SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Kisah "Orang Indonesia" di Belanda...

| | | 0 komentar
”Amsterdam. Pengungsi Indonesia tiba di Belanda setelah diusir dari negara mereka karena memegang paspor Belanda. Dari kapal, mereka dibawa ke kamp-kamp untuk pemeriksaan medis dan kemudian dikirim ke rumah-rumah di seluruh negeri. Bagi sebagian di antara mereka, Belanda terlalu dingin sehingga banyak yang tewas....”
Demikian catatan di balik sebuah foto yang menggambarkan seorang perempuan berwajah Ambon, dengan pakaian kebaya putih, ketika baru tiba ke Pelabuhan Amsterdam. Dalam foto yang lain, seorang perempuan berkerudung asal ”Indonesia” tampak tersenyum bahagia.
Teks di belakang foto tertulis, ”Perempuan ini meninggalkan Indonesia setelah negaranya memperoleh kemerdekaannya dan tiba di sini, di Amsterdam, untuk bergabung dengan keluarganya, yang telah datang lebih dulu.”
Foto-foto itu diabadikan oleh fotografer Magnum, Leonard Freed, selama kurun 1958-1962 dan dipamerkan di Tropenmuseum, Amsterdam, pada pengujung September 2010.
Serial foto ini menggambarkan tentang orang-orang Indonesia—kebanyakan berasal dari Ambon—saat baru datang di Belanda hingga beberapa saat setelah mereka tinggal di negeri itu. Mereka kebanyakan eks tentara Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) dan keluarga. Foto-foto ini mengingatkan pada kisah komunitas Maluku di Van Het Rijk, Nistelrode, Provinsi Noord Brabant, yang saya temui akhir Oktober 2008. ”Waktu baru datang, kami sangat menderita,” kenang Helena Mparityenan (80).
Helena adalah generasi pertama Maluku yang datang ke Belanda tahun 1951. Dia merasakan penderitaan dalam perjalanan dengan kapal dari Surabaya menuju Belanda dan hidup bertahun-tahun di barak.
Kehidupan yang pahit di Belanda membuat sebagian orang yang terusir dari kampung asalnya memendam rasa marah terhadap sesuatu yang berbau Indonesia. Sebagian dari mereka kemudian mendirikan Pemerintah Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda.
Gerakan yang awalnya mendapat dukungan dari masyarakat Belanda ini biasanya berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar RI (KBRI) setiap peringatan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus dan peringatan pembentukan RMS pada 20 April.
Namun, beberapa aksi nekat simpatisan RMS membuat mereka kehilangan dukungan. Misalnya, penyanderaan 18 tenaga staf KBRI pada 1966, pendudukan Wisma Duta pada 13 Agustus 1970, dan penyanderaan di Konsulat Jenderal RI di Amsterdam tahun 1975. Puncaknya ketika mereka menyandera penumpang kereta api di Wijster dekat Beilen, Juli 1975, yang menewaskan dua orang di antaranya; pembajakan kereta api dari Assen dan Groningen, utara Belanda, pada 1977; dan penyanderaan 110 orang, sebagian besar anak sekolah, di Bovensmilde pada tahun 1978.
Masyarakat Belanda yang semula bersimpati lalu menjauh dan acuh dengan mereka. RMS kehilangan dukungan moral maupun keuangan.
Tak hanya itu, generasi penerus RMS di Belanda juga semakin acuh dengan gerakan politik pendahulu mereka. Salah satunya adalah Daniel Irijanan (25) dari Nistelrode. Kakeknya, Ezechiel Irijanan, berasal dari Maluku Tenggara dan neneknya dari Sunda. Daniel adalah generasi ketiga keturunan eks tentara KNIL yang menetap di Belanda sejak tahun 1950-an.
Daniel enggan berbicara politik, terutama yang berkaitan dengan RMS. Tema pembicaraan yang paling disukainya adalah tentang Ajax. Maklum, Daniel mengaku pendukung fanatik klub sepak bola raksasa dari Belanda itu.
Daniel mengaku sudah beberapa kali pulang ke kampung leluhurnya di Ambon. Untuk berwisata dan mengunjungi kerabat.
Pascal Amukwaman, mantan Ketua Organisasi Nasional Sosial Maluku di Belanda, mengatakan, gerakan RMS tidak lagi populer di mata generasi ketiga. Walaupun masih ada simpatisan RMS, jumlahnya terus berkurang. Tidak signifikan dan gerakan ini nyaris tak terdengar lagi di Belanda dalam beberapa tahun terakhir.
Oleh karena itu, banyak orang Indonesia, termasuk kalangan Maluku, di Belanda yang terkejut dengan pembatalan rencana kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda gara-gara RMS mendaftarkan tuntutan dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia ke pengadilan Belanda. RMS yang semula nyaris mati angin tiba-tiba mendapat angin.
Pembatalan kunjungan ini memang mengagetkan karena terjadi di tengah membaiknya hubungan diplomatik kedua negara. Seiring dengan semakin sedikitnya orang Maluku yang berdemonstrasi ke KBRI Den Haag, pada 2007, Perdana Menteri Belanda Jan Peter Balkenende datang dalam peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot menghadiri peringatan 17 Agustus di Istana Merdeka, Jakarta, pada tahun 2005.
Kehadiran pejabat-pejabat tinggi Belanda ini merupakan yang pertama setelah selama lebih dari 60 tahun mereka mengingkarinya dan menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949, yaitu ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.
Semangat zaman baru sangat terasa di perkampungan orang- orang Maluku di Van Het Rijk. Masih segar di ingatan sore itu udara teramat dingin dan angin dingin menjatuhkan dedaunan, mencipta karpet kuning menghampar di tanah pusara di ujung permukiman Van’t Rijk. ”Di sini dikuburkan para orang tua kami. Masa lalu kami,” kata Pascal.
Dia mengingatkan, sejarah itu tak bisa diputar ulang atau diingkari. Sebagaimana digambarkan dalam foto-foto kenangan Leonard Freed tentang ”orang- orang Indonesia di Belanda”, RMS adalah ”masa lalu”, dan mestinya tak lagi mengganjal hubungan dua negara....

kompas

Perebutan Minyak dan Perang Pasifik di Tarakan

| | | 0 komentar
Ambrosius Harto Manumoyoso dan Defri Werdiono


Brutal dan tak ada ampun! Sekitar 300 serdadu Belanda dari Batalyon 7 Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger atau KNIL hari itu dieksekusi Jepang meskipun mereka telah menyatakan menyerah, kalah perang, kepada Jepang.
Mengapa begitu brutal? Ternyata, beberapa hari sebelum eksekusi itu terjadi, tepatnya 12 Januari 1942, pasukan Belanda yang dibantu KNIL baru saja menenggelamkan dua kapal perang Jepang. Pasukan Belanda menghujani enam kapal penyapu ranjau Jepang dengan meriam dari perbukitan Peningki dan Karungan di Kelurahan Mamburungan, Pulau Tarakan, Kalimantan Timur.
Saat diserang, kapal-kapal Jepang itu sedang mendekati pesisir tenggara Tarakan sembari mengibarkan bendera putih. Akibat serangan itu, kapal W13 dan W14 milik Angkatan Laut Jepang hancur bersama hampir semua awaknya.
Ulah serdadu Belanda dan KNIL di Mamburungan—yang tidak mengetahui bahwa pasukan Belanda di Jawa telah menyerah setelah saluran telepon diputus oleh Jepang dan menganggap bendera putih sebagai siasat lawan—itu akhirnya bisa dihentikan atas bujukan Komandan Garnisun Belanda Overste (Letnan Kolonel) S de Waal. Belanda bersedia menyerah dengan janji amnesti dari Jepang. Sayangnya, janji itu diingkari. Jepang tetap mengeksekusi para serdadu dari Mamburungan.
Bukti-bukti serangan itu masih ada hingga kini. Di Peningki, misalnya, meriam-meriam dan bungker segi empat masih berdiri tegap dalam radius ratusan meter dari pantai. Meski beberapa bagiannya sudah tidak lengkap, termasuk coretan vandalisme, meriam-meriam ini masih gagah dengan moncong menghadap ke laut. Bahkan, pangkal meriam yang pecah akibat dihancurkan sendiri oleh serdadu Mamburungan juga masih tampak.
Dari arah meriam-meriam itu bisa dibayangkan bagaimana Belanda dulu bisa leluasa melihat kedatangan lawannya yang berada di lautan, untuk kemudian menghancurkannya.
Selain meriam, serdadu Belanda juga menghancurkan sumur dan pompa pengeboran minyak yang dibangun oleh Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), perusahaan perminyakan Belanda di Tarakan.
Bekas penghancuran itu pun masih bisa dilihat, antara lain 22 menara pompa minyak yang tersebar di Kampung Empat dan Kampung Enam, Tarakan Timur. Tidak jauh dari tempat itu juga ada tangki hitam besar yang kini berisi air untuk membersihkan minyak (wash tank).
Penghancuran instalasi dimaksudkan agar Jepang tidak mendapat minyak untuk memobilisasi pasukan dalam Perang Pasifik, bagian dari Perang Dunia II, 1942-1945. Namun, prediksi Belanda keliru. Produksi minyak saat dipegang Jepang justru meningkat menjadi empat kali lipat dibandingkan BPM. Volume minyak yang sebelumnya 80.000 ton menjadi 350.000 ton per bulan.
Keberadaan industri minyak bumi di Tarakan memang menjadi salah satu pemicu Perang Dunia II di Asia Pasifik. Nusantara (Hindia Belanda), termasuk Tarakan, adalah penghasil bahan mentah bagi industri dan mesin perang negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang, termasuk minyak.
Minyak Tarakan dikenal berkualitas tinggi dan murni (world purest oil). Pemicunya adalah komentar Amsterdam Effectenblad, bursa saham Belanda, pada 1932 yang menyatakan kualitas minyak bumi di Tarakan cukup baik sehingga kapal-kapal besar bisa langsung memasukkan minyak ke dalam tangki.
Saat perang berkecamuk (1941-1945), Tarakan menjadi prioritas utama Jepang. Alasannya, lokasinya strategis sehingga menjadi basis termudah dan terdekat bagi kekuatan Jepang di Davao, Pulau Mindanao, Filipina selatan. Menguasai Tarakan juga berarti memutus jalur bantuan sekutu dari Australia ke kepulauan Filipina, tempat pasukan Amerika Serikat di bawah pimpinan Jenderal MacArthur yang saat itu terdesak oleh gempuran Jepang.
Untuk itulah, pada malam Natal atau 24 Desember 1941, Jepang memulai serangan udara di Tarakan. Saat itu, bisa dikatakan, pertempuran milik Jepang.
Namun, penjajahan Jepang tidak bertahan lama. Tahun 1945 Belanda mendompleng sekutu melakukan balas dendam. Tanggal 1 Mei 1945, Tarakan digempur 20.000 serdadu Australia. Kali ini, sisa pasukan Jepang di Tarakan cuma 2.000 orang. Mereka memberikan perlawanan gigih sampai mati sehingga Tarakan baru bisa dikuasai sekutu pada Juli 1945.
Pada kurun 1942-1945, Tarakan juga menjadi mandala perang yang melibatkan sejumlah tokoh penting militer Indonesia, Jepang, Belanda, dan sekutu. Mereka adalah Kepala Staf Angkatan Udara (pertama) Marsekal RS Soeriadarma; pilot kawakan Jepang, Saburo Sakai; dan perwira tinggi legendaris Amerika Serikat, Jenderal MacArthur.
Membuka catatan sejarah Tarakan bak membuka buku tebal. Apalagi jika ditambah perkembangannya saat ini.

http://cetak.kompas.com/read/2010/10/09/03550019/perebutan.minyak.dan.perang.pasifik.di.tarakan

Lelakon Wong Jawa di Suriname

| | | 0 komentar

Frans Sartono

Setiap warga Suriname keturunan Jawa memiliki cerita tentang leluhur mereka yang berasal dari Jawa. Orangtua, kakek buyut mereka, dikapalkan sebagai pekerja kontrak pada kurun 1890-1939.

Lelakone wong songko nJowo
Nang Suriname dikontrak Londo
Tekan seprene lagi temonjo.

Itu tembang yang turun-temurun dilantunkan warga Suriname keturunan Jawa. Terjemahan bebasnya kira-kira begini: ”Ini perjalanan nasib orang dari Jawa/Di Suriname dikontrak (sebagai pekerja) oleh pemerintah Hindia-Belanda/Sampai sekarang baru tampak hasilnya.

Lagu itu membayangi Kompas ketika pada akhir September lalu bertandang ke rumah keluarga Raymond Soegiman Nojoredjo (70), keturunan Jawa yang tinggal di Distrik Lelydorp, Suriname. Ayah Soegiman, yaitu Wagijo Nojoredjo, berasal dari desa Bantulan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Adapun sang ibu, Semen Kartosemito, berasal dari Desa Karang Gedang, Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah.

Distrik Lelydorp banyak dihuni warga Suriname keturunan Jawa. Daerah itu dulunya adalah perkebunan yang banyak mempekerjakan petani asal Jawa. Suasana Jawa terasa karena dari radio di mobil terdengar suara Mus Mulyadi melantunkan ”Yen Tak Rasake” sampai ”Keroncong Telomoyo”.

Ibu Soegiman mengajak kami makan pitjel alias pecel dengan lauk tempe goreng. ”Iki sing gawe yo wong Jowo neng kene (ini yang bikin juga orang Jawa di sini),” kata istri Raymond Soegiman itu.

Sambil santap pecel, Raymond Soegiman bercerita.
”Ijik cilik pak’e dikongkon ngarit karo wong tuwane (ketika masih kecil ayah disuruh mencari rumput oleh orangtuanya),” tutur Raymond Soegiman dalam bahasa Jawa.
”Sampai di rumah, bapak dimarahi (oleh orangtuanya). Baju disampirkan begitu saja, lalu bapak pergi. Ia tidak pamit dan sejak itu tidak pernah kembali lagi ke rumah,” kata Soegiman yang dalam bahasanya terselip bahasa Belanda dan Inggris.

Wagijo bertemu dengan seseorang di jalan yang mengajaknya pergi. Rupanya, Wagijo terkena werk yang menurut Soegiman tak beda dengan adol uwong alias human trafficking. Ia mengira Suriname adalah tanah sebrang, Sumatera.
Werk adalah bahasa Belanda yang berarti kerja. Di-werk adalah istilah untuk menyebut tindakan ”pemaksaan” kepada orang untuk bekerja. Dalam hal ini bekerja sebagai pekerja kontrak di Suriname.

Wagijo ditempatkan dalam depo di Batavia untuk didata dan diperiksa kesehatannya. Dalam proses pendataan, nama lahir Wardijo tertulis salah sebagai Wagijo dan kemudian menjadi nama resmi. Ia dikapalkan ke Suriname dengan kapal Djambi pada 30 Maret 1929. Ia dipekerjakan di perkebunan Wederzorg di Distrik Commewijne, Suriname, untuk masa kontrak lima tahun dari 9 Mei 1929 sampai 9 Mei 1934.

Sekitar dua bulan kemudian, seorang gadis berusia 18 tahun bernama Semen Kartosemito mengalami nasib serupa Wagijo. Gadis bertinggi 144 asal Desa Karang Gedang, Kecamatan Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah, itu diberangkatkan dari Batavia ke Suriname pada 22 Mei dengan kapal Simaloer II. Semen dipekerjakan pula di perkebunan yang sama dengan Wagijo.


Jalan hidup mempertemukan Wagijo dan Semen sebagai pasangan suami istri. Mereka mempunyai 14 anak dan sampai hari ini sembilan di antaranya masih hidup. Pasangan Wagijo dan Semen kini tumbuh sebagai keluarga besar yang terdiri dari anak, cucu, buyut dan cicit yang total berjumlah 108 orang.

Soegijo meninggal tahun 2006 dalam usia 94. pada Tahun 1985, ia sempat pulang ke Boyolali dan bertemu dengan sanak kadang.

Lakon para pekerja keturunan Jawa di Suriname adalah drama keterpisahan dan pertemuan. Soegiman bercerita tentang sang ibu yang terpisah dari sanak kerabat di Banyumas tanpa pernah mengetahui kabar sanak saudaranya di Jawa.

