SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Wiji Thukul dan Kuburan Purwoloyo

| | |
Sebuah puisi bisa membawa kita mengunjungi kompleks kuburan yang dulu terasa asing.
Pada sebuah siang beberapa tahun lampau, didorong oleh rasa penasaran seorang muda yang sedang belajar sastra, saya mengunjungi kompleks pemakaman Purwoloyo. Setelah bertanya ke sejumlah kawan tentang lokasi Purwoloyo, saya akhirnya tiba di pemakaman yang terletak di daerah Jagalan, Solo, itu. Niatan saya ke Purwoloyo bukan untuk ziarah atau minta berkah. Sama sekali jauh dari hal macam itu karena saya tak memiliki kerabat yang dipetak di sana—selain itu, saya juga bukan penganut Kejawen yang percaya berkah bisa didapat dari jongkok di depan kuburan sambil membaca rapalan tertentu.

Keputusan mengunjungi Purwoloyo terbit begitu saja tidak lama setelah saya membaca kembali kumpulan puisi Wiji Thukul: Aku Ingin Jadi Peluru (Indonesia Tera, 2000). Kala itu, saya sedang menyusun sebuah esai tentang Thukul dan Solo sehingga saya mesti membaca ulang sajak-sajak penyair pelo itu. Dalam penelusuran terhadap sajak-sajak Thukul yang berbau Solo itulah saya temukan satu sajak menarik berjudul “Kuburan Purwoloyo”.

Sajak itu, mirip dengan hampir semua sajak Thukul, berkisah soal ketertindasan rakyat jelata dan kaum marjinal yang tak pernah diperhatikan pemerintah. Memakai latar tempat sebuah pemakaman, “Kuburan Purwoloyo” meruapkan ciri khas sajak Wiji Thukul yang menggunakan kata-kata terang, metafora yang sederhana dan minim, plus keterbukaan maksud yang tak malu-malu. Simak kutipan sajak itu:

Kuburan Purwoloyo

disini terbaring
mbok cip
yang mati di rumah
karena ke rumah sakit
tak ada biaya
di sini terbaring
pak pin
yang mati terkejut
karena rumahnya digusur
di tanah ini terkubur orang-orang yang
sepanjang hidupnya memburuh
terhisap dan menanggung hutang
di sini
gali-gali
tukang becak
orang-orang kampung
yang berjasa dalam setiap pemilu
terbaring
dan keadilan masih saja hanya janji
di sini kubaca kembali:
sejarah kita belum berubah!


Jagalan, Kalangan
Solo, 25 oktober 1988

Entah kenapa, ketika saya membaca sajak itu tiba-tiba saja tergerak keinginan untuk mencari tahu di mana itu “Kuburan Purwoloyo”. Segera sesudah saya tuntaskan membaca, saya mengirim sms ke seorang kawan untuk bertanya lokasi kuburan itu. Kawan saya menjawab tak tahu tapi berjanji akan mencari tahu. Tak sabar menunggu, saya bertanya ke kawan lain dan segera mendapat jawaban yang pasti.

Saya sampai di Purwoloyo pada sebuah siang yang terik. Disambut semacam gapura yang menandakan pintu masuk kuburan, saya masuk ke tempat itu tanpa tahu pasti hendak melakukan apa. Dengan perlahan-lahan, saya kendarai sepeda motor tunggangan saya, mencoba menyerap pemandangan sebanyak mungkin. Kuburan itu tak luas. Jangan bandingkan dengan kompleks makam Bonoloyo atau Pracimaloyo. Kedua makam itu bisa menampung ribuan mayat sementara Purwoloyo barangkali hanya bisa menyimpan ratusan manusia mati.

Beberapa meter dari semacam gapura masuk, ada sebuah warung. Beberapa orang duduk di sana—agaknya mereka orang-orang di sekitar kompleks makam. Saya menghentikan motor, diam di tempat, dan kemudian memandang ke sejumlah penjuru kuburan. Ini memang kuburan sederhana. Jika di Pracimaloyo kita bisa menemukan makam yang diteduhi dengan sebuah cungkup—semacam rumah kecil—yang bisa disebut “amat mewah”, maka di Purwoloyo hal demikian amat jarang.

