan diajukan ke pengadilan. Menurut informasi yang beredar di kalangan pers, tak kurang dari tujuh orang meninggal sia-sia dalam peristiwa tersebut. Namun Sudomo menolak berita tersebut dan mengatakan tidak ada korban jiwa dalam peristiwa Lapangan Banteng tersebut.

Dalam keterangan resmi dari pemerintah melalui Pangkopkamtib Sudomo, peristiwa tersebut merupakan bagian dari suatu rencana yang telah disiapkan sebelumnya oleh suatu kelompok ekstrim. Dan bertujuan selain menggagalkan kampanye Golkar di Lapangan Banteng Jakarta juga demoralisasi Golkar dan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI, suatu organisasi pemuda yang bernaung di bawah Golkar), dan lebih lanjut untuk mencapai sasaran yang bersifat "strategis-politis-subversif".

Sasaran tersebut antara lain untuk mendesain suatu kekacauan yang sama di seluruh Indonesia dengan tujuan menggagalkan Pemilu 1982. Selain itu untuk menggoyahkan pemerintahan dan mendiskreditkan pemerintah, sehingga tercipta kondisi di mana rakyat tidak percaya lagi kepada pemerintah dan oposisi menentang/melawan pemerintah makin meningkat untuk selanjutnya menggulingkan dan mengganti pemerintah.

Menurut penjelasan pemerintah itu walau telah diungkapkan keterlibatan simpatisan maupun anggota PPP dalam peristiwa pengacauan tersebut namun tidak berarti PPP sebagai organisasi telah terlibat. Ditegaskan juga oleh Pangkopkamtib bahwa anggota PPP yang bersangkutan bertindak di luar garis kebijaksanaan PPP dan atas tanggungjawab sendiri.

sumber : dekade 80 an

Imbalan Menyakitkan Karena Menguak Kebenaran

| | | 0 komentar
Bekerja keras untuk sebuah kebenaran, ternyata tidak mesti mendapat imbalan yang menyenangkan. Bahkan mungkin justru sebaliknya, mendapat musibah yang tak pernah terbayangkan. Itulah yang menimpa rekan-rekan wartawan harian Bernas, sebuah harian kecil di Yogyakarta yang telah kehilangan salah seorang wartawan terbagusnya, Fuad Muhammad Syafrudin. Udin, panggilan sehari-hari Fuad Muhammad Syafrudin ini, tewas akibat penganiayaan yang menimpanya. Para wartawan rekan Udin, harus menelan pil pahit, sebagai buntut dari tewasnya rekan mereka dan upaya keras mereka untuk menguak tabir yang menyelimuti kaburnya investigasi kasus Udin ini.
Udin menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah tiga hari melewati masa kritis di rumah sakit Bethesda, akibat penganiayaan terhadapnya yang terjadi pada tanggal 13 Agustus 1996. Dalam kurun waktu lebih dari setahun ini, tanda-tanda terungkapnya kasus pencabutan nyawa secara paksa atas diri Udin, sama sekali belum tampak. Tersangka Dwi Sumaji, yang diyakini publik bukanlah pelaku penganiayaan yang menyebabkan tewasnya Udin, masih menjalani persidangan untuk membuktikan bahwa dia bukan pelakunya.

Dwi Sumaji alias Iwik bukanlah satu-satunya korban buntut rangkaian kasus Udin ini. Seperti diungkap di atas, beberapa wartawan yang terlibat dalam pelaporan dan investigasi kasus Udin juga terkena getahnya.

Di kalangan yang lebih luas, teror dan intimidasi adalah ancaman yang biasa diterima oleh wartawan yang meliput kasus Udin. Khoiri Ahmadi, wartawan Gatra, pernah akan ditabrak oleh laki-laki yang mengendarai motor, saat kembali dari mewawancarai Kuncoro. Keponakan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo inilah yang menolong membawa Udin ke rumah sakit setelah dianiaya. Bahkan, salah seorang wartawan Bernas yang bernama M. Achadi pernah diancam oleh seorang polisi dari Kepolisian Resort Bantul. Masih banyak ancaman lain yang diterima oleh para wartawan Yogyakarta. Terakhir, wartawan tabloid Adil, Kristiana, ditendang motornya oleh pengendara motor lain, sekembalinya dari wawancara dengan Sujarah, tetangga Udin.