”Namun, entah mengapa mak’e (ibu) mempunyai perasaan bahwa adiknya juga di-werk. Ia melacak-lacak dari satu teman ke teman lain. Dan, setelah 40 tahun kemudian, ibu bertemu dengan adiknya yang bernama Biru,” tutur Soegiman.

Balada Parno-Maona

Hikayat serupa dimiliki oleh setiap keluarga keturunan Jawa di Suriname. Suatu malam pada 24 September lalu, Kompas bertemu dengan Pairoon Somoredjo (64) yang tengah menyaksikan tari Bambangan Cakil dalam acara Indofair di Paramaribo, Suriname. Tari Bambangan Cakil dibawakan anggota delegasi Indonesia yang dibawa Kementerian

Kebudayaan dan Pariwisata RI, dalam rangka memperingati 120 tahun kedatangan imigran dari Jawa. Di tengah gerak Cakil dan alunan gamelan, Pairoon bertutur tentang balada cinta kakek-neneknya.

”Mbahe cerita, yen deweke di-werk (kakek bercerita bahwa dia di-werk),” kata Pairoon yang berbicara menggunakan bahasa Jawa.
”Diajak uwong niku mbahe kok nggih ngungkluk mawon... ngertos-ngertos pun wonten depo (diajak orang itu kok kakek ya menurut begitu saja ... tahu-tahu dia sudah berada di Depo),” kata Pairoon.
Pairoon yang pensiunan pegawai kantor pajak itu kemudian mengisahkan pertemuan antara kakek dan neneknya. Berikut ini adalah ringkasan dari penuturan Pairoon:

Seorang gadis remaja menangis tersedu-sedu di sudut depo atau tempat penampungan calon tenaga kerja di Batavia yang akan dikapalkan menuju ke Suriname. Ia meratapi nasib karena tiba-tiba telah berada di tempat tersebut dan tidak bisa lagi keluar dari tempat penampungan, apalagi kembali ke desa. Perempuan itu bernama Maona.

Nasib yang sama menimpa Parno Somoredjo, remaja itu juga merasa tiba-tiba telah berada di depo yang sama. Parno mendatangi Maona. Mereka saling berbagi cerita tentang keterpisahan tiba-tiba dengan keluarga; tentang negeri tujuan yang asing dan tidak pernah mereka dengar sebelumnya.

Parno dan Maona bersama puluhan orang senasib kemudian berada dalam satu kapal menuju Suriname. Mereka dipekerjakan sebagai buruh perkebunan tebu Waterloo di Distrik Nickerie, Suriname. Dua insan senasib itu jatuh cinta dan kemudian menikah di negeri baru itu. Mereka mempunyai dua anak bernama Painah dan Painem. Pairoon Somoredjo adalah anak dari Painah. Mereka beranak-pinak dan kini telah lahir generasi kelima.

Lingkaran sejarah

Lelakon atau perjalanan nasib manusia dari Jawa itu telah menjadi sejarah dalam kehidupan rakyat Suriname sampai hari ini.

”Sejarah menyadarkan kita
tentang dari mana kami berasal dan oleh karena itu kami tahu ke mana akan melangkah,” kata Jean-Pierre der Kayzer, Direktur Museum Fort Nieuw Amsterdam, Suriname.

Dia mengantar pengunjung berkeliling museum yang menyimpan sejarah kelam perbudakan di Suriname yang dihapuskan pada 1863. ”Kalau tidak mengenal sejarah, orang akan berjalan di lingkaran dan akan mengulang-ulang kesalahan,” katanya.

Tahun ini, genap 120 tahun lalu orang Jawa dikapalkan untuk dipekerjakan di Suriname. Itu nasib wong jowo, orang Indonesia pada zaman kolonial. Kini?

http://cetak.kompas.com/read/2010/10/10/04174561/lelakon.wong.jawa.di.suriname

Damai Aceh, Sebuah Penemuan

| | | 0 komentar
Perdamaian itu bukan hanya membanggakan Indonesia, tapi teladan bagi Asia Tenggara.

PERANG, kata Sir Henry Maine, adalah praktik kuno manusia. “Tetapi, perdamaian adalah sebuah penemuan modern,” tulis hakim Inggris itu, pada suatu masa di Eropa pertengahan abad ke-19. Perdamaian, boleh jadi adalah ‘penemuan modern’. Atau juga bukan. Di tengah perang yang setua usia peradaban manusia, perdamaian adalah usaha tak mudah.

Di Aceh, misalkan, orang kerap mengingat: pada satu masa, perdamaian adalah sebuah kemustahilan. Selama tiga dekade, politik di sana digerakkan amarah. Kata-kata digantikan senjata. Atas nama keadilan, konsep tentang “Indonesia” digugat Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Indonesia,” kata Hasan Tiro, sang pemimpin pemberontakan itu, “tak lain konsep kolonialisme Belanda, yang diteruskan oleh penjajah Jawa”.

Hasan Tiro berhasrat melanjutkan kedaulatan lama itu: negara Aceh yang gemilang seperti pada zaman Iskandar Muda. Tentu, seperti kita ketahui, rezim Orde Baru membuyarkan mimpi itu. Lalu, selama tiga dekade, Aceh tenggelam dalam pergolakan bersenjata. Sampai tatkala rezim berganti, tapi penguasa baru hasil reformasi tak juga berhasil menghentikan darah tumpah di sana.

Maka, di Aceh, orang juga mengenang sosok Jusuf Kalla. Pada 15 Agustus 2005, saat termometer jatuh di bawah nol di Helsinki, dia telah melelehkan sesuatu yang lama beku antara Aceh dan Jakarta: kepercayaan. Kalla memang tak di sana, saat naskah damai itu diteken kedua pihak. Dia, bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyaksikan adegan bersejarah itu dari Jakarta.

Mungkinkah perdamaian Aceh itu tanpa Kalla? Dia seorang saudagar, yang menjalankan politik selincah rumus dagang. “Negosiasi adalah soal penawaran”, kata Kalla, suatu hari saat dia mulai menggarap Aceh. “Kalau tak bisa dapat 1 dengan harga 10, anda bisa tawar dengan harga 15, tapi dapat 2”. Kalla, dalam banyak soal, adalah seorang pragmatis.

Tapi, seperti kita lihat, pendekatan “dagang” itu, tak selalu mulus.

Dua bulan sebelum bencana tsunami Desember 2004, Kalla sesungguhnya telah mulai melancarkan “gerilya” untuk perdamaian. Saat itu, dia baru saja dilantik sebagai Wakil Presiden, dan yakin akan bisa menyelesaikan konflik di Aceh, seperti halnya di Ambon dan Poso.

Kalla lalu mengutus Hamid Awaluddin, orang kepercayaannya yang baru diangkat sebagai Menteri Hukum dan HAM. Rencana itu sangat rahasia: membujuk para panglima GAM di lapangan. “Jangan sampai pers tahu,” begitu Kalla mengingatkan.

Para pemimpin gerakan itu di Swedia, untuk sementara dilewatkan. Mungkin, dalam strategi ini, mereka tak begitu penting. Bagi Menteri Hamid, yang berperang dan menderita, adalah mereka yang hidup di Aceh. Yang dibutuhkan, seorang komandan tertinggi yang dipatuhi di lapangan. Tentu, dia harus bersedia diajak bicara.

Usaha Menteri Hamid itu tak sepenuhnya berhasil. Ujung cerita, justru berakhir agak jenaka.

Suatu kali, kontak yang “disegani” itu ditemukan. Satu proposal sudah disiapkan. Ada janji konsesi kebun sawit, listrik yang melimpah, pesawat terbang khusus, beserta bandara kelas dunia bagi Aceh. Di proposal itu tertera tandatangan sejumlah pejabat RI, salah satunya Menteri Hamid. Di pihak seberang, ada dua ‘perunding GAM’: M Daud Syah dan Harun Yusuf.

Daud, disebut-sebut pengikut Hasan Tiro yang setia, dan berpengaruh di Malaysia. Sama seperti Daud, di Malaysia, Harun dikenal dengan nama lain “Kancil”. Tapi, Daud gagal meyakinkan Muzakkir Manaf. “Urusan politik silakan langsung ke Swedia,” ujar Muzakkir. Dan, Harun “Kancil” justru ditolak. “Mereka bukan juru runding kami,” ujar M Nur Djuli, perunding resmi GAM.

Di Malaysia, Harun “Kancil” lebih dikenal sebagai pedagang jamu. Dia, ternyata, bukan kombatan berpengaruh.

Tapi, toh Kalla tak pernah patah arang. Dia lalu memutar haluan. Menteri Hamid dikirim ke Eropa, ke Belanda, sampai pada akhirnya satu utusan dikirim ke Swedia. Ada lampu hijau, Hasan Tiro melalui Perdana Menteri GAM Malik Mahmud, bersedia berdialog asal ada satu negara penengah. Tapi, itu tak mudah bagi Kalla. Pemerintahan SBY akan dilalap oposisi, karena “membesarkan” GAM di panggung politik dunia.

Lalu, bagaimanakah membuat dialog itu tetap “berkelas” dunia?

Suatu hari pada Januari 2005, bekas Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, mendapat telepon dari rekannya, seorang pemimpin redaksi koran ternama di Helsinki. Kepada Martti, si teman mengatakan ada pesan dari Indonesia, menginginkan Martti menjadi penengah. Martti, seperti diakuinya kepada saya, awalnya agak enggan. Dia sedang bekerja untuk perdamaian di Afrika, dan juga Eropa Timur. Indonesia, mungkin, terlalu jauh.

Tapi, Martti akhirnya setuju karena menimbang Aceh, satu tempat yang luluh lantak diterjang tsunami, dan membuat seisi dunia murung. Si pemimpin redaksi, tak lain rekan Juha Christensen, seorang warga Finlandia ahli farmasi. Juha fasih berbahasa Makassar. Dia adalah kolega dr Farid Hussein, salah satu ‘Orang-orang Kalla’, yang turut dalam tim damai di Jakarta.

Cerita selanjutnya kita tahu, bagaimana ‘Orang-orang Kalla’ mengambil hati para pemimpin GAM di Swedia. Perundingan pun dimulai, dan dipimpin Martti. Awalnya sulit, tapi Kalla selalu punya jalan keluar. Ketika kemacetan dialog mengancam, Kalla membuat keputusan cepat.

Salah satu ‘Orang Kalla’ bersaksi: suatu kali Menteri Hamid pusing oleh banyaknya syarat yang diajukan GAM di meja perundingan di Helsinki. Dia menelepon Kalla di Jakarta. “Pernah mengambil kredit di bank? Apakah kau baca semua syaratnya?”, tanya Kalla. Seperti halnya bisnis, bagi Kalla, syarat kredit bukan soal pokok. Yang penting: uang bisa cair, dan bisnis bergulir. “Hamid, yang penting mereka setuju berada di dalam NKRI. Yang lain, tak penting,” kata Kalla. Dialog pun lancar kembali.

Pragmatisme, dalam dosis tertentu kadang penting. Dan, Kalla membuktikannya. Seperti diakui M Nur Djuli, sang Wakil Presiden sangat berperan saat perundingan itu di ujung tanduk. Misalnya, ihwal partai lokal bagi Aceh. “Kalla memberikan lampu hijau, partai lokal boleh berdiri”, ujar Djuli.

Sejak itu, Kalla dipercaya para pemimpin GAM di Swedia. Dia tak kalah gesit. Kalla menyelami pikiran dan perasaan pemberontak itu. “Saya membaca hampir semua buku karya Hasan Tiro,” ujar Kalla, suatu hari di kantor Wakil Presiden. Dia percaya, dialog hanya mungkin jika kedua pihak saling mengenal, dengan penuh hormat. Misalkan, dia kerap bergurau, saat pertemuan dengan Malik Mahmud cs, bahwa rapat hari itu itu adalah pertemuan GAM. “Gabungan Aceh Makassar,” ujar Kalla.

Perundingan Helsinki itu selesai dalam tempo tujuh bulan. Dia bukan hanya membanggakan Indonesia, tapi menjadi teladan bagi Asia Tenggara. Bagi Aceh yang lama terbenam dalam perang, perdamaian mungkin adalah sebuah penemuan. Mereka akan selalu mengenang Kalla: pemimpin yang percaya perdamaian bukan sesuatu yang mustahil.

~ Nezar Patria, Wartawan VIVANews.com

(Artikel ini juga dimuat dalam buku "Mereka Bicara JK", NPCI Jakarta, 2009. Diluncurkan di Hotel Sultan, Jakarta, 21 Oktober 2009, dalam rangka melepas purnatugas Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI 2004-2009)
• VIVAnews

Diplomasi Cakil di Suriname

| | | 0 komentar
Buto Cakil, raksasa dalam pewayangan itu, pecicilan di Suriname. Itulah diplomasi budaya dari Indonesia dalam Indofair, 24 September- 2 Oktober di Suriname, dalam rangka peringatan 120 tahun kedatangan pertama imigran Jawa ke negara di Amerika Selatan itu.

Warga Suriname riuh, bertepuk kagum pada gerak tari Cakil yang lincah. Kontras dengan gerak ksatria yang begitu lembut melawan sang Cakil. Itulah tari Bambangan Cakil yang merupakan salah satu suguhan dalam acara Malam Budaya Indonesia dalam Indofair 2010 di Paramaribo, ibu kota Suriname.

Pada acara yang didukung KBRI di Suriname itu tampil pula penari Didik Nini Thowok dengan tari Dwimuko yang membuat penonton terpingkal-pingkal. Ada pula Yan Felia, penyanyi asal Solo yang rupanya cukup populer di Suriname. Dia membawakan lagu berbahasa Jawa ”Sewu Kutho” yang juga sangat dikenal luas warga Suriname. Tim kesenian yang dibawa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia itu menjadi hiburan bagi warga Suriname.

Suasana malam itu mengingatkan pada pasar malam di Indonesia. Warga Suriname hadir untuk menikmati tontonan kesenian. Mereka belanja di gerai-gerai pameran yang menjajakan batik, kerajinan dari Indonesia, seperti belangkon dan wayang kulit, sampai cobek batu untuk mengulek sambal.

Tampak hadir sejumlah petinggi Suriname, seperti Menteri Dalam Negeri Soewarto Moestadja, Menteri Tenaga Kerja Ginmardo Kromosoeto, serta Menteri Peternakan dan Perikanan Hendrik Setrowidjojo. Ada pula Kepala Kepolisian Suriname H Setrosentono.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia Wardiyatmo, yang juga

ketua delegasi misi kebudayaan Indonesia, membuka Indofair dengan menyapa hadirin dalam bahasa Jawa. ”Sugeng wengi... selamat malam.”

Warga Suriname merasa mendapatkan atmosfer Jawa dari acara Indofair. Generasi tua usia sekitar 50 tahun ke atas datang dengan baju batik. Sementara kaum mudanya tampil layaknya anak muda Amerika Latin-Karibia, yaitu dengan celana ketat serta pakaian seperti tank top, semacam kemben ketat, dan jenis pakaian yang serba terbuka bagian belakang atau depan. Mungkin karena udara Suriname yang sangat panas.

Acara digelar di Sana Budaya, pendapa berarsitektur joglo milik Vereniging Herdenking Javaanse Immigratie (VHJI). Ini sebuah perhimpunan untuk mengenang imigrasi Jawa di Suriname. Sana Budaya memang tempat bertemunya warga keturunan Jawa yang merupakan 15 persen dari sekitar 470.000 orang jumlah penduduk Suriname.

Di Sana Budaya terdapat monumen peringatan 100 tahun kedatangan imigran Jawa ke Suriname berupa tugu berbentuk gunungan. ”Setiap tanggal 8 Agustus kami membuat pasar malam untuk memperingati kedatangan pertama imigran Jawa di Suriname. Kami meletakkan bunga di gunungan,” kata Kim Sontosoemarto (50), Ketua VHJI.

Drama manusia

Di balik aksi Cakil dan ritual pasar malam itu terdapat drama kehidupan manusia dari nenek moyang keturunan Jawa. Mereka datang ke negeri asing yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

”Mereka adalah petani tak berpendidikan. Mereka mengira akan dibawa ke tanah seberang, Sumatera. Tetapi, waktu tiba di Suriname, mereka keget dan bingung melihat orang berkulit hitam,” tutur Soewarto Moestadja, menteri keturunan Jawa itu, menceritakan pengalaman kakek-neneknya yang berasal dari Kalirancang, Alian, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Imigrasi Jawa dimulai tahun 1890.

