SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Agar Djaka Lodang Lebih Kondang

| | | 0 komentar
DARMO Hutomo, 70 tahun, boleh lega sekarang. Setiap pekan, Djaka Lodang rutin terkirim ke rumahnya di Paramaribo, ibu kota Suriname. Saat datang ke Indonesia tahun lalu, dia minta anak angkatnya mengirim majalah mingguan berbahasa Jawa itu rutin via pos. "Dulu hanya titip kenalan kalau sesekali ada yang mau kirim barang ke sini," katanya via sambungan telepon internasional, Rabu pekan lalu.

Darmo adalah warga Suriname keturunan Jawa, generasi ketiga. Baginya, selain menjadi sumber informasi yang akrab-karena berbahasa Jawa-tentang tanah leluhur, Djaka Lodang menjadi acuan bagaimana berbahasa Jawa yang "baik dan benar" sesuai dengan kaidah. "Untuk bahan mengajar," katanya. Maklum, dia juga mengajar bahasa Jawa di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Suriname.

Bahasa Jawa jadi salah satu bahasa populer di Suriname-15 persen dari sekitar 500 ribu total warga Suriname keturunan Jawa. Tapi bahasa Jawa yang berkembang di Suriname sudah mulai bergeser, terutama di kalangan penutur anak muda yang menggunakan bahasa taki-taki di kesehariannya. "Bahasa gaul, Jawa campur-campur," kata Darmo.

Bahasa Jawa "baru" ala Suriname itu dapat didengarkan dengan jelas pada puncak peringatan 120 tahun kedatangan pertama kuli kontrak dari Jawa ke Suriname, 9 Agustus ini, yang dikenal sebagai Hari Imigrasi. Saat itu, "Suriname Jawa" lintas generasi berkumpul di gedung Sana Budaya, Paramaribo. Terlihat generasi tua berbahasa Jawa relatif asli, sedangkan yang muda sudah ber-taki-taki. "Yang muda tidak paham lagi baca Djaka Lodang," kata Darmo.

Contoh taki-taki adalah sroto. "Artinya bukan soto, melainkan kunci, serapan dari bahasa Belanda," Darmo menjelaskan. Ada juga istilah lanja-lanja yang artinya lurus, dan ngabrah yang artinya menyeberang jalan. Nah, karena jauhnya perbedaan bahasa itulah, pada perayaan yang biasanya diramaikan oleh pasar malam dan aneka tontonan tanah leluhur, seperti reog dan ketoprak, itu bahasa Jawa yang baik dan benar seperti kembali disosialisasi. Patokannya adalah Djaka Lodang.

Lain Suriname lain Belanda, tapi sama soal Djaka Lodang. Majalah yang terbit di Yogyakarta ini juga sampai ke Belanda, setidaknya di rumah Yati Mask, 40 tahun, warga Indonesia yang pindah ke Belanda. "Dikirimi adik sebulan sekali, buat obat kangen," katanya saat berkomunikasi melalui Facebook.

Yati sudah tinggal di Belanda selama 20 tahun mengikuti suaminya yang warga sana. Sekarang Yati membuka kafe. Nah, setelah habis dibaca, Yati menaruh Djaka Lodang di rak majalah kafenya, di antara majalah setempat. "Pelanggan dari Jawa kadang tanya sudah ada yang baru belum," katanya.

Darmo dan Yati adalah beberapa pelanggan setia Djaka Lodang di luar negeri. Sebagian majalah Djaka Lodang memang sampai ke luar negeri. Dari catatan sirkulasi, Djaka Lodang juga sampai ke Malaysia, Jepang, dan Kanada. Pembaca di luar, kalau bukan migran asal Jawa atau keturunan Jawa, biasanya pelajar studi Jawa atau peneliti. Selain pelanggan yang mengusahakan sendiri, seperti kedua pembaca itu, pengiriman ke luar negeri dilakukan bagian sirkulasi rata-rata tiga bulan sekali.

Peredaran sampai ke luar itu seakan menjadi energi bagi awak-awaknya. "Di beberapa perpustakaan di Hawaii ada edisi kompletnya," kata Tatiek Purwa Kalingga, salah satu anggota staf redaksi, bangga.

Pembaca di luar negeri itu jadi penyemangat. Namun basis pembaca Djaka Lodang tetap masyarakat Yogyakarta, yang mencapai 60 persen, dan sisanya tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan luar Jawa, termasuk luar negeri. Pelanggan tetapnya tercatat 250 orang, selebihnya distribusi dengan sistem penjualan eceran. Hasil penjualan ini yang menjadi "bahan bakar" majalah untuk tetap terbit. "Iklan tidak banyak, kalau ada satu-dua dengan harga murah," kata F.X. Subroto, penanggung jawab harian Djaka Lodang.

Dengan sistem itu, Djaka Lodang bertahan meski tertatih, dan kini mencapai usia 39 tahun lebih sejak terbit pertama 1 Juni 1971. Bertahan selama itu, praktis tak banyak "teman" setelah majalah berbahasa Jawa, seperti Mekarsari, Kembang Brayan, Darmo Kondo, serta Darmo Nyoto, tamat riwayatnya. Sesamanya tinggal majalah Panjebar Semangat dan Jayabaya yang terbit di Surabaya. Media bahasa Jawa memang surut seiring dengan makin berkurangnya pembaca, juga penulisnya.

