SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Terorisme, Masjid, dan Budaya Jawa

| | |
Mata Densus 88 rupanya sangat tajam dalam memantau gerak-gerik terorisme dan para pelakunya di Indonesia. Dalam satu bulan terakhir saja, Densus 88 menangkap puluhan teroris dan menembak mati beberapa di antara mereka. Dari berbagai peristiwa penangkapan teroris dan tembak-menembak pasukan Densus 88 dengan para teroris, kita tersadar bahwa terorisme di Indonesia ternyata terus tumbuh dan berkembang.

Kematian tiga gembong teroris --Azahari, Noor Din Mohd. Top, dan Dulmatin-- ternyata belum melumpuhkan gerak dan aktivitas mereka. Mereka tampaknya terus melakukan konsolidasi sambil merekrut anggota baru dan memikirkan pola-pola serangan alternatif agar tidak mudah diendus aparat keamanan. Tapi aparat keamanan pun tidak kalah sigap, sehingga Densus 88 mampu mengendus para teroris di mana pun mereka berada.

Dalam penangkapan para teroris di Jakarta dan Krawang, Mei ini --sebelumnya di Temanggung, Malang, dan Solo-- ternyata masjid dan langgar masih menjadi ''tempat aktivitas dan persembunyian'' mereka. Mereka mengadakan pengajian di masjid dan berusaha menarik minat masyarakat agar bergabung dengan para teroris. Tapi, untunglah, masyarakat jarang yang tertarik pada pengajian ''keras'' yang disampaikan guru-guru teroris itu.

Salah seorang yang sering diidentifikasi polisi sebagai guru para teroris adalah Abu Bakar Ba'asyir, seorang mubalig dari Sukoharjo, Jawa Tengah. Fenomena Ba'asyir ini secara sosiologis menarik, karena dia hidup di lingkungan pusat kebudayaan Jawa yang halus, penuh unggah-ungguh dan tepo seliro.

Lingkungan budaya Jawa yang selalu mengalah, menghindari konflik, justru dipilih Ba'asyir untuk mengembangkan kegiatan-kegiatannya. Meski Ba'asyir dalam berbagai kesempatan menolak tuduhan bahwa dirinya ideolog para teroris, sang ustad sering mengatakan bahwa pihaknya sangat hormat kepada para mujahid yang memilih ''senjata'' untuk menegakkan Islam. Dengan berlindung pada penafsiran ayat-ayat Quran secara sepihak, Ba'asyir juga sering mengemukakan pendapat yang senada dengan wacana terorisme, misalnya dalam hal demokrasi.

Menurut Ba'asyir, tidak ada demokrasi dalam Islam. Karenanya, jika ingin menegakkan syariat Islam, jangan memakai demokrasi. Pendapat ini jelas debatable karena dalam Quran ada istilah ''syura'' (musyawarah), yang oleh sebagian besar ulama Islam dianggap sebagai dasar-dasar demokrasi.

Meski kemudian ada ulama yang menolak pendapat itu, melihat kecenderungan dunia modern yang pro-demokrasi, penolakan Islam terhadapnya hanya menimbulkan marjinalisasi Islam di tengah arus utama dunia. Ini jelas tidak menguntungkan untuk citra Islam, yang ujungnya kurang baik terhadap dakwah Islam.

Masjid di Jawa

Dalam sistem pemerintahan Jawa, masjid, pasar, dan keraton merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Hal ini tercermin pada bangunan Keraton Yogyakarta yang berdampingan dengan Masjid Kauman dan Pasar Beringharjo. Di Keraton Solo, hal seperti itu juga terjadi.

Sejarawan Kuntowijoyo (almarhum) mengemukaan bahwa kesatuan keraton, masjid, dan pasar merupakan simbol menyatunya kerajaan (kekuasaan), agama (spiritualitas), dan pasar (ekonomi). Karena itu, dalam tradisi Jawa, baik di pusat kerajaan maupun di tingkat desa, bangunan masjid mesti menyatu dengan balai desa dan pasar.

Fenomena ini menarik karena ''masjid'' disimbolkan sebagai bagian dari sebuah sistem dalam pemerintahan Jawa. Sayangnya, harmoni keraton, masjid, dan pasar itu ''rusak'' setelah ada pemberontakan PKI pada 1965 (Johns, 198).

Robert R. Jay dalam bukunya, Religion and Politics in Rural Central Java, menunjukkan bukti-bukti menguatnya ortodoksi Islam setelah munculnya pemberontakan PKI. Asumsi Jay ini muncul setelah ia melihat dua masjid di Kelurahan Kebonsari, Jawa Timur. Keberadaan dua masjid ini, tulis Jay, merupakan indikasi cukup jelas mengenai kekuatan ortodoksi dan komunitas.

Di Desa Tegalroso, Magelang, sebelum tahun 1965, hanya ada satu masjid dan tiga langgar. Masjid itu berada di Dusun Playon, sedangkan tiga langgar ada di Dusun Calonan, Petung, dan Gambas. Menurut Mbah Parto, sesepuh Desa Tegalroso, sekitar satu setengah bulan setelah PKI dituduh terlibat dalam pemberontakan September 1965, sebanyak 13 aktivis PKI di Tegalroso digelandang tentara. Karena takut dituduh sebagai simpatisan PKI, mereka yang tak pernah menunaikan salat kemudian rajin melaksanakan salat di masjid dan langgar.