Buku Historische Database Van Suriname yang disusun Maurits Hassankhan dan Sandew Hira mencatat, dari 9 Agustus 1890 sampai 13 Desember 1939, sebanyak 32.965 imigran asal Jawa dikapalkan ke Suriname.

Selama kurun 49 tahun, terjadi 54 pengapalan pekerja asal Jawa dari pelabuhan di Batavia dan Semarang. Rombongan pertama diangkut pada 9 Agustus 1890 dengan

Prins Alexander dan Prins Willem II. Kapal terakhir pembawa tenaga kontrak adalah kapal Kota Gede pada 13 Desember 1939.

Mereka diikat kontrak lima tahunan sebagai buruh perkebunan dan pekerja pabrik. Sampai tahun 1954, sebanyak 8.684 atau 26 persen dari imigran itu pulang kampung.

Zaman baru

Zaman telah berganti. Nasib telah berubah. Generasi demi generasi telah lahir sejak imigran pertama datang. Pasangan Soegijo Nojoredjo dan Semen Kartosemito yang datang ke Suriname pada tahun 1929, misalnya, kini telah beranak pinak sampai generasi kelima yang totalnya berjumlah 108 anggota keluarga. Bersama kelompok etnis keturunan Afro- Suriname, Hindustani, keturunan Jawa di Suriname telah berintegrasi sebagai satu bangsa bernama Suriname.

Ikatan sejarah itu menjadi salah satu landasan hubungan Indonesia-Suriname. Delegasi dari Indonesia datang ke Suriname sebagai bangsa multietnis.

Pada kunjungan itu dijalin kerja sama pertukaran program kebudayaan tahun 2011-2013 antara Kembudpar RI dan Kementerian Pendidikan dan Pembangunan Masyarakat Suriname.

Disepakati nota kesepahaman tentang kerja sama di bidang kebudayaan, sumber daya, serta riset dan pengembangan yang ditandatangani oleh Sekjen Kembudpar Wardiyatmo dan Pemerintah Suriname yang diwakili Direktur Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Pembangunan Masyarakat Suriname.

Melihat kekaguman orang Suriname dengan suguhan kesenian dari Indonesia, Wardiyatmo memberi catatan. ”Kita jangan sampai meremehkan kebudayaan kita sendiri.”

Jangan pernah pula meremehkan Cakil yang dihargai di Suriname. ”Ho-ha...!”
Editor: Jimmy Hitipeuw | Sumber : Kompas Cetak

SBY dan Politik Kartel

| | | 0 komentar
Pembentukan sekretariat gabungan (Setgab) tak pelak adalah politik kartel jilid baru. Pada awal pembentukan kabinet Indonesia bersatu Jilid II, sebagian besar parpol membentuk aliansi besar untuk mendukung kepemimpinan politik SBY. Pembentukan aliansi besar ini dituangkan dalam komitmen bersama yang bernama pakta integritas. Pakta integritas antar parpol adalah deklarasi politik kartel dari partai-partai politik.

Pakta Integritas: Pembentukan politik kartel

Setelah menang pilpres 2009, SBY dalam berbagai forum kerapkali mewacanakan pentingnya kerjasama politik dan menghentikan kompetisi. Kompetisi politik sudah berakhir di pilpres dan kerjasama politik dimulai dalam pemerintahan, begitulah alam pikiran SBY.

SBY ingin jalannya pemerintahan untuk lima tahun ke depan tak diganggu oleh pertarungan atau kompetisi politik. Koalisi pilpres 2009 tak cukup memuaskan keinginan SBY untuk merangkul sebanyak mungkin kekuatan politik. SBY bergeming menghadapi ancaman sejumlah mitra koalisi pilpres yang tak menghendaki perluasan koalisi. Ia terus mengintensifkan pendekatan terhadap Aburizal Bakrie dari Partai Golkar dan Taufik Kiemas dari PDIP. Terpilihnya Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR tak bisa dipungkiri adalah hasil dari lobi politik untuk merangkul PDIP. Demikian juga dengan kemenangan Aburizal Bakrie yang terang-terangan ingin bergabung ke koalisi pemerintah mengalahkan Surya Paloh yang ingin berada di luar kabinet, semakin memuluskan langkah SBY untuk membentuk koalisi besar, baik di eksekutif maupun legislatif.

PDIP memang menolak tawaran SBY, tetapi dengan bergabungnya Partai Golkar, koalisi besar di eksekutif dan legislatif tetap terwujud. SBY ingin para anggota koalisi membuat komitmen politik semua anggota koalisi untuk mendukung jalannya pemerintahan lima tahun ke depan. Anggota koalisi menandatangani suatu perjanjian politik yang tertuang dalam pakta integritas. Pakta integritas, selain merupakan deklarasi dari ikrar anggota koalisi untuk mendukung pemerintah SBY, juga merupakan deklarasi politik kartel di Indonesia.

Koalisi besar pemerintah nyaris tak menyisakan kompetitor politik. Hanya PDIP yang mempunyai kekuatan politik signifikan, sedangkan dua partai lainnya, Gerindra dan Hanura, adalah partai kecil dalam peta politik nasional. Banyak pihak khawatir tak ada kontrol terhadap kekuasaan. Namun demikian, politik kartel ternyata tak berjalan mulus. Sejumlah parpol yang berada dalam koalisi menyerang kebijakan pemerintah dalam kasus bail out bank Century. Partai Golkar dan PKS adalah dua partai kartel yang paling keras menyerang pemerintah khususnya Sri Mulyani. Pukulan bertubi-tubi dari luar dan dalam politik kartel akhirnya menyebabkan SBY mengorbankan Sri Mulyani demi kestabilan pemerintahan dan demi keberlanjutan politik kartel.

Sebenarnya SBY bisa memilih untuk menindak anggota koalisi yang menyerang kebijakan pemerintah. Sejumlah petinggi partai Demokrat dan mitra koalisi di luar partai Golkar dan PKS telah meminta SBY untuk bersikap tegas kalau perlu mengeluarkan partai Golkar dan PKS dari koalisi. Alih-alih mengindahkan permintaan mereka, SBY tunduk pada manuver partai Golkar yang ingin membubarkan koalisi awal dan membentuk Setgab.

Setgab : Menata Ulang Politik Kartel

Kalau kita bandingkan antara Setgab dengan koalisi pemerintahan yang dibentuk pada masa pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, tak ada bedanya dari segi keanggotaan koalisi. Tak ada partai politik yang keluar dari koalisi pendukung pemerintah. Kalau tidak ada yang berbeda, kenapa mesti membentuk Setgab?

Pihak SBY mungkin beranggapan bahwa pakta integritas tak cukup menjamin loyalitas dari mitra koalisi. Sedangkan para pembela Setgab (khususnya mereka yang berasal dari Partai Golkar), menganggap pakta integritas tak mempunyai mekanisme koordinasi yang jelas. Menurut mereka harus ada kepemimpinan yang kuat dalam Setgab, dan Aburizal Bakrie adalah figur yang mampu menjadi pemimpin koalisi.

Setgab adalah muara dari upaya SBY dan Partai Golkar menata ulang politik kartel di eksekutif dan legislatif. Pertemuan arus inilah yang telah meredam gelombang politik bail out bank Century. Manuver politik kartel terus dilakukan. Wacana dana aspirasi, dana desa, dana aspirasi rumah terus digulirkan di legislatif. Namun demikian, manuver politik kartel tak jua berjalan mulus. Dana aspirasi turut memperuncing perbedaan di antara para pelaku politik kartel. Partai Golkar merasa sendirian, ditinggalkan oleh mitra koalisinya. SBY makin cemas dengan manuver partai Golkar yang mengancam akan membubarkan Setgab. Juga muncul persaingan antara Partai Golkar dengan PAN di Setgab. Ketidakmenentuan arah politik kartel mungkin menjadi dasar rencana reshuffle kabinet yang terus bergulir.

Sebenarnya politik kartel baik itu pakta integritas atau setgab, telah membuat SBY terperangkap dalam labirin ketidakmenentuan jalannya pemerintahan. Keinginannya untuk merangkul banyak pihak, keinginannya untuk memuaskan banyak pihak, malah berbalik membelenggunya. Dalam pembentukan kabinet, SBY banyak memberi konsesi politik kepada mitranya, dan terbukti kabinetnya menjadi goncang karena kasus bail out bank Century. Penataan ulang politik kartel melalui Setgab malah menyebabkan problem-problem baru seperti ancaman pembubaran Setgab oleh Partai Golkar. Dalam beberapa waktu terakhir ini, isu reshuffle kabinet terus bergulir. Apakah reshuffle akan menjadi jalan SBY untuk sekali lagi menata ulang politik kartel? Atau upayanya untuk keluar dari belenggu mitra koalisinya?

Selama SBY masih berhasrat mengumpulkan seluruh kekuatan politik di tangannya, selama SBY masih memandang kompetisi politik sebagai hal yang negatif, politik kartel akan tetap bertahan. Selama itu pula kita akan terus menonton pertunjukan drama tentang kerakusan para pelaku politik kartel. Dan dalam drama itu pula akan selalu ada korban seperti Sri Mulyani.

http://www.srimulyani.net/index.php/news/2010/07/sby-dan-politik-kartel

Lee Kwan Yew dan Pulau Jawa

| | | 0 komentar
IWAN SANTOSA

Madam Lee Kwan Yew, istri negarawan besar Singapura, Lee Kwan Yew, yang terlahir sebagai Kwa Geok Choo (89), baru saja berpulang, Sabtu (2/10/2010) di kediaman keluarga di Oxley Road, Singapura. Pada saat bersamaan, Lee Kwan Yew pun baru pulih dari perawatan di Singapore General Hospital.

Seluruh Singapura berduka. Selama beberapa hari, liputan media, seperti The Straits Time, dihiasi cerita mengenang Kwa Geok Choo, yang menjadi pendamping setia Lee dalam 60 tahun karier politik dan membangun Singapura mencapai tingkat kemakmuran tertinggi di Asia saat ini.

Pasangan serasi yang berkenalan di Inggris saat menempuh pendidikan tinggi itu sebetulnya memiliki kesamaan, yakni memiliki leluhur dari Pulau Jawa, Indonesia.

Baik dari kakek-nenek Lee Kwan Yew dan Kwa Geok Choo, masing-masing memiliki salah satu akar keluarga di sejumlah tempat di Indonesia, yakni Pulau Jawa dan Kalimantan.

Sejarawan Didi Kwartanada, alumnus National University of Singapore, yang dihubungi pada Senin (4/10) petang, menjelaskan, ”Lee Kwan Yew mengakui, kakeknya yang bernama Lee Hoon Leong, kelahiran Singapura (1871), dan pekerja di kapal uap sebagai purser yang melayani jalur Singapura-Hindia Belanda. Maskapai pelayaran tempat dia bekerja adalah Heap Eng Moh Shipping Line, yang dimiliki konglomerat pertama Asia Tenggara, Oei Tiong Ham asal Semarang, Jawa Tengah.

”Lee Hoon Leong (26) bertemu gadis Ko Lien Nio (16) yang dijumpai dan dinikahi di Semarang, Jawa Tengah, tahun 1899. Lalu, lahirlah Lee Chin Koon, ayah Lee Kwan Yew,” kata Didi.

Asal Semarang

Lebih lanjut, Lee Kwan Yew, ujar Didi, kakek dari pihak ibunya, Chua Jim Nio, yakni Chua Kim Teng, memiliki asal-usul dari Semarang dan Malaka di Semenanjung Malaya.

Malaka adalah bagian dari straits settlements Inggris yang mencakup Penang dan Singapura. Wilayah straits settlements memiliki populasi penduduk Tionghoa peranakan yang cukup besar yang dikenal sebagai The Straits Chinese.

Istri ketiga Chua Kim Teng, yakni nenek dari pihak ibu Lee Kwan Yew, adalah Neo Ah Sung, yang berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat. Lee dalam memoarnya mengaku, sang nenek bisa berbicara dalam dialek Hakka (Ke Jia) dan Melayu Pontianak.

Demikian pula keluarga dari istri Lee Kwan Yew, dari pihak ayah Kwa Geok Choo yang bernama Kwa Sew Tee adalah seorang Bankir OCBC yang memiliki akar keluarga kelahiran Jawa. Namun, tidak dijelaskan di kota mana di Jawa yang menjadi asal keluarga ayah Madam Lee Kwan Yew. Sementara dari pihak ibu, Didi menjelaskan, berasal dari Straits Born Chinese.

”Itu sebabnya Lee Kwan Yew dalam memoarnya menjelaskan, dia dan istri memiliki banyak kesamaan dari bahasa dan norma karena adanya asal-usul dari Straits Chinese dan Nusantara,” ujar Didi.

Beberapa aktivis peranakan Tionghoa di Singapura mengakui adanya kedekatan kultural Lee Kwan Yew dengan Indonesia. ”Baru belakangan kebudayaan peranakan akhirnya diakui dan diangkat Pemerintah Singapura,” kata seorang tokoh peranakan Singapura.

Kedekatan itu tidak mengada-ada, Didi mengungkapkan, Widodo Sutiyo, seorang diplomat senior yang menjadi penerjemah Presiden Soeharto semasa Orde Baru, mengaku, pertemuan Lee Kwan Yew-Soeharto tidak pernah menggunakan penerjemah. ”Mereka selalu bertemu empat mata dan berkomunikasi dengan bahasa pasaran. Berbeda dengan pertemuan Pak Harto dengan Perdana Menteri Goh Chok Tong yang memerlukan penerjemah,” ujar Didi mengutip keterangan Widodo, yang pernah menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Takhta Suci Vatikan.


Editor: Jimmy Hitipeuw | Sumber : Kompas Cetak

Jaksa Agung harus ‘berani mati’

| | | 0 komentar
BANYAK usulan agar Jaksa Agung baru pengganti Hendarman Supandji jangan diambil dari jaksa karier di internal Kejaksaan, melainkan harus didatangkan figur yang berani dan tegas dari luar Korps Adhyaksa tersebut. Pasalnya, apabila Jaksa Agung baru berasal dari jaksa karier bawahan Jaksa Agung yang ada tentu mustahil nanti mau membongkar kasus-kasus yang menyeret seniornya, karena dia adalah ‘orangnya’ Jaksa Agung yang sekarang. Jaksa karir juga rawan terhadap praktik kolusi dan nepotisme yang sulit dihindari di dalam lingkungan kejaksaan. Kini, apabila ada kemauan untuk memberantas kasus-kasus tindak pidana korupsi secara tuntas dan membongkar ‘gurita’ hukum yang menyelimuti jajaran kejaksaan, maka harus dicari figur jaksa agung yang independen dan ‘berani mati’. Sosok ini hanya bisa didapatkan dari luar lingkaran kejaksaan itu sendiri. Ambil saja misalnya dari tokoh pengiat antikorupsi yang dikenal vokal dan bersikap tanpa pandang bulu dalam perilakunya. Atau calon dari luar kejaksaan seperti Baharuddin Lopa.

Figur Jaksa Agung baru adalah syarat mutlak dan sangat diperlukan dalam pemberantasan korupsi di era reformasi seperti yang telag digariskan dalam konstitusi. Apalagi, jaksa agung akan memimpin kejaksaan sebagai ujung tombak lembaga penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. Sayangnya, kinerja kejaksaan masih terlalu rendah dalam pemberantasan korupsi di mata masyarakat. Mungkin inilah yang menjadi alasan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga ad hoc atau bersifat sementara. Memang dari segi struktur pun, pejabat jaksa agung adalah di bawah presiden, sehingga tindakan jaksa agung untuk menyeret kalangan atas harus seizin atau menunggu ‘petunjuk’ presiden dulu. Kecuali, kalau posisi Kejaksa Agung berdiri sendiri sebagai lembaga tinggi negara seperti Mahkamah Agung (MA).

Oleh karena itu, berani atau tidaknya kejaksaan agung menyeret suatu kasus besar adalah sangat tergantung kepada political will (kemauan politik) dari seorang presiden. Apabila presiden menghendaki untuk melakukan pemberantasan korupsi tanpa tebang pilih, maka sekarang juga jaksa agung bisa melakukannya. Namun, apakah presiden kita sekarang memiliki kemauan ke sana? Ataukah lebih memilih model pemberantasan korupsi tebang pilih untuk dimanfaatkan bagi kepentingan politik rezim penguasa? Silakan menilai sendiri! Setidaknya indikator ini bisa dilihat dari nama-nama calon jaksa agung yang akan diajukan ke presiden nanti.