Ancaman-ancaman terhadap wartawan yang aktif meliput kasus Udin tidak berhenti sampai di ancaman fisik saja. Setelah mereka bersusah payah mencoba menguak kabut kasus Udin, yang tampaknya sangat tebal ini, mereka bukannya mendapat imbalan yang setimpal dengan perjuangannya. Mereka justru kembali mendapat hantaman yang sangat keras dan menyakitkan. Kali ini, hantaman bukan dari pihak luar atau sumber berita, namun justru dari pihak yang seharusnya menjadi pelindung bagi para wartawan, pihak Bernas sendiri.

Setelah tewasnya Udin, Bernas membentuk tim yang bertugas untuk mengurusi semua masalah yang ada hubungannya dengan kasus Udin. Tim ini dibagi dalam beberapa bidang, seperti tim investigasi, tim peliputan dan penulisan berita, dan hubungan masyarakat yang harus menyediakan informasi untuk berbagai pihak yang ingin menanyakan informasi mengenai kasus ini.

Dalam perjalanannya, tim ini kemudian mengecil dan tinggallah Tim Kijang Putih (TKP) yang terdiri dari beberapa wartawan Bernas dan wartawan media lain. Tim ini disebut TKP karena setiap menjalani tugasnya, tim ini selalu memakai mobil Kijang putih milik Bernas. Merekalah yang terus berupaya mengungkap kasus Udin ini. Segala upaya ditempuh, bahkan ketika harus berbecek-becek di sawah untuk mencari barang bukti, pipa besi. Udin dipukul dengan pipa besi, yang kemudian dibawa kabur ke arah utara dengan sepeda motor. Mereka juga rela begadang di Bantul hingga dini hari, untuk mencoba mendapat "sisik melik" sebagai upaya menemukan petunjuk untuk menguak kasus Udin, yang tampaknya mulai ditutup-tutupi.

Begitu bersungguh-sungguhya upaya tim ini, hingga salah seorang redaktur Bernas, Heru Prasetyo yang kebetulan menjadi motor tim, rela meninggalkan jabatan redakturnya. "Untuk ke lapangan, kita tidak mengenal waktu. Padahal untuk mengurusi halaman, saya harus berada di kantor hingga malam. Jadi kalau saya akan ke lapangan, harus sesudah selesai mengerjakan halaman. Itu terlalu malam, kasihan teman-teman yang lain harus menunggu," ujar Heru. "Lagipula, saya juga tidak bisa hanya berpangku tangan dan duduk-duduk di kantor, menunggu laporan teman-teman," lanjutnya.

Namun perjuangan keras ini tidak mendapatkan imbalan yang sepadan. Tim Udin ternyata kemudian diobrak-abrik. Mendadak sekitar akhir Maret, Bernas mengambil kebijakan untuk melakukan mutasi besar-besaran. Hampir semua anggota Tim Udin dipindah ke daerah lain. M. Achadi dipindah ke Semarang. Triatmoko Sukmo Nugroho dipindah ke Wonosobo, Trianto Heri Suryono ke Magelang, dan Budi Sulistyo ke Purworejo. Sementara Tarko Sudiarto, seorang fotografer, dipindah ke Solo. Tarko adalah fotografer yang cukup berpengalaman dan pernah meraih medali emas Salon Foto Indonesia tahun 1996. Keputusan terakhir dan yang paling mengejutkan adalah ketika Bernas memanggil Heru dan memintanya mengundurkan diri per 1 April. Dia sama sekali tidak diberi alternatif dan waktu yang cukup untuk mencari "gantungan" lain. Dia dipaksa mengundurkan diri dengan alasan bahwa dia tidak bersih lingkungan.

"Waktu itu ketika saya baru pulang dari Pengadilan Negeri Sleman untuk meliput sidang gugatan PDI pro-Megawati, saya dipanggil 'big boss'. Saya tidak membayangkan apa yang akan dia bicarakan, karena saya merasa tidak mempunyai masalah dengannya," ujar Heru. "Begitu masuk, bos langsung bicara pada persoalan yang menyatakan bahwa saya tidak bersih lingkungan. Dia mengatakan bahwa dia baru saja dari Korem dan mendapatkan informasi tersebut. Jadi menurutnya, Bernas tidak bisa mempekerjakan saya lagi," lanjut Heru. Keputusan ini sangat mengejutkan Heru, dan juga terlalu mendadak.

Namun menurut Kusfandi, pemimpin umum PT Bernas, sebenarnya Heru diberi kesempatan untuk memilih pindah ke bagian lain. "Yang tidak boleh adalah kalau dia tetap bekerja di redaksi, tetapi kalau dibagian lain, boleh," aku Pak Kus, panggilan akrab Kusfandi. "Itu ada aturannya kok, kalau wartawan harus bersih lingkungan."