Djaka Lodang sempat berjaya selama 18 tahun, sejak menjadi mitra pemerintah pada 1978 dengan tambahan suplemen 16 halaman proyek pemerintah Koran Masuk Desa. Saat itu oplah meningkat dari 5.000 menjadi 15 ribu. Setelah tak lagi bermitra, oplah merosot hingga angka 5.000-7.000. Sekarang Djaka Lodang tetap dipertahankan lebih karena pertimbangan nonmateri. "Melestarikan bahasa dan budaya Jawa," kata Subroto.

Karena itu, segenap awak redaksinya pun benar-benar menjaga kaidah bahasa Jawa. Buku Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin yang Disempurnakan terbitan Balai Bahasa Yogyakarta dan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional serta Kamus Lengkap Jawa-Indonesia karangan Sutrisno Sastro Utomo menjadi buku pegangan sehari-hari enam awak redaksinya. "Menghindari salah kaprah yang makin banyak," Subroto menjelaskan. Bahasa Jawa juga menjadi pengantar di kantor, terutama rapat redaksi sepekan sekali, untuk mendapatkan "rasa" di tulisan.

Lihat saja ketika rapat redaksi yang biasa berlangsung setiap Selasa seminggu sekali di ruang berukuran 3 x 2 meter di kantor di kawasan njeron beteng Keraton Yogyakarta, Jalan Patehan Tengah 29, Yogyakarta. Enam awak mengevaluasi edisi terbaru dan merencanakan edisi berikutnya, duduk berhadapan. Tatiek Purwa Kalingga, salah satu anggota staf redaksi, mengajukan pertanyaan kepada penanggung jawab harian. "Kados pundi to, Pak, wonten kalepatan ing kaca 82," katanya dalam bahasa Jawa kromo alias Jawa halus. Maksudnya, dia mempertanyakan kesalahan penulisan di halaman 82 edisi terbaru.

Menjadi acuan berbahasa Jawa merupakan ambisi Djaka Lodang. Masih adanya pembaca seperti Darmo di Suriname seakan menjadi bonus kerja keras mereka, karena majalah menjadi acuan penutur bahasa Jawa di luar negeri. Target utama, majalah tetap menjadi acuan di dalam negeri, mengingat kemampuan berbahasa Jawa terus merosot. Awal Juni lalu, dalam rangkaian peringatan ulang tahunnya yang ke-39, Djaka Lodang menggelar seminar untuk menegaskan perannya sebagai motivator pembelajaran bahasa Jawa di tingkat sekolah.

Ambisi itu selaras dengan kebijakan pemerintah untuk melestarikan bahasa Jawa. Selain menjadi muatan lokal di sekolah sejak 2005, bahasa Jawa dianjurkan pemakaiannya untuk urusan pemerintah daerah di Yogyakarta, misalnya. Setahun terakhir, ada kebijakan berbahasa Jawa setiap Sabtu di lingkup kantor pemerintah di Yogyakarta. Kebijakan serupa juga dijumpai pada beberapa wilayah di Jawa Tengah.

Masih untuk edukasi berbahasa Jawa, Djaka Lodang juga berusaha menggaet pembaca generasi muda-selain untuk melanjutkan generasi pembaca. Untuk itu, kemasan pun dibuat segar, misalnya dengan pemuatan tokoh muda di cover. Kini, rasio pembaca generasi tua dan muda sekitar 70 : 30.

Soal menjaring pembaca muda, peluang masih terbuka. Utroq Trie Haryanto, 29 tahun, misalnya, pekerja teknologi informasi di Jakarta, membaca Djaka Lodang sejak sekolah dasar, terus bertahan karena merasa mendapat nilai-nilai menarik dari budaya Jawa. Rubrik favoritnya, "Jagading Lelembut," katanya menyebut rubrik yang menceritakan pengalaman bersentuhan dengan dunia mistis di Djaka Lodang.

Sayang, Utroq sering kesulitan mendapatkan Djaka Lodang di lapak-lapak koran di Jakarta. Sempat mencari informasi berlangganan melalui situs pencari, ia tidak mendapat kejelasan, bahkan update informasinya, enam tahun lalu. "Djaka Lodang harus mengikuti perkembangan teknologi kalau ingin terus bertahan."

Harun Mahbub, Bernada Rurit (Yogyakarta)

sumber foto :Tropenmuseum

sumber artikel http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/08/09/MD/mbm.20100809.MD134273.id.html

Foto Jawa Suriname (1)

| | | 0 komentar








sumber http://commons.wikimedia.org

SURINAME : 120 Tahun Migrasi Suku Bangsa Jawa

| | | 0 komentar
KULI KONTRAK - Perempuan Jawa yang masih ingusan ini ditulis bernama Bok Djojopawiro dari Desa Kretek, Bantoel, Djocja. Ibunya bernama Waginah. Ia diberangkatkan dari Semarang ke Suriname 1 Maret 1920, dan tragisnya setahun kemudian mati di Suriname, 13 Juli 1921.

Konsentrasi terbesar masyarakat suku Jawa di luar Republik Indonesia terdapat di Suriname, Amerika Selatan. Tahun ini, pada tanggal 9 Agustus, merupakan peringatan 120 tahun kedatangan suku bangsa Jawa di Suriname yang kini memiliki populasi 20 persen dari republik berpenduduk setengah juta jiwa itu.