Tapi, nampaknya figur jaksa agung akan diambilkan dari jaksa karier alias orang ‘dalam’ kejaksaan agung. Seperti dikabarkan media massa, Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan sudah mengajukan delapan nama calon pengganti dirinya yang berasal dari internal kejaksaan ke Presiden SBY. Hal itu diutarakan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Babul Khoir Harahap di Jakarta, Selasa (14/9) lalu. Kedelapan calon itu adalah Darmono (Wakil Jaksa Agung), M Amari (Jampidsus), Hamzah Tadja (Jampidum), Marwan Effendy (Jamwas), Juga Edwin P Situmorang (Jamintel), Iskamto (Jambin), Kemal Sofyan Nasution (Jamdatun) dan Zulkarnaen Yunus (Staf Ahli Jaksa Agung). Meski Mensesneg Sudi Silalahi, rabu (15/9), mengaku belum menerima delapan nama calon yang diajukan Jaksa Agung Hendarman Supandji tersebut kepada Presiden.

Kalau Presiden serius menjalankan tuntutan reformasi dalam pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), seharusnya SBY harus memilih Jaksa Agung dari luar yang betul-betul ‘berani mati’ melawan korupsi. SBY bisa meniru atau belajar dari mantan Perdana Menteri (PM) China, Zhu Rongji. Ketika dilantik jadi PM China pada 1998, Zhu Rongji menyatakan, "Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor. Satu buat saya sendiri jika saya pun melakukan hal itu." Zhu tidak asal bicara. Cheng Kejie, pejabat tinggi Partai Komunis China, dihukum mati karena terlibat suap US$ 5 juta. Tanpa ampun. Permohonan banding Wakil Ketua Kongres Rakyat Nasional itu ditolak pengadilan.

Zhu di awal tugasnya juga mengirim peti mati kepada koleganya sendiri. Hu Chang-ging, Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, pun kebagian peti mati itu. Ia ditembak mati setelah terbukti menerima suap berupa mobil dan permata senilai Rp 5 miliar. Xiao Hongbo dijatuhi hukuman mati,lelaki 37 tahun yang menjabat Deputi manajer cabang Bank Konstruksi China, salah satu bank milik negara, di Dacheng, Provinsi Sichuan, itu dihukum mati karena korupsi. Xiao telah merugikan bank sebesar 4 juta yuan atau sekitar Rp 3,9 miliar sejak 1998 hingga 2001. Uang itu digunakan untuk membiayai kehidupan delapan orang pacarnya.

Xiao Hongbo satu di antara lebih dari empat ribu orang di Cina yang telah dihukum mati sejak 2001 karena terbukti melakukan kejahatan, termasuk korupsi. Angka empat ribu itu, menurut Amnesti Internasional (AI), jauh lebih kecil dari fakta sesungguhnya. AI mengutuk cara-cara Cina itu, yang mereka sebut sebagai suatu yang mengerikan. Tapi, bagi Perdana Menteri Zhu Rongji inilah jalan menyelamatkan Cina dari kehancuran. Zhu tidak main-main. Cheng Kejie, pejabat tinggi Partai Komunis Cina, dihukum mati karena menerima suap lima juta dolar AS. Tidak ada tawar-menawar. Permohonan banding wakil ketua Kongres Rakyat Nasional itu ditolak pengadilan. Bahkan istrinya, Li Ping, yang membantu suaminya meminta uang suap, dihukum penjara.

Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, Hu Chang-ging, pun tak luput dari peti mati. Hu terbukti menerima suap berupa mobil dan permata senilai Rp 5 miliar. Ratusan bahkan mungkin ribuan peti mati telah terisi, tidak hanya oleh para pejabat korup, tapi juga pengusaha, bahkan wartawan. Selama empat bulan pada 2003 lalu, 33.761 polisi dipecat. Mereka dipecat tidak hanya karena menerima suap, tapi juga berjudi, mabuk-mabukan, membawa senjata di luar tugas, dan kualitas di bawah standar. Agaknya Zhu Rongji paham betul pepatah Cina: bunuhlah seekor ayam untuk menakuti seribu ekor kera. Dan, sejak ayam-ayam dibunuh, kera-kera menjadi takut. Kini pertumbuhan ekonomi Cina mencapai 9 persen per tahun dengan nilai pendapatan domestic bruto sebesar 1.000 dolar AS. Cadangan devisa mereka sudah mencapai 300 miliar dolar AS.

Langkah pemimpin China yang tegas inilah yang membuat negara China maju seperti sekarang ini, bahkan kemajuannya melesat menjadi ancaman bagi negara di kuasa. Sementara Indonesia yang kaya sumber daya alam sangat melimpah, justeru semakin mundur kaya undur-undur. Lebih parah lagi, Indonesia menggaet juara peringat atas dalam negara terkorup di Asia Pasific. Apakah akibat pemimpin negara ini yang salah menjalankan amanat dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya? Oleh karena itu, rakyat Indonesia harus cerdas dalam memilih pemimpin.Pilihlah presiden yang memiliki teladan keberanian, kepahlawanan, kesatria, dan komitmen yang sangat tinggi dalam memberantasan korupsi yang membuat negara terpuruk dan menyengsarakan kehidupanr rakyat. Terbukti di China, pemimpin yang tegas akan membawa kesuksesan sebuah negara besar.

Setelah realisasi pemberantasan korupsi tidak terbukti sesuai janji-janjinya saat kampanye pemilu, kini citra Presiden kita semakin terpuruk dengan memberikan grasi dan remisi kepada terdakwa koruptor, antara lain mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani HR dan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Aulia Pohan yang juga besannya sendiri. Hal ini akan diperkparah lagi apabila orang-orang lingkaran kekuasaan melakukan kongkalikong dengan kalangan pejabat dan birokrasi untuk melakukan KKN di sana-sini. Kasus dugaan korupsi bailout Bank Century juga tidak segera ditindaklanjuti, kasus rekening gendut sejumlah perwira tinggi Polri juga terkesan dipetieskan, kasus ‘Anggodo’ dibiarkan berbelit-belit, kasus ‘Miranda Goeltom’ tidak segera dicari dalang pemberi uang suap ke anggota DPR, dan berbagai kasus dugaan korpusi lainnya.

Kita sudah muak mengamati praktik korupsi di Indonesia yang bukannya semakin turun dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Apalagi ketika tiba-tiba Presiden SBY memberikan grasi kepada seorang koruptor dan juga remisi kepada 341 dari 778 terpidana korupsi. Tindakan ini jelas tidak adil karena korupsi sudah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Itu berarti upaya memeranginya juga harus luar biasa keras, sehingga membuat efek jera bagi para koruptor. Uang negara triliunan rupiah yang ditilep koruptor mestinya bisa dipakai untuk upaya kesejahteraan rakyat yang kini semakin sengsara kehidupannnya. Kini, harapan kita tinggal pengawasn dari rakyat sendiri, yang harus terus-menerus menyikapi koruptor secara kritis. Serukan sikap jangan pernah berkompromi menghadapi korupsi dan jadikan korupsi sebagai musuh bersama. (Pro CICAK)


http://www.jakartapress.com/www.php/news/id/15961/Koruptor-Takut-jika-Jaksa-Agung-dari-Luar.jp

Baharuddin Lopa: Teladan Jaksa Pendekar Hukum

| | | 0 komentar
Dalam menegakkan hukum dan keadilan, Lopa, jaksa yang hampir tidak punya rasa takut, kecuali kepada Allah. Dia, teladan bagi orang-orang yang berani melawan arus kebobrokan serta pengaruh kapitalisme dan liberalisme dalam hukum. Sayang, suratan takdir memanggil Jaksa Agung ini tatkala rakyat membutuhkan keberaniannya. Tetapi dia telah meninggalkan warisan yang mulia untuk menegakkan keadilan. Dia mewariskan keberanian penegakan hukum tanpa pandang bulu bagi bangsanya.

Ketika menjabat Jaksa Tinggi Makassar, ia memburu seorang koruptor kakap, akibatnya ia masuk kotak, hanya menjadi penasihat menteri. Ia pernah memburu kasus mantan Presiden Soeharto dengan mendatangi teman-temannya di Kejaksaan Agung, di saat ia menjabat Sekretaris Jenderal Komnas HAM. Lopa menanyakan kemajuan proses perkara Pak Harto. Memang akhirnya kasus Pak Harto diajukan ke pengadilan, meskipun hakim gagal mengadilinya karena kendala kesehatan.

Lopa dan Bismar Siregar merupakan contoh yang langka dari figur yang berani melawan arus. Sayang Lopa sudah tiada dan Bismar sudah pensiun. Tetapi mereka telah meninggalkan warisan yang mulia kepada rekan-rekannya. Tentu untuk diteladani.

Baharudin Lopa meninggal dunia pada usia 66 tahun, di rumah sakit Al-Hamadi Riyadh, pukul 18.14 waktu setempat atau pukul 22.14 WIB 3 Juli 2001, di Arab Saudi, akibat gangguan pada jantungnya.

Lopa, mantan Dubes RI untuk Saudi, dirawat di ruang khusus rumah sakit swasta di Riyadh itu sejak tanggal 30 Juni. Menurut Atase Penerangan Kedubes Indonesia untuk Arab Saudi, Joko Santoso, Lopa terlalu lelah, karena sejak tiba di Riyadh tidak cukup istirahat.

Lopa tiba di Riyadh, 26 Juni untuk serah terima jabatan dengan Wakil Kepala Perwakilan RI Kemas Fachruddin SH, 27 Juni. Kemas menjabat Kuasa Usaha Sementara Kedubes RI untuk Saudi yang berkedudukan di Riyadh. Lopa sempat menyampaikan sambutan perpisahan.

Tanggal 28 Juni, Lopa dan istri serta sejumlah pejabat Kedubes melaksanakan ibadah umrah dari Riyadh ke Mekkah lewat jalan darat selama delapan jam.

Lopa dan rombongan melaksanakan ibadah umrah malam hari, setelah shalat Isya. Tanggal 29 Juni melaksanakan shalat subuh di Masjidil Haram. Malamnya, Lopa dan rombongan kembali ke Riyadh, juga jalan darat.

Ternyata ketahanan tubuh Lopa terganggu setelah melaksanakan kegiatan fisik tanpa henti tersebut. Tanggal 30 Juni pagi, Lopa mual-mual, siang harinya (pukul 13.00 waktu setempat) dilarikan ke RS Al-Hamadi.

Presiden KH Abdurahman Wahid, sebelum mengangkat Jaksa Agung definitif, menunjuk Soeparman sebagai pelaksana tugas-tugas Lopa ketika sedang menjalani perawatan. Penunjukan Soeparman didasarkan atas rekomendasi yang disampaikan Lopa kepada Presiden. Padahal Lopa sedang giat-giatnya mengusut berbagai kasus korupsi.

Sejak menjabat Jaksa Agung, Lopa memburu Sjamsul Nursalim yang sedang dirawat di Jepang dan Prajogo Pangestu yang dirawat di Singapura agar segera pulang ke Jakarta. Lopa juga memutuskan untuk mencekal Marimutu Sinivasan. Namun ketiga konglomerat “hitam” tersebut mendapat penangguhan proses pemeriksaan langsung dari Wahid, alias Gus Dur.

Lopa juga menyidik keterlibatan Arifin Panigoro, Akbar Tandjung, dan Nurdin Halid dalam kasus korupsi. Gebrakan Lopa itu sempat dinilai bernuansa politik oleh berbagai kalangan, namun Lopa tidak mundur. Lopa bertekad melanjutkan penyidikan, kecuali ia tidak lagi menjabat Jaksa Agung.

Sejak menjabat Jaksa Agung, 6 Juni 2001, menggantikan Marzuki Darusman, Lopa bekerja keras untuk memberantas korupsi. Ia bersama staf ahlinya Dr Andi Hamzah dan Prof Dr Achmad Ali serta staf lainnya, bekerja hingga pukul 23.00 setiap hari.

Penghormatan terakhir
Jenazah Lopa disemayamkan di Kejaksaan Agung untuk menerima penghormatan terakhir. Soeparman yang mengenal Lopa sejak lama, menilai seniornya sebagai seorang yang konsisten dalam penegakan hukum, sangat antikorupsi, sederhana, dan selalu berusaha agar orang-orang yang berada di sekitarnya bersih.

Meski menjabat Jaksa Agung hanya 1,5 bulan, Lopa berhasil menggerakkan Kejaksaan Agung untuk menuntaskan perkara-perkara korupsi. Karena itu jajaran kejaksaan merasa sangat kehilangan.

Ajudan Lopa, Enang Supriyadi Samsi kaget ketika mendengar kabar kepergian Lopa, karena ia tahu Lopa jarang sakit, apalagi sakit jantung. Kalaupun dirawat di rumah sakit lantaran kelelahan, soalnya ia pekerja keras.

Kalimat kunci dari Lopa yang tidak pernah dilupakan Enang, “kendatipun kapal akan karam, tegakkan hukum dan keadilan.”

Soeparman dipanggil Presiden Gus Dur ke Istana Negara, Senin, menunjuknya sebagai pelaksana tugas Jaksa Agung. Tidak ada arahan khusus dari Presiden. “Laksanakan tugas, lanjutkan apa yang sudah dan akan dilakukan Pak Lopa”. Hanya itu pesan Gus Dur. Soeparman adalah Doktor Ilmu Hukum Pidana Perpajakan, UI.

Saat itu Lopa masih dirawat, belum meninggal dunia. Dengan demikian Keppres penunjukan Soeparman mengundang tanda tanya publik. Memang Wakil Jaksa Agung otomatis mengambil alih tugas-tugas atasannya bilamana yang bersangkutan berhalangan.

Keppres serupa pernah dikeluarkan Pak Harto ketika mengangkat Singgih sebagai pelaksana tugas-tugas Jaksa Agung Sukarton yang meninggal dunia.


Warisan Lopa
Kepergian Lopa sangat mengejutkan, meninggal ketika ia menjadi tumpuan harapan rakyat yang menuntut dan mendambakan keadilan. Sejak menjabat Jaksa Agung (hanya 1,5 bulan), Lopa mencatat deretan panjang konglomerat dan pejabat yang diduga
terlibat KKN, untuk diseret ke pengadilan.

Ketika menjabat Menteri Kehakiman dan HAM, ia menjebloskan raja hutan Bob Hasan ke Nusakambangan. Ktegasan dan keberaniannya jadi momok bagi para koruptor kakap.

Menurut Andi Hamzah, sebelum bertolak ke Arab Saudi, Lopa masih meninggalkan beberapa tugas berat. Kepergian Lopa untuk selamanya, memang membawa dampak serius bagi kelanjutan penanganan kasus-kasus korupsi.

Banyak perkara yang sedang digarap tidak jelas lagi ujung pangkalnya. Banyak masih dalam tahap pengumpulan bukti, sudah ada yang selesai surat dakwaan atau sudah siap dikirim ke pengadilan. Banyak perkara yang tertahan di lapis kedua dan ketiga.

Akbar sendiri, meski termasuk tokoh politik yang diburu Lopa, mendukung langkah penegakan hukum yang diprakarsai Lopa. “Kita merasa kehilangan atasas kepergian Lopa.”

Pengacara yang membela banyak kasus korupsi, Mohammad Assegaf, menyayangkan Lopa melangkah pada waktu yang salah.
He’s the right man in the wrong time. Karena itu ia kehilangan peluang untuk melakukan pembenahan.

Pengamat hukum JE Sahetapy menginginkan kelanjutan pengungkapan kasus-kasus korupsi, meski Lopa sudah tiada. Kata Sahetapy, the show must go on.

Lopa sendiri sudah punya firasat, tugasnya selaku Jaksa Agung takkan lama. Banyak orang mengaitkannya dengan masa jabatan Gus Dur yang singkat. Tetapi masa bhakti Lopa jauh lebih singkat.
Ia sudah merasa bahwa langkah yang dimulainya akan memberatkan penerusnya.

