SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Mengurai dari Cipacing

| | |
Patung kecil itu tampak kusam. Warna putih sudah memar di sana-sini. Berdiri gagah di ujung jalan Cipacing, 25 kilometer di timur Bandung, si kecil ini bak pemburu ulung. Sigap membidik target dengan senapan angin.

Dihiasi seabrek ornamen antik, patung itu adalah simbol kejayaan bisnis senapan made in Cipacing. Berjaya ditahun 1990an, bisnis rumahan ini sempat redup saat krisis ekonomi menggulung 1997.

Sebelum krisis ekonomi itu, Cipacing adalah kawasan senapan angin. Sejauh mata memandang bertebaran papan reklame rupa-rupa merek. Dari Benjamin Franklin, Meteor, Sharp, Bowa dan seabrek merek sohor di dunia.

Kini Cipacing banyak berubah. Kental dengan nuansa Sunda. Bengkel-bengkel bedil di jalan utama sudah tiada. Bersalin rupa menjadi toko cendera mata. Wayang Golek hingga syal ikat kepala, ramai dipajang.

Lenyap dari jalan utama, para perajin senapan itu kini menyingkir ke gang kecil. Kepada Iwan Kurniawan dari VIVAnews yang datang ke sana, Rabu 22 September 2010, sejumlah warga menunjuk beberapa bengkel di sebuah gang sempit.
Di gang itu sejumlah pengrajin bertahan, juga Deden yang diwarisi bisnis bedil oleh ayah dan kakeknya. Abar Sahbar, nama sang kakek, adalah pelopor pembuat senapan angin Cipacing,1965.

Saat ditemui VIVAnews Deden sedang membubut laras senapan. Si Bubut itu adalah saksi bisnis warisan ini. Mesin itu lebih tua dari usia Deden, yang kini mengancik 48 tahun. Keluarga Deden memiliki banyak mesin bubut. Dua gudang di belakang rumah dipenuhi mesin bubut kuno. Empat orang tekun bekerja di situ. “Semua masih keluarga saya,” kata Deden.
Dengan mesin tua dan empat pekerja itu, Deden memproduksi 10 hingga 15 bedil sebulan. Maksimal kaliber 4,5 milimeter. “Sesuai aturan polisi,”katanya. Dijual Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu.

Bisnis senjata angin ini juga ramai di Cikeruh, Jatinanggor, Sumedang, Jawa Barat. Saat VIVAnews masuk ke sana, sejumlah anak muda terlihat menenteng senapan angin. Mereka sedang mencoba senapan yang baru dibikin. Cikeruh benar-benar kawasan senapan angin. Deru mesin bubut terdengar hingga jalan. Sepanjang jalan desa terdapat 12 bengkel pembuat senapan. Puluhan lain beroperasi di dalam kampung.
Idih Sunaedi, perajin senior Cikeruh berkisah bahwa bengkel senapan angin itu sudah menderu semenjak 1964. Usaha itu berbiak. Kini mereka punya koperasi. Namanya Bina Karya Senapan Angin. Anggota 104 orang.

Saat berjaya tahun 1990an, kisah Deden, setiap rumah jadi bengkel bedil. Ketika itu Deden mampu memproduksi 30 buah senjata sebulan. “Namun sejak krisis moneter semua orang kesulitan modal.” Geliat lagi sesudah krisis itu pergi.

Senjata Api

Dihajar krisis Cipacing terkulai. Deden merekam kejatuhan itu. Jangankan sekolah anak, makan saja susah. Dijepit urusan periuk, sejumlah pengrajin gelap mata. “Banyak yang diam-diam bikin senjata api,” katanya. Banyak yang tergiur sebab harga berlipat kali. Sepucuk berkisar Rp 2,5 hingga Rp 5 juta.

Panen dari jalur gelap itu cuma sebentar. “Polisi mencokok beberapa pelaku,” kata Deden. Awal tahun 2000 produksi senjata api ilegal itu mulai senyap.
Soal bisnis senjata api di Cipacing itu pernah ditelusuri International Crisis Group (ICG). Lembaga yang juga rajin menelusuri jaringan kelompok teroris di Asia Tenggara itu, mewawancarai sejumlah orang yang memahami bisnis ini. Wawancara dilakukan pada Juni dan Juli 2010.