Kejutan ini tidak berhenti sampai di sini, tetapi terus berlanjut. Rekan-rekan anggota tim lainnya yang menolak dipindah dengan alasan yang kuat, seperti pendidikan dan kondisi keluarga, dianggap mengundurkan diri. Mereka adalah Achadi dan Triatmoko Sukmo Nugroho. Mereka, meski tetap terus menulis berita, inisialnya tidak lagi dimasukkan dalam berita-berita yang mereka tulis. Ketika gajinya tiba-tiba dihentikan, merekapun mulai tidak menampakkan batang hidungnya di kantor lagi, dan mulai mempersiapkan langkah-langkah yang perlu diambil.

Dengan kondisi yang sangat tidak menyenangkan ini, beberapa wartawan Bernas lain mulai merasa tidak nyaman. Merekapun satu persatu hengkang. Hingga kini, sekitar 14 wartawan dan redaktur keluar dari Bernas. Kasus terakhir terjadi sekitar dua pekan lalu, yaitu kasus yang menimpa Mifathudin, koresponden yang telah bekerja selama dua tahun. Dia dianggap mengundurkan diri karena menolak ditempatkan di kota lain, dan karena ketidaksetujuannya dengan isi surat perjanjian kerja yang dirasa sangat berat. "Masa kerja selama dua tahun yang telah saya alami sama sekali tidak diperhitungkan," aku Miftah. Dia dianggap sama dengan sekitar 13 wartawan baru, yang baru saja diterima. Jadi, untuk mengganti semua wartawan yang hengkang, Bernas membuka lowongan untuk wartawan baru.

Seberapa hebatnya sebenarnya kasus Udin ini, sehingga harus memakan sekian banyak korban?

Kalau melihat kronologis peristiwa yang terjadi saat itu, semua gejolak ini merupakan dampak dari akumulasi situasi politik yang sedang berkembang. Kasus Udin mengharuskan terus diangkatnya isu-isu tentang Bupati Bantul, Kolonel (Art) Sri Roso Sudarmo dan keterlibatan Kepala Desa Kemusu, Argomulyo, Bantul yang bernama R. Noto Soewito. Bapak Noto ini kebetulan adik (bukan kandung) pejabat Cendana. Saat itu, juga muncul selebaran fotokopi surat kesediaan Sri Roso untuk membayar Rp 1 milyar kepada yayasan Dharmais, yang dipimpin oleh Presiden. Uang yang sangat banyak bagi gaji seorang bupati ini, dijanjikan Sri Roso akan dibayar sesudah dia berhasil menjadi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bantul untuk kedua kalinya. Perlu diketahui, bahwa sebenarnya Sri Roso tidak termasuk calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bantul. Dalam surat tersebut juga ada tanda tangan Noto Soewito. Jadi, pembayaran Sri Roso Sudarmo akan lewat Noto Soewito.

Setelah kasus Udin agak mereda, isu berkembang ke arah Mega Proyek Parangtritis. Sri Roso sangat antusias untuk menggolkan proyek ini, padahal banyak pihak yang menentang berjalannya proyek ini, baik dengan alasan lingkungan maupun sosial. Ribut-ribut masalah ini mengakibatkan ditolaknya Mega Proyek oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan, Sri Sultan Hamengkubuwono X pun menolaknya. Sultan tidak mau Parangtritis akan hilang fungsinya sebagai pantai publik. Akhirnya, proyek ini dipindahkan ke pantai Samas. Inipun masih menjadi perdebatan hingga kini. Bupati Bantul begitu ngotot untuk menggolkan proyek senilai Rp 100 milyar ini. Ada apa?

Selain itu, penghancuran Tim Udin atau TKP ini juga sangat kebetulan bersamaan dengan momentum lain yang sangat politis, pemilu. Anggota Tim dikenal sebagai wartawan yang sangat kritis dan punya naluri investigasi yang bagus. Apakah tidak mungkin bahwa pembunuhan Tim Udin ini karena tekanan eksternal, untuk mencoba mengatasi gejolak politis yang mungkin timbul akibat pemberitaan mereka?