Anak Dusun
Barlop, demikian pendekar hukum itu biasa dipanggil, lahir di rumah panggung berukuran kurang lebih 9 x 11 meter, di Dusun Pambusuang, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935. Rumah itu sampai sekarang masih kelihatan sederhana untuk ukuran keluarga seorang mantan Menteri Kehakiman dan HAM dan Jaksa Agung. Ibunda pria perokok berat ini bernama Samarinah. Di rumah yang sama juga lahir seorang bekas menteri, Basri Hasanuddin. Lopa dan Basri punya hubungan darah sepupu satu.

Keluarga dekatnya, H. Islam Andada, menggambarkan Lopa sebagai pendekar yang berani menanggung risiko, sekali melangkah pantang mundur. Ia akan mewujudkan apa yang sudah diucapkannya. Memang ada kecemasan dari pihak keluarga atas keselamatan jiwa Lopa begitu ia duduk di kursi Jaksa Agung. Ia patuh pada hukum, bukan pada politik.

Lopa menerima anugerah Government Watch Award (Gowa Award) atas pengabdiannya memberantas korupsi di Indonesia selama hidupnya. Simboliasi penganugeragan penghargaan itu ditandai dengan Deklarasi Hari Anti Korupsi yang diambil dari hari lahir Lopa pada 27 Agustus.

Lopa terpilih sebagai tokoh anti korupsi karena telah bekerja dan berjuang untuk melawan ketidakadilan dengan memberantas korupsi di Indonesia tanpa putus asa selama lebih dari 20 tahun. Almarhum Lopa, katanya, adalah sosok abdi negara, pegawai negeri yang bersih, jujur, bekerja tanpa pamrih, dan tidak korup.

Menurut Ketua Gowa Farid Faqih, korupsi di Indonesia telah menyebabkan kebodohan dan kemiskinan bagi seluruh rakyat, tidak mungkin diatasi jika pihaknya, lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, militer, dan pimpinan parpol tetap melakukan korupsi. Karena itu perlu dimulai hidup baru melalui gerakan moral dan kebudayaan untuk memberantas korupsi.

Istri Lopa, Indrawulan, telah memberi contoh kesederhanaan istri seorang pejabat. Watak keras dan tegas suaminya tidak dibuat-buat. Karena itu, ia berusaha sedapat mengikuti irama kehidupan suaminya, mendukungnya dan mendoakan bagi ketegaran Lopa.

Lopa telah tiada. Memang rakyat meratapi
kepergiannya. Tetapi kepergian Lopa merupakan blessing in disguise bagi para koruptor dan penguasa yang enggan menindak kejahatan korupsi.

***
Dalam usia 25, Baharuddin Lopa, sudah menjadi bupati di Majene, Sulawesi Selatan. Ia, ketika itu, gigih menentang Andi Selle, Komandan Batalyon 710 yang terkenal kaya karena melakukan penyelundupan.

Lopa pernah menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Tenggara, Aceh, Kalimantan Barat, dan mengepalai Pusdiklat Kejaksaan Agung di Jakarta. Sejak 1982, Lopa menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Pada tahun yang sama, ayah tujuh anak itu meraih gelar doktor hukum laut dari Universitas Diponegoro, Semarang, dengan disertasi Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan yang Digali dari Bumi Indonesia.

Begitu diangkat sebagai Kajati Sulawesi Selatan, Lopa membuat pengumuman di surat kabar: ia meminta masyarakat atau siapa pun, tidak memberi sogokan kepada anak buahnya. Segera pula ia menggebrak korupsi di bidang reboisasi, yang nilainya Rp 7 milyar. Keberhasilannya itu membuat pola yang diterapkannya dijadikan model operasi para jaksa di seluruh Indonesia.Dengan keberaniannya, Lopa kemudian menyeret seorang pengusaha besar, Tony Gozal alias Go Tiong Kien ke pengadilan dengan tuduhan memanipulasi dana reboisasi Rp 2 milyar. Padahal, sebelumnya, Tony dikenal sebagai orang yang ''kebal hukum'' karena hubungannya yang erat dengan petinggi. Bagi Lopa tak seorang pun yang kebal hukum.

Lopa menjadi heran ketika Majelis Hakim yang diketuai J. Serang, Ketua Pengadilan Negeri Ujungpandang, membebaskan Tony dari segala tuntutan. Tetapi diam-diam guru besar Fakultas Hukum Unhas itu mengusut latar belakang vonis bebas Tony. Hasilnya, ia menemukan petunjuk bahwa vonis itu lahir berkat dana yang mengalir dari sebuah perusahaan Tony.

Sebelum persoalan itu tuntas, Januari 1986, Lopa dimtasi menjadi Staf Ahli Menteri Kehakiman Bidang Perundang-undangan di Jakarta. J. Serang juga dimutasi ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan. ►tsl-sh, dari berbagai sumber

Nama :
Baharuddin Lopa
Lahir :
Mandar, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935
Meninggal:
Arab Saudi, 3 Juli 2001
Agama :
Islam

Pendidikan :
SD, Tinambung
SMP, Majene
SMA, Ujungpandang
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (1962)
Kursus Reguler Lemhanas (1979)
FH Universitas Diponegoro, Semarang (Doktor, 1982)

Karir :
- Jaksa pada Kejaksaan Negeri Ujungpandang (1958-1960)
- Bupati Majene (1960)
- Kepala Kejaksaan Negeri Ternate (1964)
- Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (1966-1970)
- Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh (1970-1974)
- Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat (1974-1976)
- Kepala Pusdiklat Kejaksaan Agung, Jakarta (1976-1982)
- Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (1982-1986)
- Staf Ahli Menteri Kehakiman, Jakarta (1986)
- Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Kabinet Persatuan
- Jaksa Agung Kabinet Persatuan

Alamat Rumah :
Kompleks Pondok Bambu Asri Raya No 1, Jakarta Timur


*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Kematian Misterius Para Pembaharu Indonesia

| | | 0 komentar
Tidak mudah menjadi kritis di Indonesia. Salah-salah, nama anda semakin cepat terukir di nisan. Tidak percaya? Orang-orang ini sudah membuktikannya.

Melongok sejarah Indonesia abad ke-20 dan awal abad-21, niscaya kita menemukan betapa banyaknya darah yang telah tumpah di bumi pertiwi. Sampai-sampai ada yang bilang, bahwa Indonesia is a violent country. Yang menyedihkan, (sebagian) tragedi itu disebabkan atau dilakukan oleh pihak yang paling berkuasa, negara. Patut menjadi perhatian, selain kasus-kasus yang bersifat massal, ada lagi perkara kekerasan yang memiliki kategori idiosinkratis.

Kematian yang terjadi bukan dikaitkan pada tanggal atau tempat terjadinya, melainkan identitas si korban. Almarhum dianggap sebagai sebuah representasi yang mumpuni dari suatu konstruksi ideal, yang ternyata, dalam banyak hal berbeda bahkan berlawanan dengan visi negara. Bisa jadi negara atau pendukung-pendukungnya terusik dengan perlawanan ini sehingga berusaha mencari jalan untuk menghentikannya.

Jika Anda seorang pembaru, maka hati-hatilah hidup di Indonesia. Fakta sejarah menunjukkan bagaimana nasib para tokoh pemberani negeri ini, sepertinya harus mempertaruhkan nyawanya secara sia-sia. Bagaimana tidak sia-sia, jika pengadilan sendiri tidak mampu menyibak kabut tebal misteri kematian mereka. Dalam hal ini pihak penegak hukum pun tidak bisa berbuat banyak untuk mengungkap kebenaran. Betapa ironisnya, bangsa yang tampaknya besar; besar dalam ukuran wilayahnya yang seluas Eropa dan Amerika, besar dalam jumlah penduduknya, dan besar dalam kekayaanya, namun kerdil jiwa para pemimpinnya.

Ketidakberhasilan mengungkap aktor intelektual di balik kematian misterius para pemberani setidaknya menunjukkan bagaimana para pemimpin ini tidak serius untuk mengungkapkan kasus kematian yang tidak wajar. Hal ini semakin memperkuat asumsi adanya unsur kesengajaan para penguasa negeri ini untuk melenyapkannya. Barangkali dalam bingkai itulah bisa ditempatkan tokoh-tokoh yang tragedi kematiannya dibahas dalam buku ini. Buku ini sengaja ditulis untuk dokumentasi tentang perjalanan para tokoh pembaru Indonesia yang selamanya tidak akan masuk dalam sejarah perjuangan bangsa. Mereka adalah Tan Malaka, Marsinah, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), Wiji Thukul, Baharuddin Lopa, dan Munir.

Kematian yang tidak wajar dan pengungkapan yang tidak kunjung selesai bahkan hilang ditelan waktu telah menjadikan inspirasi bagi sang penulis, M Yuanda Zara, untuk mengkritisi kembali tentang mudahnya menyelesaikan masalah dalam bangsa ini. Sepatah kata: lenyapkan saja! di balik kematian tokoh-tokoh pembaru Indonesia itu cukup ampuh sebagai jalan pintas tercepat membungkam perjuangan para pembaru Indonesia.

Lalu, apa yang dimaksud dengan kematian misterius dalam buku ini? M Yuanda Zara mengulas beberapa kategori yang dapat digunakan untuk menjelaskannya, meski masing-masing dapat dikatakan cair atau tidak ketat. Pertama, tokoh yang kematiannya tidak terungkap, atau bisa juga disembunyikan, baik penyebab maupun pelakunya. Tan Malaka masuk disini. Kedua, tokoh yang terbukti dibunuh, namun pengungkapan kematiannya (termasuk proses peradilan) belum tuntas. Di sini ada Marsinah, Udin, dan Munir. Ketiga, tokoh yang kematiannya menjadi kontroversi, yakni Baharuddin Lopa. Keempat, yang jauh berbeda dari yang di atas, tokoh yang kematiannya tidak diketahui dengan jelas atau samar-samar, yaitu Wiji Thukul.

Sementara itu, paradoksnya ialah, kendati nama-nama yang disebutkan di atas merupakan orang-orang yang memiliki peranan signifikan sepanjang perjalanan bangsa ini sehingga pantas disebut sebagai pembaru Indonesia, namun mereka kerap menunjukkan sikap berseberangan dengan institusi-institusi yang diidentikkan dengan simbol negara. Tan Malaka, tidak diragukan lagi, adalah salah satu pemimpin gerakan kabangsaan yang paling terkemuka. Jauh sebelum Soekarno dan Hatta mendeklarasikan Indonesia sebagai sebuah republik, ia sudah menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) sehingga membuatnya dikenal sebagai “Bapak Republik Indonesia”.

Walaupun demikian, konsep “Merdeka 100 %” yang diperjuangkannya jelas telah membuat sebagian kaum republiken tidak senang padanya. Kemerdekaan Indonesia pun tidak mengendurkan semangat Tan Malaka untuk melakukan kritik terhadap penyimpangan yang terjadi. Ia acap kali terlibat konflik dengan Soekarno yang memimpin pemerintahan republik. Tidak hanya itu, dengan partainya sendiri, PKI, Tan Malaka juga banyak tidak akur. Sebagian hidupnya habis dalam pembuangan di luar negeri. Ia terhitung sangat jarang bahkan tidak pernah muncul di permukaan. Hal ini membuatnya menjadi tokoh politik yang paling misterius sepanjang sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Banyak asumsi tentang misteri kematian Tan Malaka. Dengan mencoba mendedah berbagai versi yang berkembang, tulisan Yuanda Zara ini mencoba menguak misteri tewasnya Tan Malaka, salah satu peristiwa penting yang ditutup-tutupi dalam sejarah Indonesia.

Marsinah, siapakah dia? Ia adalah buruh yang percaya bahwa kesejahteraan yang baik adalah hak, sekali lagi hak, bagi para buruh. Adicitanya inilah yang mendorong kawan-kawan sesama buruh rela menunjukkan dukungan di belakangnya. Namun, dugaan adanya keterlibatan aparat militer di balik kematiannya menjelaskan betapa ia tidak disenangi kekuasaan.

Udin, dengan ketajaman penanya, memiliki dan mempelopori pengertian yang sama tentang hak. Bagi Udin, yang berikhtiar jauh dari Jakarta, kebebasan mendapatkan informasi adalah keniscayaan, termasuk bagi warga desa. Informasi di sini tidak hanya mengenai keberhasilan pembangunan, tetapi juga penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan, yang notabene menempatkan rakyat kecil sebagai korbannya. Sayangnya, tepat di sini pula birokrasi lokal tidak sudi digoyang oleh tulisan-tulisan Udin. Banyak spekulasi yang berkembang pasca kematian wartawan Bernas ini, banyak pihak yang menduga ada tembok besar bernama kekuasaan yang mencoba melindungi pelaku dan aktor intelektualnya.

Wiji Thukul juga tak jauh beda. Ia adalah seorang pemrakarsa satra kerakyatan (baca: sastra kaum tertindas). Aktivitas keseniannya yang intens, baik dalam hal tema yang diangkat maupun performance, menandakan konsistensinya sebagai oposan Orde Baru. Atas kezaliman yang terjadi, bagi Thukul hanya ada satu kata: lawan! Kata itu, harus diakui, kini telah menjadi kredo bergradasi magis bagi para aktivis pergerakan. Namun, apa daya, Thukul harus sadar tengah berhadapan dengan siapa. Tangan-tangan kuasa jauh lebih kuat daripada suara Thukul. Thukul harus membayar mahal apa yang disuarakanya, meskipun sebenarnya itu adalah hak asasinya sebagai warga negara. Maka, ia pun (di)hilang(kan). Dan, hingga kini tak seorang pun tahu nasibnya.

Sementara itu, nama Baharuddin Lopa mungkin sedikit berbeda. Sosok yang sangat antikorupsi ini sebenarnya meniti karirnya semata-mata di bawah lingkup kenegaraan. Namun, kepergiannya yang tiba-tiba sulit diterima begitu saja. Pendekar hukum ini mungkin bukanlah musuh negara, tapi lebih tepat dikatakan sebagai lawan kekuasaan. Ada yang menyebut Lopa sebagai sebuah profile of courage seperti Elliot Ness dalam film The Untouchable, sesosok yang rela disebut naif karena akan mengobrak-abrik “mafia” dengan selembar kertas himbauan. Lopa sudah membuktikannya. Jalan sudah diretas Lopa. Sekarang tinggal melihat bagaimana penerusnya melanjutkan jejak Lopa. Jejak yang dimaksud tidak hanya konsistensi dalam usaha penegakan hukum., tetapi juga termasuk kemungkinan untuk “meninggal tidak wajar”.

Terakhir, Munir. Pengaruhnya sama dengan makna namanya: cahaya. Ia ibarat penerang bagi para buruh, aktivis mahasiswa serta keluarga korban kekerasan dan penghilangan paksa. Lewat bendera Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Munir merekam namanya di benak orang sebagai pejuang HAM yang berani, intelek, jujur sekaligus jenaka. Orang paham, aksi-aksinya di KontraS kerap menuding negara dan aparat-aparatnya.

Dugaan keterlibatan aparat intelijen dalam kematiannya semakin menegaskan pendapat bahwa ada bagian-bagian tertentu dalam institusi negara yang tidak terima dengan sepak terjangnya. Munir adalah fenomena. Bila dalam bidang hukum Indonesia punya sosok tangguh sekaliber Baharuddin Lopa, maka di bidang penegakan HAM Munirlah orangnya. Misteri kematian tidak wajar Munir tentu mesti disibak dengan tuntas.

Memakai bahasanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kasus ini adalah test of our history, sebuah ujian dari sejarah kita. Dalam merefleksikan ini, para aktivis KontraS mengungkapkan bahwa sebagai sebuah ujian, keberhasilan membongkar konspirasi rahasia yang menyebabkan meninggalnya Munir akan menjadi isyarat bahwa nyawa setiap orang sangat berharga sehingga tidak bisa dihilangkan begitu saja. Dalam tahap selanjutnya, kasus pembunuhan Munir bukan lagi sekedar pembunuhan biasa, melainkan penentu dari masa depan demokrasi Indonesia.

Buku ini tidak memiliki kecenderungan untuk menuduh siapapun. Mencari, memastikan, dan menghukum pelakunya merupakan otoritas aparat penegak hukum. Meski sederhana, Yuanda Zara mampu memaparkan dengan lugas berbagai asumsi yang berkembang dan memberikan ruang bagi pembaca untuk menemukan perspektifnya sendiri. Kematian yang menimpa para tokoh pembaru Indonesia menyiratkan satu hal penting, kini dan esok. Tuntasnya semua kasus yang ada dengan transparan serta diadilinya para pelaku sesuai dengan hukum akan menjadi anteseden bagi sebuah kehidupan yang bermoral dan beradab. Estuarinya, hak seseorang untuk hidup dapat diakui dan diberi penghargaaan yang tinggi.