”Kalau tidak ada suku Jawa, tidak ada Suriname. Suriname adalah pelangi tempat tinggal pelbagai suku bangsa. Kelompok terbesar adalah keturunan Afrika dan disusul keturunan India. Kelompok keturunan China, Eropa, dan campuran menempati posisi keempat dari penduduk Suriname,” kata Duta Besar Republik Suriname untuk Republik Indonesia, Angelic Caroline Alihusain-del Castilho, di Jakarta, Rabu (4/8/2010). Kedatangan suku Jawa ke Suriname merupakan takdir sejarah. Menurut Del Castilho, Suriname merupakan wilayah yang bersamaan dengan Pulau Run di Kepulauan Banda diserahkan Inggris kepada Belanda. Sebaliknya, Belanda menyerahkan Manhattan atau Nieuw Amsterdam yang kini dikenal sebagai New York kepada Inggris.

Wanita ini bernama Bok Kartama, usianya 24 tahun waktu diberangkatkan dari Semarang pada tanggal 28 Maret 1919, berasal dari desa bendungan, kroya, cilacap, sayangnya ia meninggal pada tanggal 22 Februari 1923, sebelum menyelesaikan kontraknya yang berawal dari 20 Mei 1919 dan berakhir 20 mei 1924,

Pertukaran itu merupakan hasil Kesepakatan Breda tahun 1667 setelah berakhirnya Perang Inggris-Belanda ke-2. Suriname dikembangkan sebagai pusat perkebunan tebu, kopi, kakao, nila (indigo), dan kapas. Semula, budak didatangkan dari Elmina (pos dagang Belanda) di Afrika Barat.

Seiring penghapusan perbudakan tanggal 1 Juli 1863, pemerintah kolonial mendatangkan buruh migran. Sebelumnya orang Tionghoa didatangkan dari Jawa sejak tahun 1850.

Selanjutnya datang imigran Portugis dari Pulau Madeira serta imigran Lebanon dan Suriah. Namun, mereka segera meninggalkan perkebunan setelah kontrak kerja selesai.

Orang India pun didatangkan tahun 1873 hingga tahun 1917. Lagi-lagi setelah kontrak selesai, mereka meninggalkan perkebunan dan bekerja di bidang lain.

”Akhirnya didatangkan buruh dari suku Jawa. Percobaan pertama dilakukan dengan kedatangan 94 kuli kontrak tanggal 9 Agustus 1890, diangkut kapal Rotterdamsche Lloyd. Seluruhnya terjadi 34 kali pengiriman dengan total migran dari Jawa sebanyak 32.956 orang,” Del Castilho menjelaskan.


Wanita ini bernama Pairah usianya 22 tahun waktu diberangkatkan dari semarang 4 Februari 1920, berasal dari Dusun Remame, Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, dan tidak pulang setelah kontraknya selesai yaitu dari 27 Maret 1920 s/d 27 maret 1925, dan menikah dengan Alimustam, dan mempunyai 6 anak yaitu : Mathilda Sarijem, Mina Ngatinem , Nora Ngadinem, Marwan, Kamit, Ponidjan ,,,


Sebagian besar dari mereka datang dari Jawa Tengah di sekitar Surakarta. Ada pula migran yang datang dari Semarang dan Surabaya. Toekiman Saimbang, seorang diplomat Suriname di Jakarta, mengaku ”si mbah”-nya berasal dari Mojokerto, Jawa Timur. ”Wong Jowo isih isa basa Jawa ning Suriname. Acara selametan, bersih deso lan nanggap wayang isih ana,” kata Toekiman yang menjelaskan masyarakat Jawa Suriname masih memelihara tradisi wayang, bersih desa, selamatan, dan tentu saja berbahasa Jawa pasar yang dikenal sebagai ngoko.



Masyarakat Jawa di sana berbicara dalam bahasa Belanda atau Inggris dalam pergaulan sehari-hari. Sejak kemerdekaan Suriname tahun 1975, banyak warga Jawa yang hijrah ke Belanda.

Mengakar kuat

Eksistensi suku Jawa kini menjadi unsur penting pluralisme di Suriname. ”Sekitar 50 persen kekayaan kuliner Suriname adalah sumbangan masyarakat Jawa. Mereka sudah tidak bekerja lagi di perkebunan. Banyak yang menjadi profesional dan mengisi pos penting di pemerintahan Suriname. Mereka juga memiliki partai politik tersendiri,” kata Del Castilho.

Wanita ini bernama Wagijem, usianya 22 tahun waktu diberangkatkan dari Semarang pada tanggal 19 April 1912, berasal dari tangkisan, berbah, sleman jogyakarta, kembali ke jawa 11 April 1920, setalah menyelesaikan kontraknya yang berawal dari 25 Juni 1912 dan berakhir 25 juni 1917, jadi kalau masih hidup sekarang berumur 120 th


Banyak perempuan Jawa Suriname yang kawin campur dengan suku bangsa lain. Semua proses berlangsung alamiah.

Toekiman Saimbang dengan bangga mengatakan, dalam kabinet Suriname mendatang, nama empat atau lima menteri suku Jawa dari 17 pos di kabinet baru sudah disebutkan.

Pelbagai desa dan permukiman suku Jawa kini tersebar luas di Suriname, yang memiliki luas lebih dari dua kali Pulau Jawa.