Hasil penelusuran itu diterbitkan tanggal 6 September 2010. Dimuat di situs resmi ICG. Dalam laporan yang berjudul Illicit Arms in Indonesia itu, ICG menulis soal peredaran senjata api ilegal di Indonesia. Bisnis senjata api di Cipacing salah satunya.

Seorang sumber yang diwawancara ICG, menyebutkan,”Permintaan sebenarnya selalu ada.Tinggal kita berani mengambil resiko atau tidak.” Bila situasi aman sebulan bisa membuat 5 pucuk. Bila tak aman sebulan cuma sepucuk.

Membuat senjata api, tutur sumber itu kepada ICG, tidak lama. Jadi lama karena rasa takut. “Kami bikin sembunyi-sembunyi, takut polisi.” Senjata Cipacing cukup terkenal. Sebab, “Kami bikin Bareta made in Cipacing, yang tampilannya mirip dengan Bareta made in luar negeri,” katanya. Nomor seri dan merek juga dicetak.

Meski mirip, soal mutu buatan luar negeri tetap lebih baik. Sebab laras senjata susah dibuat. Bahan khusus dan harus tahan panas. Mensiasati kekurangan perajin Cipacing memanfaatkan barel afkiran buatan PT Pindad.

Sumber ICG menuturkan bahwa ada oknum yang menjual afkiran itu di pasar gelap. Seharga Rp 250 ribu. Senjata rakitan yang memakai laras afkiran itu mampu menyimpan 5 kotak peluru. Artinya bisa memuntahkan 250 peluru.

Tapi tak bisa dipakai menembak beruntun tanpa henti, sebab laras akan memuai seperti terompet. Laras bikinan Cipacing,lanjut sumber itu, cuma satu kotak alias 50 peluru. Sepucuk senjata rakitan dengan laras afkiran dari Pindad itu dijual Rp-4-5 juta, laras bikinan Cipacing Rp 3 juta. Laras asli Rp 6 juta.

Di Cipacing, kata sumber ICG yang lain, tidak semua orang membuat senjata api. Sebab, “ Takut karena melanggar hukum,”katanya. Para perajin yang nekat ada yang senior, ada juga yang yunior. Senior berpengalaman lebih dari 10 tahun, yunior kurang dari itu.

Bikinan para senior itu biasanya lebih mantap. Dijual lewat dua jalur. Pertemanan dan keluarga. Seorang perakit senior dari Cipacing, misalnya, hanya menjual senjata kepada kawannya di Cirebon. Si kawan di Cirebon itu ditangkap polisi dua kali. Saat diinterogasi polisi dia rapat mengunci mulut.

Selain perkawanan, distribusi juga lewat jalur keluarga. ICG mewawancarai seorang anak muda yang dipercaya pamannya di Cipacing menjual senjata ke Lampung dan Sumatera Selatan. Sang paman, kata si keponakan, menjual senjata hanya kepada pengusaha dan para pejabat. Alasannya, “Kalau ada masalah, mereka punya kenalan di kepolisian,” katanya.

Menyimpan senjata juga tak boleh ngawur. Sumber lain dijalur distribusi yang diwawancara ICG, mengaku pernah ditangkap polisi gara-gara pistolnya dipakai saudara dalam tawuran. Diinterogasi polisi dia tidak kehabisan akal. Senjata itu, katanya, dari seseorang yang mati dibacok dalam tawuran itu.

Perajin senior juga kadang dapat pesanan dari oknum polisi. Sebelum dijual pistol di copy paste di Cipacing. Perajin segera membuat pistol yang mirip dengan aslinya,termasuk nomor seri dan merek.