Lalu saya teringat sajak Thukul: kawasan yang sedang saya kunjungi itu memang bukan kompleks makam orang-orang punya duit. Purwoloyo hanyalah milik Mbok Cip yang “mati di rumah karena ke rumah sakit tak ada biaya”. Purwoloyo itu milik para gali—bahasa Jawa untuk kata “preman”—yang penghasilannya dari memalak mungkin amat kecil dan itupun tak sempat mereka tabung karena keburu habis untuk ciu murahan. Purwoloyo bukan seperti “Astana Giri Bangun” yang berdasar informasi seorang kawan blogger kini telah mengalami perluasan atas biaya Tommy Soeharto.

Purwoloyo adalah tempat istirah orang-orang kecil dan terpinggirkan karena sistem ekonomi dan politik. Kompleks makam sederhana itu, pada akhirnya, menjadi simbol paling pas dari ketertindasan orang-orang di sekitar penyair Wiji Thukul, termasuk dirinya sendiri. Seperti bisa kita baca dari serakan informasi tentangnya, Wiji Thukul memang bagian dari rakyat kecil dan tertindas, sama persis dengan tokoh-tokoh yang ia hadirkan dalam sajak-sajak protesnya—kadang saya membayangkan bahwa Mbok Cip yang disebutnya dalam Sajak “Kuburan Purwoloyo” itu adalah tetangga atau malah saudara Thukul sendiri.

Wiji Thukul—yang memiliki nama asli Wiji Widodo itu—memang besar di lingkungan rakyat miskin. Ia lahir dari sebuah keluarga tukang becak di Kampung Sorogenan, Solo, pada 26 Agustus 1963. Mulai tertarik puisi sejak SD, Wiji Thukul kemudian aktif menulis sajak tentang kehidupan rakyat kecil. Sajak-sajaknya kemudian dimasukkan ke dalam genre “puisi protes”—kategorisasi yang membuatnya dianggap sealiran dengan Taufiq Ismail dan WS Rendra.

Selain menulis puisi dan bekerja untuk menghidupi diri, Thukul termasuk aktivis garda depan yang menentang sikap pemerintah orde baru yang otoriter—raibnya penyair itu sampai hari ini juga dianggap sebagai akibat dari perjuangannya menentang orde baru. Sejumlah sajaknya yang memang ditujukan sebagai protes, hampir-hampir menjadi bacaan wajib para aktivis demostrasi penentang Soeharto. Satu petikan sajaknya—“Hanya ada satu kata: Lawan!”—amat sering terdengar di area demonstrasi bahkan sampai hari ini. Sebagian besar mereka yang hafal kalimat itu barangkali tak tahu bahwa kutipan itu berasal dari satu sajak Thukul bertajuk “Peringatan”.

Dalam momen peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional, Majalah Tempo memilih kumpulan sajak Thukul—Aku Ingin Jadi Peluru—sebagai salah satu dari 100 teks yang paling berpengaruh di Indonesia. Pemilihan ini terasa amat istimewa karena di antara ratusan penyair yang telah lahir di Indonesia, Thukul terpilih sebagai salah satu dari lima penyair Indonesia yang puisi-puisinya dianggap memengaruhi semangat kebangsaan rakyat Indonesia. Ia sejajar dengan Chairil Anwar, Taufiq Ismail, dan WS.Rendra.

Bagi saya pribadi, apa yang menarik dari Thukul bukan hanya karena sajak-sajaknya yang telah diakui luas—termasuk oleh masyarakat dunia. Secara pribadi, saya merasa memiliki ikatan dengan penyair ini karena sebuah sajaknya telah menggerakkan saya untuk mengunjungi sebuah tempat yang semula tak pernah saya tahu atau pikirkan. Tempat itu, Kuburan Purwoloyo, memang bukan ruang wisata yang menarik dan indah. Di sana, justru tersimpan kegetiran yang amat dalam.

Tapi, kegetiran semacam itu justru menjadi penting karena kehidupan manusia pada hakekatnya selalu merupakan tegangan antara kebahagiaan dan kesedihan. Momen kunjungan saya ke Kuburan Purwoloyo mengingatkan bahwa tegangan macam itu akan selalu ada dan tak akan pernah bisa kita lupakan.

Haris Firdaus

http://www.bengawan.org/2009/02/wiji-thukul-dan-kuburan-purwoloyo/

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?