Pak Kus menyangkal adanya tekanan eksternal dalam penetapan kebijakan melakukan mutasi dan permintaan pengunduran diri Heru. "Ini murni kebijakan dari dalam sendiri, karena Bernas memang sedang ada pembenahan manajemen. Bahkan Korempun tidak meminta Bernas untuk memecat Mas Heru," aku Pak Kus. "Korem hanya memberikan informasi tentang Mas Heru. Tetapi karena memang ada aturan yang melarang mempekerjakan orang yang nggak bersih lingkungan di jajaran redaksi, maka kami segera mengambil langkah itu," lanjut Pak Kus.

Ditanya mengenai adanya aturan ini, Teten Masduki, Ketua Divisi Perburuhan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, menyatakan tidak ada aturan yang menyatakan orang yang tidak bersih lingkungan, dilarang bekerja di dunia pers.

Namun sebenarnya, kalau melihat fenomena yang tampak, pengakuan Pak Kus tersebut justru menunjukkan adanya tekanan itu. Untuk apa Korem menunjukkan informasi mengenai status Heru? Apakah itu bukannya tanpa alasan sama sekali ? Sebagai orang Yogya yang kental budaya Jawanya, tanpa diminta untuk memberhentikan Heru, langkah Korem itu sudah bisa dianggap sebagai perintah yang tak bisa ditentang. Sebenarnya, tekanan-tekanan ini mulai dilihat sekitar awal Maret. Sebelum penghancuran Tim Udin, "bos-bos" perusahaan ini tampak sangat sibuk. Beberapa kali mereka menerima telpon dari Kantor Wilayah Departemen Penerangan dan Komando Resort Militer (Korem). Bahkan, mereka juga mendatangi Korem. Apa memang benar tak ada tekanan ?

Heru tetap menyatakan keyakinannya bahwa langkah Bernas ini merupakan kesengajaan untuk memecah belah Tim Udin. "Dalam benak kami, seharusnya pihak perusahaan sadar betul bahwa tim Udin masih sangat dibutuhkan, karena persoalan Udin belum selesai. Apalagi waktu itu menjelang persidangan Iwik. Untuk situasi semacam itu, sangat riskan untuk membentuk tim baru," kata Heru. "Bahkan ada isu yang mengatakan bahwa pihak pimpinan Bernas mendapat Rp 300 juta dari Pemda Bantul untuk memecah tim Udin ini," lanjut Heru, meski isu ini telah disangkal oleh Pak Kus.

Tetapi kenyataan memang berbicara lain. Tim yang seharusnya justru dijaga kesolidannya, ternyata malah dihancurleburkan. Apakah rekan-rekan yang telah dihancurkan ini akan diam saja ? Mereka dengan sangat yakin menjawab, "Tidak". Mereka bertekad akan terus mengupayakan keadilan, meski harus menempuh jalur hukum.

"Sebenarnya sejak awal, kami telah mendapat banyak dukungan dari masyarakat. Mereka bersedia membantu kami apapun yang kami perlukan. Kalau memang harus menghancurkan kantor Bernas, mereka bersedia melakukannya. Tetapi itu untuk apa? Kami bukan orang yang hanya mengandalkan otot, tetapi yang paling penting otak" tutur Achadi, salah seorang wartawan yang dianggap mengundurkan diri, dan tidak mendapatkan gajinya lagi tanpa pemberitahuan. "Kami tidak ingin mengaburkan kasus Udin terlebih dahulu. Biarlah kami berpikir dengan jernih, apa yang akan kami lakukan," lanjut Achadi.

Dukungan yang begitu besar dari masyarakat ini sebenarnya cukup menjadi bukti, bahwa mereka memang cukup bagus. Namun kepada TEMPO Interaktif, Pak Kus menyangkal kehebatan mereka. "Mereka itu bukannya wartawan yang bagus atau berani," tegas Pak Kus.

Namun apapun kata Pak Kus, menurut sumber dari Bernas, redaksi telah mengeluh bahwa beberapa sumber mulai menutup atau setidaknya menghambat akses informasi ke Bernas. Pada awal-awal kejadian, memang sangat terasa beberapa sumber mulai tidak seterbuka seperti ketika belum muncul masalah ini. Dan ini masih berlangsung hingga akhir-akhir ini. Inilah yang membuat kasak-kusuk di jajaran redaksi kian memanas.

Dukungan kepada rekan-rekan ini masih terus mengalir, dan semakin luas. Pada awal Agustus lalu, mereka berhasil mendapat penghargaan "Udin Award" dari Aliansi Jurnalis Independen. Mereka juga terus menjadi contoh betapa rentannya profesi wartawan. Pengakuan dan simpati kepada mereka terus mengalir, ketika mereka mendapat kehormatan untuk menghadiri orasi in memoriem Udin oleh Surabaya Press Club, di Surabaya. Inilah bukti bahwa mereka tetap tidak dilupakan, meski oleh orang lain, bukan ibu susuan mereka.