Data Buku

Judul Buku : Kematian Misterius Para Pembaru Indonesia. Orang-Orang Cerdas yang Mati Ditangan Bangsanya Sendiri

Penulis : M. Yuanda Zara
Penerbit : Penerbit Pinus
Halaman : 204 halaman
Tahun terbit : 2007
Surya Triana Dewi

http://akademikaunud.wordpress.com/2009/08/29/kematian-misterius-para-pembaru-indonesia-orang-orang-cerdas-yang-mati-ditangan-bangsanya-sendiri-pembaru-indonesia-yang-dihilangkan/

Bismar Siregar : Cucuran Darah dan Air Mata Pencari Keadilan

| | | 0 komentar
Bismar Siregar, SH mengistilahkan bukan lagi air mata yang bercucuran, darah telah berceceran dari pencari keadilan. “Tapi ternyata pejabat pengadilan tidak peduli yang demikian itu,” keluhnya. Dia merasa bahagia tidak termasuk dalam lingkaran hakim-hakim yang bertanya: Mana lembaran Soedirman, mana lembaran Soeharto?

Dia juga menggelisahkan kekurangan pemahaman dan penjabaran hukum oleh para penegak hukum. Bagi dia, hukum itu hanya sebagai sarana, tujuannya ialah keadilan. Kalau sarana itu menjadi penghambat, maka harus disingkirkan, asal mencapai keadilan. Demi keadilan, baginya, tidak ada alasan bagi hakim menyatakan belum ada undang-undangnya. Hakimlah undang-undangnya!

Dia juga menyesalkan hakim-hakim yang tidak mengerti ajaran agamanya. Sebab hakim memutuskan perkara dengan diawali kata demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berarti keadilan yang menjadi landasan, bukan hukum, apalagi kepastian hukum. Saya menemukan itu dalam ajaran Islam: Kalau engkau menegakkan hukum, sesuai ajaran Tuhan tegakkan dengan adil.

Pengalamannya sebagai hakim, selalu memutuskan perkara dengan bijaksana, dengan mendengar hati nurani. Dalam KUHAP juga disebut dengan arif dan bijaksana. “Sehingga kalau ditanya bagaimana kearifan itu? Itu kita harus hadir dalam diri sendiri, tidak ada itu kuliah di fakultas hukum,” ujar Bismar Siregar dalam wawancara dengan Wartawan Tokoh Indonesia Ch Robin Simanullang dan Anna Fauzia, serta fotografer Wilson Edward di kediamannya Jalan Cilandak I/25 A, Jakarta Selatan.

Sebagai sesepuh, dia juga menyampaikan pesan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (pemerintah), lembaga legislatif dan para praktisi hukum. Dia juga berharap agar pemerintah memberi tempat terhormat kepada petani. “Mamurkanlah petani! Jangan berikan yang gratis-gratis, seolah negara ini negara sosialis. Negara ini negara demokrasi, maka berilah harga diri kepada rakyat,” ujarnya. Simak petikan percakapan tersebut.

MAJALAH TOKOH INDONESIA (MTI): Kami berharap Anda berkenan bertutur membagi pengalaman sejak masa kecil hingga menjadi hakim agung sampai setelah pensiun saat ini?

BISMAR SIREGAR (BS): Kalau boleh saya bertutur, tuturan saya sangat sederhana. Dalam melihat segala sesuatu pun sederhana sekali. Saya tidak punyai teori tinggi dalam hidup ini. Yang sederhana itu adalah percaya kepada yang di atas. Kalau sudah percaya kepada yang di atas, tidak ada lagi rasa ketakutan dan kegelisahan untuk hari esok. Percaya kepada Dia itulah yang membimbing saya.

Bismar itu dilahirkan dari keluarga di bawah garis kemiskinan. Ayah saya seorang guru desa. Ayah saya pernah berkata dan mencatat bahwa kami pernah hanya makan nasi satu kali sehari, di waktu malam hari cukup makan ubi rebus.
Waktu baca catatan itu, saya merenung sejenak dan menemukan jati diri. Seakan-akan Tuhan berkata: Tidak percuma engkau dapat baca catatan ayahmu itu, supaya engkau lebih mera-sakan bagaimana engkau sewaktu kecil berusia enam bulan, sudah bernasib sedemikian itu.

Adakah engkau tidak mengenal tentang sekitarmu? Sungguh banyak sekarang ini yang lebih parah daripada hidupmu dahulu. Kalau dulu masih ada nasi sekali, ubi sekali, sekarang apa-pun tidak ada yang dimakan saban hari. Adakah engkau tidak merasakan yang sedemikin itu?

Dalam kondisi demikian itu, saya melihat lunturnya manusia Indonesia yang mengaku dirinya Pancasilais sekarang ini. Karena ungkapan Pancasila tidak keluar dari hati nurani tapi hanya dari mulutnya. Dan kalau dari mulut berbeda dengan apa perbuatannya, saya mengatakan itulah ciri-ciri manusia munafik.

Saya tidak takut mengatakan kata-kata yang demikian. Karena sudah terlampau lama kita menderita, mengharapkan kemerdekaan itu membawa rahmat bagi kita semua.
Sampai saya katakan, saya ini republiken tulen. Saya tidak pernah mengalami penjajahan Belanda. Tapi saya sekarang ini ingin menyampaikan mohon maaf kepada mereka yang mengaku dirinya sebagai patriot, bahwa hidup jaman Belanda lebih nikmat daripada hidup zaman republik. Kenapa? Hidup pada zaman Belanda, jarum jatuh bisa dicari. Tapi hidup di zaman republik, mobil dicuri ke mana mau dicari? Dicari kepada kepolisian sudah dipreteli, saya bilang.

Salahkah saya mengucap yang demikin itu? Mungkin salah bagi mereka yang sungguh patriotisme luar biasa, tetapi ia bukan republiken tulen. Dalam perjalanan sejarah, ia barangkali tidak pernah mengalami hidup di alam republik. Waktu rebuplik dihantam Belanda ia mungkin menjadi koperator atau apa pun namanya. Tetapi, haleluya, haleluya, alhamdulillah, saya bisa merasakan yang demikian.

Dalam perjalanan hidup, saya ingin menyukuri, kendati tidak pernah tamat sekolah SD (HIS). Sebab ketika saya HIS kelas tujuh, Jepang masuk. Karena saya dibesarkan dalam garis kemiskinan, saya tidak bisa melanjutkan ke SMP. Walaupun kawan-kawan saya sudah masuk SMP.

Jadilah saya anak desa. Anak desa yang bukan sembarang anak desa. Tapi anak desa yang membuka rimba untuk dijadikan sawah. Saya hidup bersama orangtua, tidur-tiduran di tengah persawahan, mendengar jangkrik yang berseru, nikmat sekali. Sampai sekarang pun saya merasakan, dan menangis saat mengenangnya.

Namun dalam kehidupan yang sedemikian itu, tidak ada kesulitan dalam mencari makanan. Karena itu saya tulislah dalam buku Aku Anak Petani. Kenapa saya menulis? Karena saya melihat perlakuan dan perhatian pemerintah sekarang ini untuk petani tidak ada. Harga gabah diturunkan sedemikian rupa, sementara harga pupuk dinaikkan sedemikian tinggi. Petani ribut dan demo, itu bukan urusanku. Semua mengatakan itu bukan urusanku.

Mungkin dia bukan anak petani, tapi dia berbohong terhadap dirinya, kalau bukan ayahnya petani, neneknya yang petani. Tapi saya, bukan hanya ayah saja petani, saya sendiri juga petani. Jadi, terasa bagi saya bahwa petani itu berada di tengah sawah, hujan, kepanasan dan menunggu sampai selesai panen. Kalau istilah di kampung cukup makan setahun pun kita sudah bersyukur. Itu waktu dulu.

Tapi waktu sekarang tidak berlaku lagi. Karena lahan-lahan sudah dibagi kepada para ahli waris. Tinggallah lahan seadanya. Salahkah kalau anak-anak bangsa yang hidup di desa itu harus meninggalkan kampungnya mencari nafkah di kota?

Kalaulah kita, sebutlah umpamanya dari Siborong-borong atau entah apalah namanya, karena memang tidak bisa lagi hidup di situ, karena harga hasil pertanian tidak dapat lagi untuk diandalkan. Kenapa pemerintah tidak memikirkan nasib petani, supaya mereka tidak datang lagi ke kota, menjadi supir bus, menjadi pedagang-pedagang asongan, pedagang kali lima yang menimbulkan masalah. Kemudian dikejar-kejar Trantib dan seterusnya untuk diperas dan diperas lagi. Kenapa tidak dipikirkan?

Makmurkanlah petani itu. Bagaimana caranya? Berikan mereka subsidi tiga kali lipat. Kalau subsidi sudah tiga kali, mereka sudah hidup yang layak. Dengan demikian mereka tidak usah datang lagi kota. Kalau mereka sudah makmur, sudah bisa hidup yang layak, tidak perlu lagi susah cari sekolah dan berobat ke rumah sakit, karena mereka sudah bisa bayar sendiri. Kenapa harus digratis-gratiskan? Seakan-akan negara ini negara sosialisme. Tidak! Negara ini negara yang demokratis, berikan kepada mereka untuk menegakkan harga diri.

Kalau di Jepang, delapan kali, kata meraka. Maka Jepang tidak mau mengimpor beras. Jepang memproteksi petani, walaupun AS memprotes dengan berbagai macam cara. Di sana petani memiliki kedudukan yang sangat terhormat.
Kapankah kita memberikan kedudukan terhormat itu kepada para petani, dari mana kita berasal? Kurasakan nikmatnya melihat padi yang tumbuh, kemudian mulai boltok (istilah di Tapanuli), berbuah dan seterusnya. Lalu melihat burung pipit (amporik) ratusan bahkan ribuan ekor hinggap, lalu diusir dan diusir.

Kemudian sekarang saya bertanya kenapa kita begitu kejamnya kepada burung pipit pada jaman dahulu. Bukankah rezeki yang kita harapkan itu ada juga rezeki orang lain? Kenapa? Jadi saya merasa berdosa kepada mereka.
Tapi apakah kita tidak ada yang ingin melanjutkan filsafat hidup seperti itu? Bukan hanya engkau, hanya manusia, yang berhak mendapat rezeki yang diberikan Tuhan, binatang-binatang atau hewan-hewan itu juga berhak.

Oleh karena itu, sebagai orang muslim saya berbahagia, sebagai orang Batak pun saya berbahagia karena menyandang marga Siregar. Nanti di Bali, saya akan menyampaikan satu makalah. Sebagai seorang muslim, saya ingin menyampaikan nikmat itu sebagai bahan kajian kita. Sebagai seorang Batak, saya juga ingin menyampaikan nilai-nilai kebatakan itu kepada kita.

Jadi sebagai muslim, ada dikatakan bahwa ada dua kelompok manusia yang paling dimuliakan oleh Allah, yaitu perempuan dan petani. Pertama, kalau wanita tidak mau lagi untuk melahirkan seorang anak, menyusui anak, menyantuni anak, celakalah manusia. Adakah tendensi untuk mengingkari itu? Lihat saja gaya hidup beberapa wanita yang selebritis, yang bahkan tidak segan-segan merusak rumah tangga orang dan seterusnya.

Kedua adalah kalau tidak ada lagi petani yang mau menabur benih untuk dituai, celakalah manusia. Maka saya mengajak supaya kita berbahagia untuk menjadi petani. Kita semua berbahagia pernah menjadi keturunan petani.

Tapi saya akan merasa lebih berbahagia lagi, kalau mereka yang duduk di atas itu, merasakan bahwa para petani itu mengharapkan uluran tangan mereka untuk bisa hidup sebagai rakyat yang berhak di dalam kemerdekaan ini. Tetapi apa yang saya lihat, walaupun petani dibilang begini-begini, tetapi tidak menyangkut mengenai pokok dasarnya rakyat.
Makmurkanlah petani, insya Allah mereka nanti tidak ada lagi yang tidak sekolah. Tidak perlu mereka diseragamkan. Jangan mengasingkan anak itu dari alam dan lingkungnnya.

Biarkanlah dia bersama dengan lingkungannya. Biarkanlah kaki ayam. Si Bismar pun setelah SMA dia baru tahu memakai sepatu. Waktu di HIS dulu jaman Belanda kaki ayam. Jadi nggak masalah, kenapa kita harus malu. Mereka itu harus menjadi dirinya.

Oleh karena itu, kesalahan itu perlu diakhiri. Supaya ia cinta pada pertanian. Kalau dahulu kita bangga, saat orangtua kita bekerja di sawah, maka pukul 12 siang anak membawa makanan untuk ayahnya. Sekarang mana ada anak yang mau begitu. Jadi kita sendiri tidak sadar telah merusak tatanan yang ada, yang begitu baik, yang telah diwarisan nenek moyang kita.
Oleh karena itu, sekali lagi, saya kembali mengetok pintu hati nurani mereka yang diberikan amanah jabatan oleh Yang Kuasa. Tolonglah ingat, amanah dan jabatanmu itu adalah sesuatu yang kelak engkau pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Engkau tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban itu.

Kepada SBY pun pada waktu Pilpres dulu, saya bilang, engkau imam yang harus bertanggungjawab terhadap lingkunganmu.
Jadi kalau saya menjadi imam terhadap diri saya, terhadap keluarga saya, engkau SBY adalah imam untuk bangsa ini. Sehingga tolong ingat, engkau bukan presiden dalam sistem parlementer, engkau tidak bisa dikecilkan oleh parlemen, tidak bisa, engkau dipilih langsung rakyat. Tetapi, tampaknya engkau tidak sadar bahwa rakyatlah yang memilih engkau. Engkau ingin mengadakan koalisi, koalisi dengan Golkar, koalisi dengan Jusuf Kalla.

MTI: Kembali ke perjalanan hidup Anda yang selain mencapai berbagai keberhasilan juga diwarnai penderitaan dan tantangan?

BS: Itulah sekilas perjalanan hidup saya. Terlalu banyak penderitaan-penderitaan selama dalam perjalanan hidup ini. Tetapi penderitaan itu tidak saya anggap sebagai sesuatu yang memojokkan dan sebagainya. Melainkan merupakan ujian-ujian iman. Masihkah saya mampu menghadapi ujian-ujian dan cobaan-cobaan berikutnya?

Antara lain, keluar dari jaksa juga merupakan ujian. Saya tadinya wakil AA Baramuli di kejaksaan Makassar. Kemudian karena ada salah pengertian, barangkali, saya lepaskan orang yang mereka tidak merasa senang dilepaskan, maka saya dipindahkan ke Ambon.

Makassar adalah kejaksaan kelas satu, Ambon kelas tiga. Dari wakil menjadi jaksa biasa. Apakah saya tidak akan kecewa? Semula saya kecewa. Tanpa SK. Waktu itu saya memberontak dan berpikir akankah melawan pada atasan? Mulailah si Batak berpikir lebih bijak, ah nggak. Karena saya ini di sini hanya ketimun, dia adalah durian. Kalau saya protes, saya juga yang akan salah.

Kemudian saya pindah ke Ambon. Dan ketika bertugas di Ambon itulah saya harus berpisah dengan keluarga, jauh Jakarta dengan Ambon. Bukan seperti sekarang enaknya, kapan saja kita bisa berangkat, bukan. Oleh karena itu pada suatu saat, saya sudah merasa orang Ambon yang sebelumnya saya sebut hitam-hitam, tapi makin lama makin terlihat cantik dan makin putih. Maka timbullah setan akankah saya melihat orang Ambon yang makin putih dan cantik, lupakah saya bahwa isteri saya lebih cantik dan lebih putih darpada wanita mana pun yang ada di dunia ini?

Ini bekal pembinaan kehidupan dalam berkeluarga. Sehingga, saya berkata, kalau akan mencari pemimpin yang dapat dipercaya, carilah orang (pemimpin) yang setia pada rumah tangganya. Kalau ia setia pada anak dan isterinya, paling tidak jaminan 50%, dia setia dalam menjalankan tugasnya. Kalau dia sudah melanggar, jangan pilih.