Menjelang peringatan 120 tahun kedatangan suku Jawa di Suriname, pelbagai acara kesenian digelar oleh masyarakat Jawa, yang dibantu oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Suriname. Puncak acara digelar tanggal 9 Agustus di Sasana Budhaya di Paramaribo. (Iwan Santosa)

sumber kompas dan sumber lainnya

Kisah Pilu Jawa Suriname

| | | 0 komentar
Kedatangan Soeleika Karso ke pulau Jawa yang pertama kali meninggalkan kesan mendalam. Sepanjang perjalanan ketika menapakan kaki di tanah Jawa ia tersentuh dan meneteskan air mata.“ Setelah mengunjungi Magelang, Salatiga dan Semarang saya merasa 200 persen orang Jawa sekarang. Saya merasa juga bagian dari Indonesia,” ujarnya.

Memulai cerita tentang Soleika Karso saya memulai dari sebuah tempat ribuan kilometer dari Kepulauan Nusantara, tepatnya di Amerika Selatan terdapat sebuah negara kecil bernama Suriname, bekas koloni Belanda di utara Brasil di pantai Karibia. Di negara kecil tersebut saat ini lebih dari 70.000 orang warga keturunan Jawa tinggal.

Jauh sebelum mengenal Soleika sepenggal peristiwa di masa lalu tentang Suriname menginspirasi saya menulis sebuah cerita pendek yang berlatar belakang peristiwa tersebut. Dari hal itu juga akhirnya saya berkenalan dengan beberapa orang keturunan Jawa Suriname melalui dunia maya. Dari merekalah saya mendapat cerita banyak mengenai kisah memilukan ini.

Kedatangan orang Jawa di Suriname bermula dari peristiwa hampir 33.000 orang Jawa yang bermigrasi. Mereka datang lewat Badragumilang (program bedhol desa ke Suriname) diangkut dengan kapal laut menyeberang ke sebuah negara yang sangat jauh. Mereka dibawa mernyeberangi Samudera Pasifik, ke sebuah tempat baru di daerah benua Amerika yang bernama Suriname.

Mereka tiba pada periode 1890-1939. Mereka berasal dari Jawa Tengah dan daerah sekitar Batavia, Surabaya dan Semarang. Dengan bekal janji-janji dan harapan akan perubahan nasib selepas selesainya kontrak mereka rela pergi jauh meninggalkan tanah kelahirannya. Sebagian besar dari mereka dibawa ke daerah-daerah perkebunan, pabrik dan industri lain di negara yang juga dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda itu. Menurut kontrak mereka tertulis pihak perkebunan sebenarnya harus menyediakan perumahan gratis bagi mereka namun yang mereka dapatkan seringkali di bawah standar.

Dari imigran generasi pertama ini tak semua menetap disana. Ada yang kembali ke tanah air sebelum terjadinya Perang Dunia II namun jumlahnya 20 hingga 25 persen dari migran Jawa. Sebagian besar migran menetap di Suriname. Data-data mengenai buruh perkebunan yang didatangkan dari Jawa bisa dilihat di situs ini. Di sini bisa dilacak nama, asal daerah, nama orang tua, usia, kapal yang membawa mereka dan data-data yang lain.

Melalui Sebuah Milis

Saya mengenal Soeleika Karso dua tahun yang lalu dari sebuah milis komunitas Jawa yang tinggal di negeri Belanda. Selepas itu saya sering bercakap-cakap menggunakan fasilitas Yahoo Messanger. Dari situ juga saya mengenal dengan beberapa nama lain yang juga berasal dari Suriname dan memiliki kisah yang serupa.

Soeleika Karso kini tinggal di Kota De Amelo Belanda. Ia merupakan generasi ketiga pendatang Suriname dari Jawa. Leluhur Soeli berasal dari sebuah daerah di Salatiga (Jawa Tengah).”Bapak asli Salatiga sedangkan ibu asli Magelang,”ujarnya.

Nenek Soeli bernama Soemirah. Menurut cerita Soeli kedatangan neneknya ke Suriname sekitar tahun 1920, tepatnya tanggal 4 Februari 1920. Sebelum ke Suriname Nenek dan Kakek Soeli merupakan suami istri yang bematapencaharian sebagai petani. Mereka memiliki seorang anak bernama Anak karso.

Soemirah pergi ke Suriname tanpa sepengetahuan Karso. Waktu itu Karso berumur sekira 26 tahun tengah menggarap sawah. Soemirah waktu itu berumur 25 tahun dan Anak Karso berumur 6 tahun
Anak beranak Ibu Soemirah dan Anak Karso dibawa paksa oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Suriname. Mereka dibawa paksa oleh penyalur tenaga kerja ketika mereka berdua hendak pergi ke pasar. Mereka diangkut bersama orang Jawa dari berbagai daerah dengan menggunakan kapal.

Soemirah tak bernasib baik seperti rekan-rekannya yang bisa kembali ke tanah air. Ia menetap bersama Anak Karso. Anak Karso tumbuh dewasa disana, hingga berkeluarga dan menikah dengan gadis sesama keturunan Jawa di Suriname. Dari hasil pernikahan tersebut tahun 1947 lahir anak perempuan yang ia beri nama Soeleika Karso.

Soeleika Karso yang setelah berkeluarga serta kematian Soemirah dan bapaknya anak Karso dan ibunya, kemudian pindah dari Suriname ke Negeri Belanda hingga sekarang. “My sedulur balik from Suriname to Pekanbaru akeh,” ujarnya dengan bahasa yang campur aduk.

Soeleika sudah lebih dari 30 tahun tinggal di Belanda. Meskipun begitu kenangannya akan Suriname masih ada. Ia masih bisa mengingat berbagai hal mengenai cara mereka bicara dan asal mereka. “Neng Suriname akeh banget wong jowo soko : Yogja,Magelang,Salatiga,Semarang,Wonogiri,” ujar Soelikarso.

