SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Jejak Eksil di Mancanegara

| | |
Arti Armunanto sedang menempuh studi di Universitas Leipzig, Jerman Timur, ketika gerakan 30 September (G-30-S) 1965 meletus. Arti tengah menjalani tugas sebagai mahasiswa ikatan dinas dari Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). Tragedi politik menyiutkan nyali Arti untuk pulang ke Tanah Air. "Saya memutuskan untuk tetap berada di Jerman Timur sembari melihat perkembangan yang terjadi di Tanah Air," katanya.

Keputusan putri Menteri Pertambangan di era Soekarno, Armunanto, itu menetap di Jerman bukan tanpa alasan. Saat itu, kepemimpinan Soekarno jatuh ke tangan Soeharto. Rezim Soeharto secara perlahan melucuti orang-orang Soekarno yang pernah berkuasa di pemerintahan. Mereka yang dianggap tersangkut dengan pemberontakan G-30-S, yang disebut-sebut pelakunya adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), ditangkap dan dibunuh. Menteri-menteri Kabinet Dwikora ditahan dengan prosedur hukum yang tidak jelas. Termasuk ayah dan keluarga Arti.

Keluarga Armunanto dikabarkan dipenjara dan meninggal dunia. Arti, yang sebatang kara, merasa riskan untuk kembali ke Tanah Air. Ia takut dituduh sebagai orang PKI dan dibunuh pula. Padahal, kata Arti, dirinya sama sekali tidak tahu-menahu tentang G-30-S tersebut.

Nasib apes seperti yang dialami Arti menimpa pula ribuan warga negara Indonesia lain. Informasi yang minim kala itu menyebabkan sejumlah warga yang ada di luar negeri enggan balik. Terhadap mereka, rezim Orde Baru ketika itu menganggapnya sebagai pelarian tahanan politik (tapol) 1965.

Mereka yang tidak mau mengakui kepemimpinan Soeharto langsung dicabut paspornya. Dengan begitu, status para tapol atau eksil tersebut dalam kondisi tidak punya kewarganegaraan alias stateless. Sehingga mereka harus mencari suaka politik ke berbagai negara di belahan dunia. Hidup mereka terlunta-lunta, karena harus menerjang berbagai macam problematika kehidupan di negeri orang. Terutama terkait dengan kompleksitas budaya, sosial, ekonomi, keamanan, dan politik.

Tragedi G-30-S/PKI 1965, kata Ari Junaedi, sesungguhnya masih menyisakan sejuta persoalan. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia ini meneliti kasus tragedi tersebut, khususnya para eksil yang hingga kini masih berkeliaran di luar negeri.

Ari menyatakan tertarik meneliti kiprah eksil itu lantaran pertimbangan kemanusiaan. "Saya merasa masih banyak ketidakadilan yang dituduhkan kepada orang-orang yang distigma PKI," kata Ari, yang pernah menjadi staf khusus Presiden Megawati Soekarnoputri.

Penelitian Ari menarik disimak, karena menguak tema transformasi identitas dan pola komunikasi para pelarian politik tragedi 1965 di Swedia, Jerman, Belanda, dan Prancis. Pendekatannya lewat studi interaksi simbolik. Studi lapangan inilah yang kemudian dijadikan disertasi Ari. Agustus lalu, disertasi itu telah disidangkan di hadapan tim promotor dan dinyatakan cum laude. Akhirnya Ari berhak menyandang gelar doktor ilmu komunikasi pada kampus FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung.



Pelarian politik tragedi 1965, demikian hasil studi yang dilakukan Ari, berasal dari berbagai kelompok. Yakni, mahasiswa yang ditugaskan belajar tapi berstatus ikatan dinas dari Pemerintah Indonesia. Seperti halnya Arti Armunanto itu. Lalu ada pula kelompok delegasi Indonesia yang muhibah ke luar negeri semisal diplomat beserta keluarga. Atau utusan delegasi resmi yang tengah berada di luar negeri. Dan, kelompok yang memang memiliki pilihan politik.

Menurut Ari, faktor yang menyebabkan para eksil memilih menetap di negara pilihannya tak lain karena alasan pragmatis, ideologis, dan psikologis. "Ketika terjadi tragedi 1965, para eksil terkena pencabutan paspor sehingga tidak bisa pulang ke Tanah Air. Padahal tidak sedikit mereka itu yang sama sekali tidak terkait dengan PKI," kata Ari yang mantan wartawan itu.