Seorang perajin kepada ICG berkisah bahwa tahun 2003, seorang oknum polisi menemui perajin senior. Mau fotokopi pistol Colt Revolver Smith dan Watson. Dijual ke pengusaha udang di Lampung.
Pistol itu selesai dalam seminggu. Si oknum itu girang alang kepalang sebab bentuknya mirip. Dia membayar Rp 3 juta. Menjual Rp 26 juta ke si pengusaha.
Bila perajin senior hati-hati, para yunior kerap kali ceroboh. Sering menjual senjata kepada preman dan garong. Terbongkarnya bisnis diam-diam ini seringkali karena senjata bikinan yunior. Pembeli sering kali bolak-balik Cipacing memperbaiki senjata. Itu yang menerbitkan kecurigaan polisi.

Berapa banyak jumlah produk senjata api Cipacing itu memang tak tentu. Tergantung pesanan. Ketika konflik meletus, banyak broker yang borong senjata. Salah satu broker yang dekat dengan orang-orang Cipacing adalah DS, seorang aktivis pertanahan di Bandung yang kemudian ditangkap polisi.

Salah satu teman DS, kata sumber ICG, adalah Ibrahim Abdul Manaf yang belakangan diadili dalam kasus pemboman Gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ). Setelah kasus DS itu perajin setengah tiarap. Produksi turun setengahnya. Kalau sekarang bagaimana kondisinya? “Wah sekarang pahit. Sebulan paling satu, itupun sangat hati-hati,” kata seorang sumber kepada ICG. Takut UU Teroris, seorang perajin senior memilih banting setir ke bisnis lain.
Mereka Menjawab

Sejumlah perajin yang ditemui VIVAnews di Cipacing memastikan produk senjata api sudah tak ada. Deden yang ditemui dibengkelnya memastikan perajin senjata senior kebanyakan sudah meninggal.Yang yunior sudah beralih ke bisnis cenderamata.
Bikin senjata api, lanjut Deden, cemas seumur hidup. “Walau pembeli bersumpah tidak membocorkan,ujung-ujungnya bocor juga.” Deden mengaku dua minggu sekali, perajin melaporkan produksi senapan angin itu kepada Polres Sumedang.
Idih Sunaedi dari Cikeruh juga membantah perajin di sana masih bikin senjata api. Produksi senjata Cikeruh, katanya, dikontrol koperasi. Koperasi itu dibentuk pemerintah dan Pindad guna membina para perajin. “Pindad sudah seperti bapak angkat kami,” kata Deden.

Beberapa waktu lalu, kisah Idih, sejumlah anak muda memproduksi senjata api ilegal. Dijual di tempat perhentian truk. “Sekarang sudah tak ada lagi. Takut ditangkap.”
Direktur Pindad, Adik A Soedarsono, kepada VIVAnews membantah keras bahwa laras afkiran perusahaan itu bocor. Setiap karyawan yang keluar dari Pindad, katanya, akan melewati metal detector dan digeledah Satpam. Komponen senjata yang gagal fungsi, kata Adik,”Akan langsung dihancurkan.” Bantahan Pindad selengkapnya di sini.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Iskandar Hasan, mengaku mengawas ketat setiap tempat yang diduga memproduksi senjata api ilegal. “Intelegen kami, Polres hingga Polsek mengawasinya secara ketat,”katanya. Tidak semua polisi, lanjutnya, boleh memegang senjata. Mereka harus melewati serangkaian tes, termasuk kejiwaan. Baca sangahan selengkapnya di sini.

Kapolres Sumedang, AKBP Nurrulah menegaskan bahwa pemerintah dan Polres Sumedang ketat mengawasi Cipacing. Nurrulah memastikan bahwa tidak ada perajin di sana yang bikin senjata di luar ketentuan.

Jika ada maka akan ditangkap. Penangkapan terakhir terjadi tahun 2008. Tentang seorang warga Cipacing yang kini buron karena produksi senjata api, “Masalah itu ditangani Polda,” kata Nurrulah. Kapolda Jawa Barat kepada VIVAnews cuma menjawab singkat,” Industri senapan Cipacing tidak berbahaya.” (wm)
• VIVAnews

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?