Menurut Soeleika kebanyakan masih bisa menguasai Bahasa Jawa namun bukan menggunakan Krama Inggil dan hanya menggunakan Ngoko. Selepas pindah ke Belanda Soelikarso sebelumnya sudah 32 tahun tak pernah menggunakan bahasa Jawa. Hingga suatu waktu di hendak berlibur ke Indonesia kursus bahasa Jawa selama 6 bulan. “ Bar kursus terus iso omong maneh ,sedikit,” ujarnya.

Kedatangan Soeleika ke pertama kali ke pulau Jawa begitu berkesan. Sepanjang waktu ia meneteskan air mata. “ Setelah mengunjungi Magelang, Salatiga dan Semarang saya merasa 200 persen orang Jawa sekarang. Saya merasa juga bagian dari Indonesia,” ujarnya.

Kini masih ada satu impian Soeleika. Di masa tuanya ia ingin berjumpa saudara dari Kakeknya di Salatiga. Namun itu bukanlah hal yang mudah. Sejak kepergian nenek Soemirah dan Anak Karso ke Suriname, sampai akhir hayatnya tak pernah terjalin komunikasi diantara mereka.

Hingga sekarang saya masih berkomunikasi dengan Soeleika. Cerita tentang dirinya yang tengah mencari leluhur bahkan sempat ada di surat pembaca beberapa surat kabar namun sebulan lalu ketika saya tanyakan hasilnya ternyata belum ada. Sesuai dengan janji saya untuk membantu artikel ini saya tulis dengan harapan ada setitik informasi mengenai keberadaan keluarga Soeleika.

Tanah Jawa, 12 Mei 2010

Fathoni Arief

sumber http://sosbud.kompasiana.com/2010/05/12/kisah-pilu-jawa-suriname/

Menelusuri Jejak Imigran Jawa di Suriname

| | | 0 komentar
WAJAH Sidin pada pas foto di surat kesehatannya terlihat gagah. Pemuda asal Pekalongan itu menggunakan ikat kepala kain khas pemuda daerah pesisir Jawa, tidak berbaju dan bercelana putih.

Dalam foto tahun 1908 yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk pelengkap surat kesehatan sebagai syarat mengiriman Sidin ke Suriname itu dia berpose duduk santai dengan tangan di atas paha.

Bagi cucu Sidin, foto itu mempunyai arti penting dan bersejarah.
Maurit S Hassankhan/Sandew Hira memuat foto Sidin itu dalam buku Historische Database Van Suriname, Gegevens Over de Javaanse Immigranten (Data Sejarah Suriname, Data Imigrasi Orang Jawa) yaitu buku yang berisi data para imigran Jawa ke Suriname.

Buku yang terbit atas gagasan Amrit Consultancy dan Institut Riset Ilmu Sosial Universitas Suriname itu secara menakjubkan berhasil memuat lengkap data menyangkut 32.965 orang Jawa yang 114 tahun lalu menjadi pekerja dan bermigrasi ke Suriname.

Dalam rencana semula buku itu sebenarnya untuk memuat data imigran Hindustani ke Suriname, namun saat proyek berjalan muncul ide untuk memasukkan pula data jati diri orang-orang Jawa yang dikirim pemerintah Kolonial Belanda ke daerah jajahannya, Suriname, sejak 9 Agustus 1890 hingga 13 Desember 1939.

Pada periode itu terdapat 32.965 orang Jawa yang di kirim ke Suriname, suatu negara koloni kecil di Amerika Selatan.

Para pekerja asal Jawa itu pada 1890-1914 di berangkatkan dari Jawa dalam kelompok-kelompok kecil dari daerah pemberangkatan mereka dari Jakarta (Batavia) dan Semarang.

Di suriname mereka dipekerjakan di ladang dan pabrik perkebunan tebu, kopi, cokelat dan lainnya. Hanya pada angkatan ke 77 pada tahun 1904 mereka dipekerjakan dalam pembuatan jalan kereta api.

Selama perang Perang Dunia I para imigran Jawa itu juga ada yang dipekerjakan di tambang bauksit di Moengo, Suriname.

Dalam data yang tercantum pada buku itu dimuat nama imigran, nama orang tua, jenis kelamin, usia saat diberangkatkan, hubungan keluarga dengan pekerja lainnya, tinggi badan, agama (semua disebutkan Islam), tempat tinggal terakhir, tempat keberangkatan, tanggal tiba di Suriname, lembaga perekrut, perusahaan yang mempekerjakan, daerah tempat bekerja di Suriname, nomer kontrak dan keterangan perubahan jika ada.

Mereka dikontrak untuk bekerja selama lima tahun, tetapi kenyataannya sebagian besar dari mereka terpaksa bekerja seumur hidupnya.
Dalam buku itu disebutkan hingga pada tahun 1954 sekitar 8.684 (26 persen)imigran tersebut sudah dikembalikan ke kampung halaman masing-masing.

Mereka yang ingin tinggal menjadikan Suriname sebagai kampung halaman, tetapi disebutkan pula ada sebagian orang yang memilih menjadi warga negara Belanda ketika Suriname menjelang merdeka (1965) karena ingin mendapatkan tunjangan sosial.

Kisah Suwarto Mustaja, tokoh masyarakat Jawa Suriname, bisa menjadi contoh.
Suwarto salah seorang keturunan para imigran Jawa pada saat muda gigih berjuang bersama orang tua dan masyarakat Jawa lainnya untuk mendapatkan hak mereka agar bisa dikembalikan ke Indonesia, tetapi ketika pemerintah Belanda mengijinkan mereka pulang, ibunya justru menangis dan memilih untuk tetap tinggal di Suriname.