Oh itu terlampau kejam. Tidak, saya bilang. Itu pengalaman saya. Karena setiap saya digoda oleh siapapun, apa lagi dengan wanita, terbayanglah wajah istriku yang sekarang ini sudah mulai keriput dan sudah mulai putih rambutnya. Namun, saya katakan, di keriput wajahmu itu, di rambut yang sudah memutih, di situlah kulihat rahmat ilahi ya robbi, kita membina hidup rumah tangga yang bahagia. Haleluya. Kehidupan rumah tangga kami bahagia.

MTI: Lalu, bagimana pengalaman di Ambon?

BS: Tak berapa lama kemudian, di Ambon saya menjadi Wakil Kepala Kejaksaan. Itulah hikmahnya. Bahwa gara-gara Baramuli memindahkan saya ke Ambon. Walau semula saya kecewa, namun kemudian saya ikhlas. Saya tidak tahu itu menjadi jalan Tuhan.

Setelah itu, saya di pindahkan menjadi ketua pengadilan negeri di Pangkal Pinang. Namun ketua pengadilannya minta pensiunnya ditunda menjadi satu tahun lagi. Sehingga saya menjadi hakim biasa, tertunda jadi ketua pengadilan negeri. Ada kawan saya, kita protes, kita demo. Nggak, saya bilang. Kenapa sih engkau tidak rela seorang yang sudah menua meminta setahun dan kenapa engkau tidak ingin untuk membahagiakan orang lain?

Lalu belum satu tahun di Pangkal Pinang, Ketua Pengadilan Negeri Pontianak meninggal. Langsung saya dipindahkan ke sana. Pangkal Pinang kelas tiga, Pontianak kelas satu.
Inilah, saya baca, saya baca, saya baca semuanya itu, sebagai bukti bahwa kalau engkau dekat dengan Tuhanmu, Dia lebih dekat lagi kepadamu. Tapi kalau kau sudah mulai ragu kepadaNya, Dia juga tidak akan pernah meninggalkanmu.

Jadi setelah kami tujuh tahun di Pontianak, istri saya sudah betah dan bilang, kita tidak usah pindah. Tapi, saya bilang, saya harus pindah. Jadilah kami pindah jadi Ketua Pengadilan Negeri di Jakarta Utara. Kemudian menjadi hakim tinggi.
Satu hal yang tidak bisa saya bayangkan, belum sempat saya dua tahun menjadi hakim tinggi sudah ditunjuk menjadi Ketua Pengadilan Tinggi di Medan. Ditanya, mau dia tidak? Siapa yang tidak mau kembali ke Bonapasogit? Karena itikad kita bagaimana untuk membela. Haleluya! Selama saya bertugas, satu setengah tahun di Medan, tidak ada tempat dimana saya sebahagia itu. Mempunyai anak buah, seluruh jajaran pengadilan negeri sungguh bisa saya jalin kerjasamanya dengan baik.

Tidak perlu saya tegur, jadi begini-begitu, tidak perlu. Karena dalam prinsip saya, menegur orang itu bukan dengan cara kekerasan. Tapi cara contoh dengan bijak.

Contohnya, Dumasi Nababan, mantan hakim agung, anak buah saya. Dulu biasa di Medan itu, ditunggu datang orangnya. Apa itu ditunggu datang orangnya? Kalau tidak datang, tidak diselesaikan perkaranya. Oh itu. Ambil perkaranya semua, saya bilang. Ada tiga ratus. Bagi semua kepada hakim lain.
Kemudian ada seorang hakim yang perkaranya bertumpuk.

Koq nggak selesai-selesai. Akhirnya, saya buat, karena perkara Anda tidak selesai-selesai, sudah saya pikir, untuk sementara perkara tidak saya bagikan pada Anda sebelum itu diselesaikan. Dan saya selalu transparansi, maka ada tembusan pada atasan. Sakit dia. Belum pernah saya mengalami hal yang demikian ini. Tapi karena dia anak buah saya, dan saya bertanggungjawab terhadap penyelesaian perkaranya.

Saya juga memberi contoh, misalnya sebagai ketua, saya datang jam tujuh. Anak buah akan kerepotan akan datang sebelum jam tujuh. Kalau ketua datang jam 10, anak buah pun iya.
Jadi di Mahkamah Agung juga sama. Saya datang lebih pagi, dan membuat kunci duplikat, sehingga saya tidak perlu menunggu datang tukang kunci pintu. Tidak perlu saya harus marah. Sementara kawan-kawan saya demikian (mengandalkan tukang kunci pintu), tapi saya tidak. Kalau saya sudah datang jam 7, saya pulang jam 2 siang. Bijaksana, kalau sama-sama pulang sudah macet. Kalau jam 2 belum pulang, saya sudah pulang mendahului, tapi pekerjaan saya kerjakan.

Dalam bekerja, saya selalu berdoa. Kalau saya melihat satu berkas perkara walaupun setebal sedemikian rupa, di mata saya terbayang orang yang menunggu keadilan dari berkas perkara ini, dan berkas perkara ini adalah makhluk. Sehingga kalau saya datang dan saya buka dengan bismillah.

Alhamdulillah, seorang di antara hambamu dikasih jabatan amanah hakim agung, untuk menyelesaikan perkara.
Karena saya mempunyai istilah bukan lagi air mata yang bercucuran, darah telah berceceran dari pencari keadilan. Tapi ternyata pejabat pengadilan tidak perduli yang demikian itu. Karena kita sudah merasakan, apa yang dialami oleh orang lain bukan urusan kita. Karena itu, tunggakan-tunggakan perkara, dua puluh ribu, sebentar-sebentar. Kapan kau sebentar? Sampai habis masa jabatannya, dan sudah diperpanjang lagi oleh mereka sendiri dan sudah dilantik lagi oleh Presiden SBY, dan itu kan aneh.

Yang sepanjang hemat saya, itu tidak sah. Keputusan untuk memperpanjang masa jabatan sendiri. Kalau tidak sah tentu SBY tidak menyatakan sah dan harus diganti dengan pilihan yang sah.

Peci kebanggaan kita sejak jaman Belanda juga sudah diganti dengan bentuk peci profesor. Saya sudah tahu, semua sudah tahu, namun seakan-akan diam dan saya tidak akan diam.
Itulah banyak masalah. Tapi dalam masalah yang demikian, saya masih mantap untuk berkata, apa pun yang terjadi atas dirimu dan keluargamu itu Bismar, jangan sesali, jangan sesali. Itu tidak akan terjadi kecuali dengan izin Dia. Kalau itu seizin Dia, akankah saya durhakah, protes mengenai izin Dia.

Karena itu saya menulis mengenai Gus Dur. Waktu ucapannya, saya protes Tuhan, karena saya harus lengser tahun 2004, sekarang saya dilengserkan, saya protes. Saya tulis, Gus Dur mengapa engkau harus protes dengan Tuhan. Tidakkah engkau lupa, apapun tidak lebih dari apa yang ditentukan oleh Tuhan. Kalau pun harus lengser, ikhlas saja, jabatan tidak segala-galanya untuk saya. Tapi ternyata pejabat-pejabat kita sekarang luar biasa, menjadikan jabatan segalanya.

Betul saya bahagia kok, tidak termasuk dalam lingkaran hakim-hakim yang bertanya mana lembaran Soedirman, mana lembaran Soeharto. Saya nggak ragu-ragu bilang dan memang begitu.

Jadi anak kami ada tiga, satu pun tidak ada yang mau melanjutkan untuk menjadi hakim, semua yang bergerak di bidang pegawai dan advokat.

MTI: Kemudian sewaktu bertugas sebagai hakim, salah satu waktu itu di Medan, tentang defenisi ‘benda’ atau ‘barang’, itu sempat menjadi pemberitaan yang menarik di koran-koran. Bagaimana ceritanya?

BS: Sebelum itu, pertama, waktu saya menjadi Ketua Pengadilan Tinggi di sana, ada seorang entah bermarga apa itu, berkelahi dengan hakim Pengadilan Tinggi. Kemudian ketika dia mau datang pada saya, dihalangi mereka. Mereka melapor pada saya. Pak Bismar, itu datang orang yang berkelahi dengan hakim. Saya bilang masukkan saja. Begitu masuk, dia bilang, begini, begini, saya minta supaya hakim ini dihukum, dan seterusnya.

Sesudah dia selesai, saya bilang bolehkah saya menyampaikan sesuatu? Boleh, apa itu katanya. Saya bilang, mestinya saya yang harus dihukum. Terkejut dia. Kenapa? Saya sebagai Ketua Pengadilan Tinggi tidak bisa membenahi anak buah saya. Saya tidak pantas sebagai ketua.

Kemudian dia datang kedua kali. Saya songsong ke pintu. Masuk dia.”Ya itulah Pak Bismar, Ketua, ibu saya marga Siregar,” katanya. “Kalau marga Siregar tondongmu do ahu,” kubilang. Masalah-masalah yang demikian itu sebetulnya kalau kita sebagai pimpinan harus terbuka untuk menghadapinya, tidak usah berprasangka yang tidak baik.
Kemudian tentang mengenai benda (bonda, bahasa Batak) atau ‘barang’. Semua ribut, sehingga mahasiswa sekarang pun kalau belajar dalam hukum perdata tentang barang, semua mereka tersenyum. Kenapa? Mereka ingat ‘barangnya’ si Bismar.

Itu mengenai cerita orang kita yang ada di suatu tempat, tinggalkan keluarga. Biasalah kalau pulang, mampir, jalan dan seterusnya. Dan kebiasaan di kampung, seorang gadis duduk sore-sore di jendela untuk melihat adakah orang yang lewat yang melirik-lirik. Memang pada waktu itu dia tidak menyadari apa yang menjadi kehormatan itu. Si wanita begitu percaya terhadap rayuan cinta si pria, kehormatan pun diberikannya.
Setelah berulang kali, dia berkata, mana janjimu! Apa itu janji? Kalau kita sudah begini, kita akan menikah. Saya tidak bisa menikah karena saya orang Kristen, nggak boleh berpoligami. Itulah, berakhir di pengadilan. Dihukum oleh Pengadilan Negeri 4 bulan.

Tapi waktu sampai di Pengadilan Tinggi, saya mengatakan, kurang ajar ini. Akhirnya ada dakwaan, saya terapkan sebagai penipuan. Bagaimana tidak penipuan, sudah tahu tidak boleh berpoligami dan sebagainya, terus dia masih mengatakan, ‘tuntut sampai langit ketujuh, suka sama suka, dewasa sama dewasa, tidak ada satu pasal pun yang dapat menjerat saya’.
Sekarang datang si Bismar menjawab, sekarang engkau akan dihukum. Jadi dia akhirnya dihukum kurang lebih empat tahun. Dengan catatan bahwa, kalau istilah Batak, kalau amarah orang Batak itu sudah memuncak ‘kehormatan’ itu disebut ‘bondami’. Maka dikatakan orang, jangan jadikan dong istilah Batak itu menjadi istilah hukum, inilah protes mereka yang wanita. Kenapa begitu Pak Bismar? Karena saya seorang laki-laki, lahir dari rahim seorang ibu, wanita.

Memang betul, ya si Bismar orang Batak, kalau memang dalam prinsip, ya idealis sekali. Waktu di Mahkamah Agung, kita rapat pleno, ditanyakanlah oleh Hakim Agung, Ketua Pidum. Tapi saya mengatakan, Mahkamah Agung tidak boleh memberikan komentar tentang perkara yang sedang diselesaikan di tingkat pengadilan negeri atau tinggi, mestinya diserahkan kembali kepada majelis hakim. Kalau nanti sudah sampai ke MA silahkan putuskan sendiri atau batalkan. Kala itu, saya percaya nanti akan dibatalkan. Memang dibatalkan.
Walaupun orang sekarang mengatakan, ‘putusan Pak Bismar itu benar’. Tapi kebenaran putusan yang diberikannya itu saat-saat tertentu belum merupakan suatu kebahagiaan bagi kita, tetapi saat lain dimana orang membutuhkan, itulah kebahagiaan bagi kita.

MTI: Kalau tidak salah juga ada kasus ganja yang sebelumnya dihukum 10 bulan tetapi kemudian Anda hukum 10 tahun?

BS: Iya, juga ada kasus ganja, dari hukuman 10 bulan menjadi 10 tahun, dari 15 bulan menjadi 15 tahun, ribut. Sehingga Benny Moerdani mengatakan, Pak Bismar ini menyelamatkan negara kita dengan putusannya terhadap ganja itu.

Tetapi sekarang, saya bertul-betul bertanya, apakah hakim itu punya hati nurani atau tidak. Umpamanya, Roy Martin, sekarang dituntut karena dia menggunakan. Kalau dulu saya sebagai hakim, terhadap yang menggunakan saya tidak hukum, tetapi saya masukkan keperawatan di Fatmawati. Itu tidak ada undang-undangnya? Saya undang-undangnya! Untuk apa saya hukum dia, karena dengan itu dia tidak bisa berhenti. Tapi kalau dirawat bisa. Siapa yang membiayai? Negara saya bilang. Kalau dia orang kaya, dia sendiri.

Jadi sekarang ini seakan-akan hakim tidak mengerti, tidak mau mengerti. Dengan alasan UU-nya belum ada. Bagi saya itu tidak boleh. Hakim harus berani menciptakan UU. Seperti kasus wanita tadi, saya buat itu penipuan.

Jadi di situlah saya menemukan, yang dari satu segi saya bahagia pernah menjadi hakim, tapi sesudah sekarang ini, saya merasakan pedih karena saya mengalami dan seterusnya tapi tidak bisa berbuat. Karena itu saya terus menulis, menulis, menulis dan menulis.

Selain itu, di pengadilan, saya pernah menjatuhkan putusan terhadap dua anak yang sangat akrab sekali, orangtuanya juga akrab sekali, tapi terlanjur satu saat si anak membunuh kawannya, jadilah perkara. Sampai di pengadilan tinggi, kedua orangtuanya datang untuk menyelesaian perdamaian. Dalam hukum pidana, tidak ada perdamaian yang demikian. Tetapi saya tukang-tukangilah. Bukan karena saya ada maksud tertentu, tidak.

Tapi bagaimanalah, orangtuanya kawan baik, mereka kawan baik. Jadi terjadi yang demikian itu ‘kan bukan karena kemauan mereka. Maka pada saat itu, karena ini orang Melayu, diselesaikan secara adat Melayu, kemudian karena mereka juga beragama Islam maka diselesaikan juga sesuai dengan agama Islam tentang pembunuhan. Kalau si korban itu memaafkan, hapus, tetapi dengan ganti rugi maka diberikan ganti rugi.

Cuma secara hukum tidak dapat dikatakan dimaafkan tapi diberikan hukuman percobaan. Hasilnya ‘kan sama saja, keluar dari penjara, cuma barangkali redaksinya yang lain. Seperti sekarang, Pak Harto tidak boleh dimaafkan katanya, karena perkaranya belum diselesaikan. Kenapa kita harus mengutamakan penyelesaian perkara daripada batin kita, hati nurani kita, memaafkan seseorang. Mengapa?

Jadi di situlah barangkali kekurangan pemahaman dan penjabaran daripada hukum. Bagi saya, hukum itu hanya sebagai sarana, tujuannya ialah keadilan. Kalau sarana itu menjadi penghambat, maka saya harus singkirkan, asal mencapai keadilan.

MTI: Juga ada kasus pernikahan yang Anda sahkan sebelum menikah secara catatan sipil?

BS: Salah satu putusan yang sangat membahagiakan saya, ada dua orang umat Kristiani (Katolik) menikah di hadapan pastur, tetapi mereka belum menikah secara catatan sipil. Maka datang dia dan berkata: Sahkanlah pernikahan kami Pak. Kalau menurut UU tidak boleh.

Tetapi apakah saya menyatakan anak yang lahir dari hubungan suami istri, ayah dan ibu yang diberkahi oleh pastur dengan mengatakan atas nama Tuhan saya berkahi, kemudian di depan pengadilan, demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan yang atas nama ini tidak sah.