Orang-orang desa pun mulai belajar membaca Quran. Orang-orang yang dianggap paham agama dan fasih bacaan Qurannya diminta menjadi guru mengaji. Warga desa tidak hanya diajari salat, melainkan juga diminta ikut pengajian Kiai Chudlori, pimpinan Pesantren Tegalrejo. Dampaknya, bangunan masjid dan langgar pun bertambah, karena orang yang menunaikan salat dan mengaji juga bertambah.

Di Dusun Calonan, yang sebagian warganya adalah orang NU, setelah peristiwa pemberontakan PKI, warga ramai-ramai membangun madrasah ibtidaiyah. Seorang warga desa, Pak Parjan, menginfakkan tanahnya untuk membangun madrasah itu. Menurut Pak Parjan, mengutip pendapat seorang kiai, ''Sebuah masjid bisa diumpamakan gudang beras, sedangkan madrasah digambarkan sebagai sawah. Gudang beras tidak akan berfungsi jika tidak ada beras yang akan disimpan di sana.

Di madrasah, para murid dididik menjadi muslim yang baik. Jika banyak muslim yang baik, banyak pula orang yang mendatangi masjid. Jika satu masjid tidak mencukupi, mereka berusaha membangun masjid atau langgar yang lain.

Apa yang dikatakan Pak Parjan itu ternyata benar. Madrasah dan masjid makin lama makin berkembang. Ketakutan warga desa dicap sebagai pengikut PKI menjadikan mereka mengirimkan anaknya ke madrasah, dan mereka pun rajin menunaikan salat di masjid. Semua ini meningkatkan pengaruh budaya santri.

Salah satu keberhasilan pemberantasan PKI di desa-desa di Jawa adalah berkat kampanye rezim Orde Baru, yang menyatakan bahwa orang-orang PKI tidak bertuhan dan karenanya tidak boleh hidup di negara Pancasila. Atmosfer seperti inilah yang terjadi pasca-pemberontakan PKI, sehingga agama menjadi hal penting bagi setiap penduduk.

Gelombang anti-komunis itu, tulis Clifford Geertz, akhirnya menimbulkan pengertian bahwa barang siapa yang tidak memeluk salah satu agama yang diakui secara resmi oleh negara akan dicap sebagai ateis (Creating Islamic Tradition, 1991). Inilah yang menimbulkan dilema. Soalnya agama yang diakui resmi oleh rezim Orde Baru hanya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Agama Konghucu dan Yahudi, misalnya, tidak diakui. Dampaknya: orang-orang yang tidak memeluk salah satu agama yang diakui resmi oleh rezim itu setiap saat hidupnya terancam karena bisa dicap sebagai PKI.

Dalam perkembangannya, karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, jumlah masjid pun bertambah sangat cepat. Organisasi Islam juga makin banyak. Apalagi, setelah rezim Orde Baru jatuh, perkembangan organisasi Islam seperti cendawan di musim hujan.

Jika sebelumnya di desa-desa di Jawa orang hanya mengenal NU dan Muhammadiyah yang ''adem-ayem'' dan ''harmoni'' dengan lingkungan masyarakat kampung, kini muncul berbagai organisasi Islam yang ''panas'' dan demonstratif. Antara lain Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Jamaah Islamiyah, dan terakhir Ansharut Tauhid. Kondisi ini ternyata menimbulkan berbagai friksi di desa dan disharmoni di kalangan masyarakat Jawa.

Gus Yusuf Chudlori, putra Kiai Chudlori, pimpinan Pesantren Tegalrejo, pernah mengeluh. Pada saat ini, menurut Gus Yus, muncul benih-benih perpecahan di kalangan umat Islam di desa-desa di Jawa akibat masuknya ideologi-ideologi Islam dari Timur Tengah (Kompas 17/09/09). Mereka mendanai pembangunan masjid. Tapi, setelah jadi, masjid itu tidak boleh difungsikan sesuai dengan tradisi Jawa, seperti untuk marhabanan, mauludan, haul, dan peringatan-peringatan tradisonal Islam lainnya.

Mereka mengajarkan Islam yang ''lain'' --bukan Islam yang biasa dipelajari masyarakat tradisional Jawa. Bahkan, lebih jauh lagi, ungkap Gus Yus, organisasi itu tak hanya mempersoalkan akidah Islam tradisional, melainkan juga mempersoalkan kekuasaan dan negara kesatuan Republik Indonesia.

Keberadaan ''masjid lain'' dan ceramah-ceramah ''keras'' itulah yang, boleh jadi, akan menimbulkan persoalan baru di kalangan Islam Jawa. Jika dulu orang Tegalroso membangun masjid secara gotong royong dan menyumbang rupiah demi rupiah, dan setelah berdiri menjadi milik warga desa, pada masa kini masjid tertentu yang "didanai orang-orang lain benar-benar menjadi milik orang lain dan menjalankan agama dengan cara lain''.

Itulah sebabnya, banyak orang kampung kaget tapi tidak heran ketika polisi kemudian menggerebek jamaah masjid seperti itu. Fungsi masjid yang adem dan harmoni, setelah dimasuki ''anasir'' lain, menjadi panas dan disharmoni. Inikah masjid yang menumbuhkan terorisme? Wallahu a'lam bishawab.

M. Bambang Pranowo
Guru besar sosiologi agama UIN, Jakarta
[Kolom, Gatra Nomor 29 Beredar Kamis, 27 Mei 2010]

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?