"Di sini kamu (Suwarto) lahir dan di sini aku akan tinggal," kata Ibu Suwarto dengan linangan air mata.

Dengan berat hati Suwarto muda akhirnya memilih untuk tetap tinggal di Suriname, meskipun bapaknya mendesaknya agar kembali ke Indonesia.
Meski pahit hidup di perkebunan di Suriname, terpaksa mereka terima apa adanya.

Kini keturunan mereka tidak lagi bekerja di perkebunan milik perusahaan Belanda seperti orang tuanya karena perusahaan perkebunan Belanda sudah tutup atau bangkrut.

Sebagian kecil dari mereka yang mendapatkan ‘kebebasan’ itu beralih profesi menjadi pedagang dan ternyata meraih sukses, bahkan ada yang mampu mendapat pemasukan bersih US$20.000 per bulan seperti yang dialami Wilem Sugiono.

Tetapi, ada banyak pula bekas imigran dan keturunannya yang masih tetap berladang di tanah seluas 1,25 hektar dengan beragam tanaman.
Jenifer, ibu seorang anak relatif beruntung dibandingkan keturunan imigran Jawa lainnya.

Perempuan yang bersuamikan pria bernama Azis itu mengelola kafe kecil di samping hotel meiliknya.

"Saya hanya bisa sedikit berbahasa Jawa," katanya dalam bahasa Inggris yang fasih.

Di samping bahasa Inggris, dia juga fasih berbahasa Belanda, sebagaimana sebagian besar orang keturunan Jawa lainnya.

Dengan memiliki hotel berbintang dua, cafe dan kompleks perbelanjaan dia terlihat hidup nyaman di Paramaribo, ibukota Suriname.

Paramaribo adalah kota kecil, dibandingkan kota di Indonesia, tetapi kota itu terlihat eksotik dengan gedung-gedung peninggalan Belanda yang memenuhi kota.

Tonggak hubungan
Kedubes RI di kota itu sejak 1980 hingga sekarang berusaha menjaga hubungan baik dengan Suriname, terutama dengan warga Jawa dan keturunannya yang kini berjumlah 74.760 (17,8%) dari 481.146 penduduk Suriname.

Tonggak hubungan baik itu terlihat pada pendirian Gedung Sono Budoyo pada 1990 yang mendapat bantuan dari Soeharto, Persiden RI pada masa itu.
Gedung disertai sebuah tugu yang dibangun pada tahun 1990 itu sekaligus untuk memperingati 100 tahun kedatangan orang Jawa di Suriname.

Pada tahun 2005, di suriname akan diadakan peringatan tahun ke-115 kedatangan orang Jawa di negara yang merdeka pada 25 November 1975 itu.
Pemerintah Indonesia dan Suriname melanjutkan tradisi bersahabat dengan mengadakan sejumlah pertemuan, diantaranya pertemuan Komisi Bersama Bilateral I RI-Suriname yang berlangsung di Paramaribo pada 03-05 April 2003.
Pada 22 November 2004 diadakan sidang lanjutan di Jogjakarta. Pada pertemuan kedua itu disepakati adanya sejumlah kegiatan diantaranya pelatihan di bidang otomotif bagi warga Suriname yang akan dilaksanakan di Indonesia pada 2005.
Indonesia juga akan mengundang pembicara dari Suriname untuk membahas peringatan 115 tahun imigrasi orang Jawa ke Suriname dan 100 tahun pelaksanaan transmigrasi di Indonesia.

Dalam pertemuan Direktur Pemukiman Kembali Ditjen Mobilitas Penduduk Depnakertrans Sugiarto Sumas dengan Menteri Perencanaan dan Kerjasama Pembangunan Suriname Keremchand Raghoebarshing dan Menteri Perburuhan, Pengembangan Teknologi dan Lingkungan Clifford Marica di Paramaribo terungkap keinginan kedua pihak untuk mengadakan lebih banyak kegiatan.
Diantaranya, pengiriman tenaga ahli dari Indonesia untuk melatih tenaga Suriname di berbagai bidang diantaranya pertanian, pariwisata, agribisnis, agroindustri dan pengelolaan hutan.

Suriname juga sangat berminat untuk mempelajari cara Indonesia mengembangkan daerah produktif baru untuk perkebunan atau pengembangan suatu wilayah.

Komisi bersama, sebenarnya sudah membahas berbagai bidang kerja sama kedua negara, seperti pertukaran pengalaman pembangunan nasional, meningkatkan perdagangan kedua negara, investasi, angkutan udara, turisme, kerja sama di bidang teknis, bantuan di bidang pelatihan, pendidikan, beasiswa non geloar, kerja sama di bidang komunikasi dan informasi, pencegahan kejahatan, pertahanan, dan sejumlah isu lainnya.

Kerinduan para imigran dan keturunannya akan budaya Jawa juga terungkap dalam pertemuan masyarakat keturunan imigran Jawa dengan Dubes RI Suparmin Sunjoyo dan Sugiarto Sumas di Distrik Wanica, dekat dari Paramaribo.
Sarmo, seorang warga keturunan Jawa pada kesempatan itu mendesak agar Indonesia segera megirim Guru Bahasa Jawa, Dalang, dan pengajar tari untuk mereka.