Dalam keadaan yang sudah porak poranda ini, rekan-rekan Tim Udin masih mempunyai semangat yang sangat besar untuk tetap berupaya mengungkap kasus kematian Udin, yang menjadi titik awal kehancuran mereka. Mereka bertekad akan menulis buku yang menuangkan kisah-kisah perjuangan mereka saat harus melakukan investigasi dalam kasus Udin. "Ini adalah bentuk perjuangan lain untuk memberikan informasi yang kami dapat, tetapi tidak bisa kami muat di media karena alasan-alasan tertentu," ujar Heru. "Dan saya harap, ini akan membantu mengungkap siapa pembunuh dan apa latar belakang pembunuhan terhadap Udin," lanjutnya. Kami tunggu, dan kami harap juga akan membantu.

sumber : tempo

Mereka Membela Diri (Mengenang Tragedi Haur Kuning)

| | | 0 komentar
Sebelum peristiwa pembantaian itu terjadi, saya disuruh pulang oleh Kang Abdul Manan. Saya dengar kabar dari seorang murid yang lolos dari pengepungan aparat, penyerangan itu sangat biadab. bayangkan, keponakan Abdul Manan yang waktu itu usianya sekitar 5 tahun; bocah perempuan itu dilempari granat!

Pengepungan pertama, saya berada di sana. Kami menyambut para aparat dengan keakraban. tetapi keributan terjadi ketika Kang Abdul Manan membentak beberapa aparat yang akan masuk ke masjid tanpa melepaskan sepatu.

Saya juga baca di media massa, para murid Abdul Manan yang rata-rata usianya di bawah 10 tahun yang rata-rata adik-adik dan para keponakannya, ditulis rata-rata berusia 35 tahun. dan banyak informasi tidak benar dari media massa tentang Jemaah Haur Kuning. karena itulah saya tidak mudah percaya kepada media massa. Setahu saya, kami tak suka bawa-bawa bambu kuning.

Namun yang lalu biar berlalu. bahkan sekarang keluarga Abdul Manan bersahabat dengan keluarga Rokhamid, seolah-olah peristiwa itu tak pernah ada. sumber masalahnya sepele. hanya masalah potong sapi tanpa memberi daging kepada aparat desa!

Berikut ini saya kutip dari Majalah Tempo, sekedar untuk mengenang orang-orang yang pernah hidup bersama saya bertahun-tahun lamanya.

AKHIRNYA semua orang menyesal. Dan sedih. Tapi sudah terlambat. Korban pun sudah berjatuhan dalam insiden berdarah itu. Tragedi yang menimpa belasan petani miskin di Majalengka (Jawa Barat) ini belakangan terkenal sebagai ”kasus Haur Koneng” (bambu kuning) karena mereka biasa membawa bambu kuning.

Tapi ternyata setidaknya seperti yang tersirat dalam hasil tim pencari fakta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mereka merupakan korban fitnah belaka. Akhir Juli lalu, para petani penghuni empat rumah di Dusun Gunung Seureuh di Lembah Sirna Galih, di kaki Gunung Ciremai, Majalengka itu berusaha bertahan dari kepungan sepasukan polisi dan tentara.

Dengan berdoa minta perlindungan Tuhan, mereka mempersenjatai diri dengan golok, parang, sabit, atau pentungan. Kewaspadaan seperti itu bisa dimaklumi karena mereka dikepung tiga lapis. Lapis pertama, begitu menurut seorang perwira polisi di Majalengka, terdiri dari 14 anggota Sabhara. Lapis kedua adalah satu satuan tempur (SST) Brimob. Dan lapis ketiga adalah SST Yonif 321/Majalengka, yang berjaga-jaga sekitar 400 meter dari lokasi. Padahal mereka hanyalah 15 petani miskin, bahkan 5 di antaranya perempuan dan 2 orang anak-anak.

Bahkan, jauh hari sebelumnya, petugas intel sudah pula disusupkan untuk menyadap informasi mengenai kegiatan para petani itu. Mestinya, bila sang intel mampu mengumpulkan data yang benar, tragedi ini tak akan terjadi. Akibat serbuan itu, delapan orang tewas, termasuk Abdul Manan, pemimpin jemaah Haur Koneng. Lima peluru bersarang di perutnya. Juga dua anak yang masing-masing berusia 12 dan 9 tahun. Beberapa lagi luka parah.