Saya mengatakan, saya tidak akan melakukan yang demikian.
Saya nyatakan bahwa perkawinan itu sah. Yang tidak sahnya adalah belum memenuhi prosedur. Sempurnakanlah prosedurnya. Tidakkah bahagia, sebagai seorang muslim, saya bisa mengatasi kesulitan dari sesamaku yang kristiani?
Sekarang tidak ada yang mencari Tuhan, karena bagi mereka kepastian hukum. Tidak ada yang pasti dalam hidup ini, saya bilang. Yang pasti itu Tuhan. Karena itu undang-undang memberikan kesempatan kepada hakim menggu-nakan akalnya, bagaimana untuk menjabarkan supaya hukum itu bisa mencerminkan keadilan. Sekarang ‘kan tidak, hukum demi uang.

Tahun 1964, waktu PKI hamil tua, lahirlah undang-undang yang memerintahkan: Hei hakim, kalau engkau akan mengucapkan putusanmu, ucapkanlah dengan sumpah demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Maha Esa.

Tolong bayangkan, dalam situasi kondisi seperti itu, yang tidak mungkin dilakukan, tapi lahirlah UU yang demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Maha Esa. Maka saya berkata, Maha Besar Engkau Illahi Robbi, kalaulah demi keadilan, toga ini saya tanggalkan. Tapi karena di situ ada Ketuhanan Yang Maha Esa, saya pakai. Tapi landasannya ialah harus sesuai dengan hukum Tuhan. Hukum manusia boleh saya pakai, tapi kalau bertentangan, saya kesampingkan.

Karena itu kalau hukum Tuhan yang menjadi urusan, ajaran Kristen ada, ajaran Islam ada. Cuma mungkin dalam ajaran Kristen terlampau dikekang untuk menafsirkan ayat-ayat itu. Sebagaimana saya peroleh dari seorang hakim umat kristiani yang menjemput saya waktu saya sampaikan mengenai kalimat: Jadilah engkau garam di dunia. Apa jadinya kalau engkau tidak asin, engkau akan dibuang dan diinjak orang. Penafsirannya begini, jadilah engkau membawa kebahagiaan kepada siapapun juga. Pandai betul ya Pak Bismar menafsirkannya, kalau kami tidak boleh, dia bilang. Saya tidak tahu apa omongannya benar demikian itu

MTI: Dia tidak mengerti barangkali?

BS: Iya situ, hakim-hakim itu tidak dibekali pengertian. Hakim-hakim kritiani tidak mengerti ajaran agamanya, juga hakim Islam tidak mengerti. Jadi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti keadilan yang menjadi landasan, bukan hukum, apalagi kepastian hukum. Saya menemukan itu dalam ajaran Islam: Kalau engkau menegakkan hukum, tegakkan ajaran Tuhan.

Sebagai contoh, hukum adat. Laki-laki selalu diutamakan untuk sekolah sedangkan wanita tidak. Maka bantulah dia sekolah. Akankah adil, saya masih menuntut hak saya sebagai anak laki-laki? Tidak adil. Karena itu, adat itu harus out, nggak bisa. Paling banyak hak, ambillah semua, karena saya sudah mendapat buah warisan itu.

Jadi kalau dalam pertimbangan putusan, saya selalu bawa nilai ajaran-ajaran Kristiani, dan ajaran Islam. Bukan saya menyepelekan yang lain, tapi saya membuktikan bagaimana saya ingin untuk menjadikan agama yang dijiwai dan dirohi Tuhan Yang Maha Esa.

Buktinya, suatu saat ada seorang suami yang ingin cerai dengan istrinya. Kemudian dia buatlah sedemikian rupa pancingan sehingga suatu saat di malam sepi jam 12 malam, ditangkaplah si istri. Kemudian diajukan ke polisi. Yang sebetulnya kalau yang demikian ini kan tidak boleh ditahan, tapi kok ditahan polisi. Dengan janji kalau dia mengaku maka akan segera dilepaskan, mengakulah dia. Walaupun tidak benar mengakulah dia.

Selesainya dalam tempo dua minggu sudah selesai diajukan ke pengadilan. Seandainya proses ini berlaku, alangkah bahagianya pencari keadilan segera menemukan keadilan-keadilan. Tapi ini tidak. Oleh karena apa? Rupanya keinginan suaminya, kalau dia dihukum maka perceraian akan putus, si istri tidak mendapat bagian dari harta.

Maka saya bilang, cari ayat Injil. Kemudian dapat. Surat Injil Johannes. Inti ayatnya, waktu orang Farisi membawa seorang wanita yang berzinah, kemudian mereka berkata, ya Tuhan Yesus, hukumlah ia sesuai dengan hukum Farisi, dihukum rajam sampai mati. Tuhan Yesus mendengar, kemudian menundukkan kepalanya. Diangkat kepalanya, Yesus berkata, siapa di antara kalian yang tidak berdosa, silakan mengambil batu lebih dulu untuk melempar si wanita ini supaya hukum ditegakkan dan diperlakukan.

Lalu Yesus menunduukan kepala. Waktu Yesus mengangkat kepala kembali, tidak ada lagi orang di sana kecuali si wanita itu. Ditanya kemana mereka? Mereka sudah pergi Tuhan Yesus, jawab si wanita. Jadi simpul saya, ya Allah, hanya orang tidak berdosalah yang boleh mengadili orang yang tidak berdosa.

Itu filsafat harus dicanangkan untuk para hakim supaya mereka mengerti di dalam ajaran Injil, sedemikian rupalah kedudukan hakim. Karena hakim itu wakil Tuhan. Jadi kalau sekarang, kita dibodoh-bodohi, karena memang kedudukan hakim tidak seperti yang selayaknya.

Demi itu langkah sumpah. Jadi menurut saya tidak benar. Janganlah engkau bersumpah demi bumi, demi langit, karena itu alas tempat Tuhan bermukim. Jangan bersumpah demi bumi, karena itu tempat berpijak. Jangan bersumpah demi Yerussalem, karena itu kota Maha Hadir. Jangan kau bersumpah, kecuali bersumpahlah demi nama-Ku. Itu telah menjadi irah-irah putusan kita. Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Haleluya, haleluya! Di negara kami yang lahir dan di atas berkat dan rahmatNya, sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Keadilan diucapkan atas nama Tuhan, betapa kami tidak merasa, Engkau yang harus mengaturnya, terserah kepadamu ya Tuhan. Sampai enam puluhan tahun lebih kami belum menikmati mengenai kurnia rahmat kemerdekaan negeri ini. Kami masih hidup di dalam angan-angan.

MTI: Bagaimana Anda bisa selalu arif dalam setiap mengambil keputusan itu?

BS: Putuskanlah dengan bijaksana, dengar hati nunari. Kemudian di dalam KUHAP ditambah dengan arif dan bijaksana. Sehingga kalau ditanya bagaimana kearifan itu? Itu kita harus hadir dalam diri sendiri, tidak ada itu kuliah di fakultas hukum.

Karena putusan itu engkau pertanggungjawabkan hanya kepada Tuhanmu, bukan kepada ketua Mahkamah Agung. Bukan seperti sekarang. Nanti apa kata Mahkamah Agung ya. Bukan. Kalau itu betul atau tidak, itu urusan nanti. Kemudian kepada hati nuranimu, baru kepada yang lain. Jadi sudah jelas sistematika, hierarkinya itu ditetapkan dengan undang-undang, tapi kenapa mereka tidak mau belajar?

MTI: Kembali masalah jenjang karir, apakah Anda pernah meminta jabatan?

BS: Saya tidak pernah minta. Sekarang ini fit and proper test. Saya nggak pernah tahu. Dulu Golkar pernah mengirim surat kepada saya, membuat mengenai suatu tulisan tentang penegakan hukum dan seterusnya. Rupanya ini fit and proper test. Setelah menilai, calonlah saya jadi hakim agung.
Kalau ditanya mau tidak? Saya akan jawab tidak. Kenapa? Karena dua kali, tiga kali PPP mengusulkan saya tidak pernah gol karena yang punya negara ini Golkar, akan saya bilang. Tapi karena tidak ditanya, hanya itu tulisan saja, saya kirim, Alhamdulillah. Haleluya. Tidak ditanya kok. Sekarang, krasak-krusuk, bayar lagi sekian katanya, untuk dapat jabatan. Saya tidak mau hal demikian.

MTI: Mengenai kondisi bangsa. Dalam era reformasi, kita menginginkan kehidupan yang lebih baik dan itulah tujuan dari reformasi itu sendiri. Setelah sewindu reformasi ini, bagaimana pendapat Anda?

BS: Tentang reformasi, bukan hal yang asing dalam Islam. Apa itu? Engkau harus berani mengadakan pembaruan pada saat orang tidak berani berbuat demikian. Itu reformasi.
Ketika kampanye banyak janji yang di ucapkan, tapi itu omong kosong. Sesudah dia terpilih, jadilah ia seorang kader politik sesuai dengan partainya. Terlibat di partai, saya setuju, tidak apa-apa. Saya ini juga PPP tetapi saya tidak pernah berjuang untuk PPP. Saya berjuang untuk rakyat.

Kalau sudah untuk rakyat, kalau sudah terpilih nanti, tanggalkanlah baju loyal kepada partai. Tapi karena sampai sekarang ini juga itulah yang kita lakukan. Apakah ini termasuk yang disebut munafik. Ia berkata, bukan aku berjuang untuk engkau ya Tuhan, aku berjuang untuk partaiku, untuk iniku. Rakyat ditinggalkan.
Jadi sebetulnya, karena kita belum kembali kepada tujuan bahwa apapun yang kita perbuat tiada lain karena Tuhan. Maka selama itu belum kembali, jangan harapkan berkat dan ridho Allah.

MTI: Awal ketertarikan Anda sendiri di bidang hukum?

BS: Orang tua berpesan, saya ingin engaku nanti menjadi hakim. Sekolah di bidang hukum. Jadi waktu saya menjadi mahasiswa, saya berdoa. Ada pesan orangtua saya dahulu, kalau sekarang saya mendaftar untuk masuk kalau benar kabulkanlah, jadikan saya menjadi seorang sarjana hukum. Dan ternyata dikabulkanNya, maka saya ingatlah doa saya, harapan orangtua saya.

Kalau umpamanya jaksa memang jaksa buat saya tidak cocok karena saya tidak bisa mengembangkan pemikiran-pemikiran saya, karena jaksa hanya satu dari atasan sampai ke bawah, harus mengikuti atasan, saya tidak mau. Tapi sebagai hakim saya jangan dicoba-coba atasan untuk menghalangi, saya tidak mau.

Dan itu pernah saya alami. Oleh Mahkamah Agung dikatakan bigini. Saya bilang, tolonglah, nanti kalau di kasasi putusan bapak, karena ini putusan saya tapi jangan sekarang saya diarahkan. Itulah yang tidak ada pada hakim-hakim sekarang ini. Mereka lebih senang mengikuti apa kata atasan, karena dengan demikian mereka bisa selamat untuk naik pangkat. Buat saya pangkat tidak ada artinya.

MTI: Boleh dibilang dari segi peran, ketulusan hati nurani, Anda seorang sesepuh juga di bangsa ini. Sebagai seorang sesepuh mungkin ada pesan untuk pemerintah?

BS: Pesan untuk pemerintah, kalau boleh saya berkata: SBY, engkau adalah imam yang kelak dihadapan Tuhan akan dituntut pertanggungjawaban. Bagaimana engkau melaksanakan mengenai keimaman ini. Sungguh ngeri saya melihat apa yang terjadi sekarang ini karena sudah hampir dua tahun kita melakukan mengenai Kabinet Indonesia Bersatu, kok belum ada yang jelas, selalu mengambang terus.
Kalau boleh saya sampaikan kepada mereka yang menjadi pejabat itu, contoh dalam Islam. Ada seorang khalifah namanya Umar Ibnu Abdul Azis. Waktu ia akan ditunjuk, ia berkata aku tidak ingin. Tapi karena kuat arus, apa katanya?

Siapalah nanti yang akan membebaskan daku dari rintihan mereka yang diperlakukan tidak adil. Siapakah nanti yang membebaskan daku dari tangisan mereka yang menderita kelaparan. Siapakah nanti yang membebaskan daku dari yang diperlakukan kezaliman, dari janda yang ditinggal tidak mendapat santunan, anak yatim, dan seterusnya. Siapa? Tidak siapa-siapa, kecuali aku sendiri.

Berdasarkan itulah dia menentukan sikap, sebagai khalifah, walaupun tentu kita tidak perlu mencontoh kayak demikian. Waktu dia diberikan kendaraan kerajaan berlapiskan emas, ketika hendak dinaikinya, dia tolak untuk kemudian juallah, kembalikan hasilnya ke baitul mall untuk dimanfaat oleh rakyat. Dia berjalan kaki seperti rakyat biasa.

Kemudian di istana dia tinggalkan istana, dia buat rumah seperti tempat tinggalnya istana yang berlantai tanah. Kemudian waktu ditanya kenapa? Takut saya nanti, kalau ditanya oleh Tuhan, kenapa kamu hidup bukan seperti rakyatmu yang paling miskin, takut saya.

Mengapa kita tidak mampu untuk bersikap seperti itu. Kenapa kita sekarang ini kalau sudah menjadi pejabat selalu berpikir mumpung, mumpung, dan mumpung. Kalau itu kita jadikan dan kemudian peringatan kepada mereka, tolonglah ingat siapa nanti yang membebaskan engkau dari ini, itu dan seterusnya, barangkali tertahan nafsu dia untuk mengejar kekayaan dan kekuasaan.

MTI: Lalu pesan Anda untuk lembaga legislatif, DPR dan DPD?

BS: Ada tulisan saya, masihkah aku percaya pada mereka? Kenapa saya tidak percaya pada mereka? Dulu waktu Pemilu berjanji akan berjuang untuk rakyat, tetapi setelah duduk di situ untuk kepentingan partainya. Sehingga sekarang pun malunya sudah tidak ada lagi. Menerima amplop 5 juta dari Mendagri, dan dikatakan itu bukan suap. Jadi sungguh banyak, apalagi sekarang ini menghadapi RUU APP dan seterusnya.

Sudah bicara ketua nya. Akan ditagih oleh rakyat. Dan itulah menurut hemat saya, kelirulah umat Islam yang memaksakan hal itu. Sampai-sampai ulama ikut memfasilitasi demo.
Seperti pada masalah Soeharto, majelis ulama seharusnya mengatakan, jangan sakitilah dia. Walaupun fisiknya sudah sakit, jangan lagi sakiti bathinnya, maafkanlah kesalahannya. Majelis Ulama harus berani mengatakan yang demikian. Tapi sampai sekarang, saya belum mendengar kata-kata seperti demikian.

Itulah dalam Islam. Celakanya satu umat ialah bila ulamanya sudah koalisi dengan umaro, celakalah. Mestinya ulama harus berdiri di depan, dia harus melihat apa tindakan dari umaro, salah ingatkan. Tapi sayang, ulama berkata, kalau kita ingatkan ndak didengar, bagaimana? Loh itu sudah lazim, jangan paksakan. Ini ulama ikut juga memaksakan. Sudah tidak benar itu.

MTI: Pesan Anda untuk praktisi hukum?

BS: Kepada para praktisi hukum, tolonglah jangan berpikir bahwa hukum itu bukan hanya soal hukum, tapi berpikirlah bahwa hukum itu adalah sebagai sarana untuk menegakkan keadilan.

Tangan itu aparat, tapi ubahlah dengan mulutmu itulah kewajibanmu. Kalau tidak, ubahlah dengan hatimu, hati dengan setengah iman. Kita sekarang ini dalam keadaan demikian, hanya iman saja, tidak berani ngomong. Kalau ngomong menimbulkan masalah yang menyakiti hati orang lain. Kalau aku disakiti, itu yang diucapkan oleh Pak Harto, aku difitnah, aku dihujat, ini-tiu, aku bahagia karena melalui itu mereka mengambil dosa saya, dan saya sudah ampuni. Dia bilang, sudah.

MTI: Sebagai sesepuh, apa obsesi Anda untuk negeri ini yang saat ini dirasakan belum sejahtera?

BS: Obsesinya itu ialah saya bertanya, ya Illahi, ya Robi, kenapa sampai 60 tahun kami ini belum menikmati kemerdekaan, kenapa? Dia menjawab, karena kalian tidak bersyukur kepada-Ku. Kita tidak bersyukur kok. Kalimat itu ada da-lam alinea ketiga, atas berkat dan rahmat Allah yang Maha Kuasa. Konsekuensi dari ini peringat-an kepada kita bersyukurlah. ►mti/crs-ad

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?