Dia juga mengharapkan Indonesia bisa mengirim pakar pertanian. Sementara keluarga imigran lainnya menagih janji pengiriman guru pencak silat.
Suparmin menjawabnya dengan simpati.

"Saya sudah bertemu dengan Sultan HB X, beliau menyangupi untuk mengirim guru bahasa Jawa, dalang dan guru tari. Jadi, saya sudah berusaha mewudjukan keinginan tersebut sebelum Pak Sarmo memintanya," kata Suparmin lalu disambut tepuk tangan hadirin.

Mengenai, permintaan guru pencak silat, Dubes juga sudah membicarakannya dengan Prabowo, tokoh pencak silat Indonesia, sedangkan untuk penyediaan tenaga ahli pertanian, Suparmin akan membicarakannya dalam pertemuan lanjutan ketiga Komisi Bersama kedua negara dalam waktu dekat.
Interaksi Indonesia dan Suriname bisa tergambar pada antusiasme dan desakan Sarmo dan kawan-kawan akan peningkatan keterlibatan Indonesia dalam sendi-sendi kehidupan mereka.

"Indonesia adalah saudara kulo. Negara mbah kulo," kata Sarmo.
Sarmo dan kawan-kawan memang "saudara" bagi orang Indonesia, meski berlainan kewarganegaraan. (Ant/O-2

Migrasi Pecel dan Teklek

| | | 0 komentar
Wanita ini bernama Soemirah, usianya 25 tahun waktu diberangkatkan dari Semarang pada tanggal 4 Februari 1920, berasal dari salatiga , kontraknya yang berawal dari 27 Maret 1920 dan berakhir 27 Februari 1925, sampai sekarang tidak di ketahui keberadaannya.............

PECEL, dawet atau cendol, bahkan teklek alias terompah kayu itu telah menyatu dalam kehidupan rakyat Suriname. Dalam proses integrasi rupanya rakyat tidak perlu indoktrinasi yang muluk-muluk.

Tahoe lontong, tjenil, nogosari, nemet, dan mendoot. Itulah menu Waroeng Tante Pon yang buka di ajang Indo-Fair di Paramaribo, Suriname. Penganan itu merupakan jajan pasar, makanan rakyat yang banyak dijumpai di Jawa dan populer di Suriname.

Memang tidak susah mencari masakan atau makanan Jawa di Suriname. Masuk saja ke sembarang ”waroeng”— sebutan untuk tempat makan di Suriname. Dan kita akan menemukan menu seperti pitjel atawa pecel, nasi goreng dan bakmie goreng, saoto, sate pitik (ayam), sampai minuman dawet alias cendol.

”Tiyang cemeng nggih jajan pitjel wonten mriki. Nggih remen kok—orang kulit hitam juga makan pecel di sini. Suka juga kok,” kata Markati (62), pemilik Waroeng Toeti di Tamanredjo, daerah setingkat kecamatan di Distrik Commewijne, Suriname.

Rombongan delegasi Kebudayaan Indonesia yang datang ke Suriname pada akhir September lalu penasaran dengan rasa pitjel ”van” Suriname itu. Mereka mampir ke Waroeng Toeti dan rupanya rasanya sami mawon. Unsur pitjel tak beda dengan pecel yang banyak dijual di Indonesia, seperti bayam, taoge, dan kacang panjang plus lumuran sambal kacang.

Markati yang pensiunan pekerja perkebunan kebun tebu Marienberg itu juga menyediakan saoto dan dawet. Waroeng Toeti juga menyediakan singkong rebus yang biasa disantap bersama ikan asin.

Toponimi

Jejak rasa Jawa juga terlihat dari nama-nama tempat. Kompas menyusuri wilayah setingkat kecamatan di Suriname yang menggunakan nama Jawa, yaitu Koewarasan. Wilayah ini dulu merupakan kawasan perkebunan yang banyak mempekerjakan imigran asal Jawa. Di jalan tanah berdebu, kami melewati jalan-jalan dengan nama berbau Jawa, seperti Sastrodisoemoweg, Poerworedjoweg, Poerwodadiweg, sampai Malangweg.

Koewarasan memang merupakan wilayah yang banyak dihuni warga Suriname keturunan Jawa. Kesenian Jawa banyak terdapat di sana, seperti kelompok jaran kepang atau kuda lumping bersama Trimo Budi Sangtoso. Ada pula kelompok ludruk dan dalang wayang kulit.

Begitu juga di Distrik Commwijne, terdapat satu wilayah ”kekuasaan” Jawa.

Di antara wilayah yang berbau Belanda, seperti Alkmaar, Nieuw Amsterdam terselip nama kecamatan yang sangat Jawa, yaitu Tamanredjo.

Sesuai nama, Tamanredjo memang banyak dihuni warga keturunan Jawa, termasuk keluarga Wagiman Amatmarto (68), generasi pertama yang lahir di Suriname. Orangtua Wagiman adalah pasangan Amatmarto dan Ngadirah yang berasal dari Purworejo, Jawa Tengah, yang bekerja di perkebunan tebu milik perusahaan gula Marienburg milik Nederlandse Handelsmaatschappij. Pada tahun 1890 perusahaan tersebut melakukan eksperimen dengan mendatangkan tenaga dari Jawa. Dari komunitas keturunan Jawa itulah muncul nama Tamanredjo.

Di Tamanredjo, Kompas menjumpai anak-anak yang cukup fasih berbahasa Jawa, seperti Steven Kartotaroeno (12) dan Murcelino Doelman (11). Mereka sedang penek'an atau bermain memanjat pohon.