Selain itu, empat rumah hancur dibakar, begitu pula sejumlah kitab agama dalam sebuah lemari besar. ”Ngeri, seperti perang,” cerita seorang kakek yang tinggal tak jauh dari tempat kejadian itu. Prihatin atas kejadian itu, sehari setelah penyerbuan terhadap kelompok Abdul Manan, LBH Bandung membentuk tim pencari fakta, diketuai salah seorang Direktur LBH Bandung, Effendi Saman. Tim ini segera dibentuk, antara lain, dengan alasan perlunya penerapan praduga tak bersalah sehubungan dengan tuduhan bahwa Abdul Manan menyebarkan aliran sesat, dan adanya pelanggaran terhadap hak asasi jemaah tersebut oleh aparat keamanan yang menyelesaikan masalah itu dengan tidak manusiawi.

Di lapangan, tim yang beranggotakan delapan orang itu banyak menemukan hal yang sangat mengejutkan, antara lain: Latar belakang konflik itu adalah sengketa tanah seluas dua hektare (yang dihuni Abdul Manan dan jemaahnya) antara Abdul Manan dan Rokhamid, yang sudah berlangsung turun-temurun. Belakangan, Rokhamid, yang menjadi Kepala Dusun Gunung Seureuh, menuduh Abdul Manan melawan Pemerintah, misalnya tak mau disensus serta tak mau membayar pajak bumi dan bangunan. Rokhamid juga menuduh Abdul Manan menyebarkan aliran sesat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal, Abdul Manan, yang 12 tahun belajar agama di beberapa pesantren, hanya mengajarkan wirid atau zikir seperti lazimnya kaum tarekat di kalangan, misalnya, NU. Abdul Manan dan jemaahnya kritis terhadap beberapa peraturan Pemerintah. Ia, misalnya, mengkritik pajak bumi dan bangunan, yang menurutnya tidak ada kaitannya dengan usaha menyejahterakan rakyat. Ia mengajak kelompoknya menyendiri atau hijrah (tapi dituduh memutuskan silaturahmi) untuk menghindari kebiasaan membeli SDSB atau mabuk-mabukan.

Pihak aparat desa dan kecamatan tidak pernah berusaha menjembatani perbedaan itu dengan bijaksana, misalnya lewat musyawarah dalam Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Kepala desa malah melaporkannya ke Serka Sri Ayem, Kepala Sektor Bantar Ujek, yang belakangan tewas dikeroyok jemaah Abdul Manan.

Aparat keamanan tidak menyelesaikannya secara persuasif dan edukatif, tapi menggunakan pendekatan keamanan dan represif, misalnya mengepung mereka dengan sepasukan polisi dan tentara sampai tiga lapis, melempari mereka dengan granat gas air mata, dan membakar rumah dengan bom molotov. Tim LBH itu juga menyimpulkan bahwa jemaah Abdul Manan semata-mata membela diri ketika anggota polisi Sri Ayem, yang melakukan penembakan ke arah mereka, tewas di tangan pengikut Abdul Manan.

Menurut sumber di Polres Majalengka, temuan tim LBH itu tidak seluruhnya benar. Tidak benar aparat keamanan menyerang lebih dulu. Polisi, katanya, juga sudah melakukan pendekatan persuasif dan edukatif dengan memanggil mereka untuk ”dimintai keterangan”. Tentu saja yang dipanggil enggan datang karena rakyat kecil di mana pun selalu beranggapan bahwa dipanggil oleh polisi berarti ditangkap. Gara-gara tak mau memenuhi panggilan itulah mereka dianggap membangkang.

Lalu dikerahkanlah pasukan polisi dan tentara terutama setelah sebelumnya terjadi pemukulan terhadap Kepala Dusun, Rokhamid, oleh jemaah Abdul Manan. Kini LBH Bandung sudah mendapat surat kuasa dari para korban yang dirawat di rumah sakit dan yang ditahan di Polres Majalengka untuk menjadi pembela. Adapun hasil temuan tersebut akan disampaikan ke Komisi Hak-Hak Asasi Manusia PBB, DPR, dan Pangab. ”Kepada Pangab, kami minta agar pelaku penembakan itu segera diadili,” ujar Effendi Saman. Sampai kini tampaknya yang akan ke pengadilan hanya para pengikut Abdul Manan. Mereka dituduh bertanggung jawab atas tewasnya Serka Sri Ayem.

Sumber : Majalah Tempoaktif

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?