Pada umumnya, sebagaimana angin politik saat itu, mereka dikirim ke sejumlah negara blok komunis. Di antaranya Uni Soviet, Cekoslovakia, Polandia, Rumania, Jerman Timur, Hungaria, Bulgaria, Kuba, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan sebagainya. Seiring waktu berjalan, para eksil itu kemudian menyebar ke berbagai negara Eropa agar bisa bertahan hidup. Seperti ke Prancis, Swedia, Jerman, dan Belanda.

Di negara-negara itulah Ari harus pontang-panting menembus para eksil yang dijadikan subjek dan objek penelitian selama bertahun-tahun. Ari melakukan wawancara mendalam dan partisipan observer terhadap 27 eksil yang tersebar di empat negara tersebut.

Ke-27 narasumber tersebut dipilih sebagai informan yang mewakili generasi pertama dan kedua. Total jumlah para eksil itu, setelah beranak pinak, kini diperkirakan mencapai lebih dari 1.500 orang. Generasi pertama yang masih hidup memasuki usia 68-80 tahun.

Selama di luar negeri, para eksil berusaha keras agar dapat diterima di negara tujuan dan menetap seumur hidup. Walaupun cara yang mereka tempuh itu sebagai imigran gelap. Bahkan sampai ada yang memanipulasi identitas dan bekerja secara ilegal.

Sebagian dari mereka terpaksa menjalani pekerjaan kasar meskipun berpendidikan tinggi. Yang mengherankan, kata Ari, walaupun mereka sudah puluhan tahun terasing di negeri orang, tapi rasa kebangsaan Indonesianya tak pernah luntur.

Mereka sudah berkebangsaan Belanda, Jerman, atau beristrikan wanita Rusia, berketurunan campuran, namun jiwa raga mereka masih Indonesia. Transformasi identitas diri mereka berjalan secara terbuka dan tersembunyi. Para eksil harus memiliki identitas baru lewat proses dan konsekuensi yang diterimanya. Identitas baru itu dinyatakan terbuka sebagai pegangan untuk menunjukan eksistensinya.

Namun di sisi lain, para eksil dihadapkan pada identitas laten yang telah melekat dalam dirinya sebagai warga negara Indonesia. Identitas ini disembunyikan supaya mereka tetap aman dari ancaman yang menghambat hidupnya pada posisi identitas baru.

Tidak sedikit dari para eksil yang kini jumlahnya masih sekitar 1.500 orang, sangat berharap ketika meninggal dunia jasadnya minta dikuburkan di tanah kelahiran. "Mereka (para eksil) berkali-kali menyatakan bila nanti mati jasadnya dikuburkan di tanah kelahirannya di Indonesia. Kerinduan mereka kepada kampung halaman tidak pernah hilang," kata Ari.

Ari melanjutkan, pola komunikasi para eksil terjadi melalui dua ragam. Baik secara intraetnik maupun interetnik. Pada saat berkomunikasi dengan intraetnik, penggunaan bahasa ibu menjadi dominan. Sedangkan ketika berkomunikasi interetnik, bahasa asing di tempat mereka tinggal menjadi bagian dari proses komunikasi.

Pola penggunaan bahasa asing ini unik. Karena penggunaannya berlandaskan pada indoktrinasi, kesadaran diri, dan alamiah. Tempat berinteraksi biasanya dilakukan di restoran-restoran khas Indonesia yang didirikan oleh para eksil.

Pola komunikasi itu berlanjut pada identifikasi antarbudaya baru dari para eksil. Bentuk komunikasi intra dan interetniknya terbentuk lewat komunikasi antar personal, kelompok, dan massa. Secara akulturasi, komunikasi personal konsisten dengan budaya pribumi. Sedangkan komunikasi kelompok berjalan melalui komunitas seni, budaya, perkumpulan, dan komunitas tertentu lainnya. Adapun komunikasi massa lewat penggunaan media massa seperti buku, radio, dan surat kabar.

Disertasi itu, kata Ari, dipersembahkan untuk para eksil di Indonesia dan mancanegara. Ia meminta pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mau menuntaskan persoalan status politik para eksil yang selama ini dicap pembangkang. "Pemerintah seharusnya menghapus stigma komunis dan memberikan kemudahan pengurusan kewarganegaraan baru bagi para eksil tragedi 1965 bersama keluarganya. Kalau tidak, jangan sampai kita menjadi bangsa yang pendendam," katanya.

Deni Muliya Barus
[Laporan Utama, Gatra Nomor 47 Beredar Kamis, 30 September 2010]
URL: http://www.gatra.com/2010-10-04/versi_cetak.php?id=141792

0 komentar:

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?