Dan asal tahu, kepala pemerintahan Commewijne berdarah Jawa, yaitu Humprey Soekimo yang fasih berbahasa Jawa. Kebetulan Commewijne dan Yogyakarta sejak tahun 2009 menjalin kerja sama sebagai kota kembar, sister city.

Jangan kaget jika di ibu kota Distrik Commewijne, yaitu Niew Amsterdam, terdapat monumen berupa teklek atau bakiak alas kaki dari kayu dengan pengait terbuat dari karet ban bekas. Secara onomatopis, menurut telinga orang di Belanda, teklek dinamai tip-tip. Monumen didirikan untuk memperingati kedatangan 94 imigran pertama dari Jawa pertama, 9 Agustus 1890, dengan kapal Prins Willem II.

”Pada saat itu sepatu sangat mahal. Maka teklek telah terintegrasikan ke kelompok etnis lain, seperti kreol dan hindustan”. Demikian tertulis dalam monumen teklek di depan kantor Distrik Commewijne.

Integrasi

Begitulah teklek dengan cepat beralih menjadi alas kaki kelompok etnis lain saat itu. Saat ini, nama-nama seperti Tamanredjo, Koewarasan bukan lagi nama asing bagi seluruh warga Suriname. Nama-nama Jawa itu menjadi bagian tak terpisahkan dari Suriname. Diam-diam integrasi telah terbentuk di berbagai lini, termasuk juga kuliner.

”Kini saoto, pitjel, bakmie goreng bukan lagi menjadi masakan Jawa saja, tetapi telah menjadi national dishes— masakan nasional,” kata Stanley Sidoel, Direktur Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Republik Suriname, yang kebetulan bernenek moyang dari Solo dan Gunung Kidul.

Kuliner itu menjadi contoh sederhana bagaimana sesuatu itu menjadi milik bersama. Kami sedang dalam proses national building,” kata Sidoel yang ditemui Kompas di ruang kerjanya di Paramaribo yang terbuat dari kayu.

Kuliner seperti pitjel dan dawet yang menjadi makanan rakyat di negoro jowo itu rupanya telah berintegrasi ke dalam sebuah bangsa multietnis Suriname. Pada setiap pesta, pitjel selalu dihidangkan selain juga masakan asal India.

”Integrasi makanan sudah berjalan jauh di Suriname. Tak ada orang di sini yang tidak kenal pitjel, bakmie, dawet. Etnis mana saja tahu itu,” kata Bob Saridin, pemuka masyarakat Suriname keturunan Jawa yang pernah menjadi ketua Vereniging Herdenking Javanese Immigratie (VHJI) atau perhimpunan mengenang imigrasi Jawa. Bob mengakui, Suriname tidak memiliki budaya asli. ”Semua impor,” kata Bob yang fasih berbahasa Indonesia.

”Dalam integrasi, kami menampilkan budaya Jawa supaya etnis lain mempunyai pengalaman dengan budaya Jawa sebagai bagian dari budaya Suriname,” kata Bob.

Jangan heran jika orang Suriname suka nonton jaran kepang atau kuda lumping. Atau malah nyanyi lagu campursari ”Ing Setasiunn Balapan”-nya Didi Kempot. (xar)

Sumber: Kompas, Minggu, 10 Oktober 2010

"At The Beginning, Ora Kerasan..."

| | | 0 komentar
Pembauran warga keturunan Jawa diakui sebagai proses yang tidak mudah. Menteri Dalam Negeri Suriname Soewarto Moestadja, keturunan Jawa generasi kedua yang lahir di Suriname, mengisahkan bagaimana kakeknya harus melawan rasa keterasingan sebagai manusia di negeri asing yang kangen tanah leluhur.
”At the beginning, ora kerasan. Ora seneng, Pada mulanya (mereka) tidak kerasan, tidak senang,” kata Moestadja dalam bahasa gado-gado Inggris dan Jawa. Dia menerima kunjungan delegasi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Kementerian Luar Negeri Indonesia di Kantor Kementerian Dalam Negeri Suriname di Paramaribo.
Moestadja menuturkan, kakeknya berpikiran, daripada menjadi budak di Suriname, mereka lebih baik mati kelaparan di Jawa.
”Mbiyen, pikirane awake dhewe neng kene mung nunut, ora duwe rasa nduweni (dulu pikiran mereka di sini— Suriname—hanya menumpang, tidak punya rasa memiliki,” tutur Moestadja yang kakeknya berasal dari Kalirancang, Alian, Kebumen, Jawa Tengah.
Generasi baru Suriname yang telah berpendidikan telah berubah sikap dan pandangan tentang wajah Suriname sebagai bangsa, termasuk generasi Moestadja. ”Namun, kami bertahan hidup untuk menjadikan Suriname sebagai tanah air baru,” kata Moestadja yang adalah juga seorang antropolog.
Hampir seluruh generasi baru Suriname berpandangan seperti itu. Kim Sontosoemarto (50) yang kini menjadi ketua VHJI menuturkan, perkumpulannya nguri-uri, memelihara unsur kebudayaan dari Jawa, seperti tari, musik, dan kuliner, sebagai bagian dari kebudayaan Suriname. VHJI sebagai perkumpulan berbasis komunitas keturunan Jawa mencanangkan program Van imigratie tot integratie—dari imigrasi ke integrasi.
”Tanpa kebudayaan dari Jawa, tidak akan ada kebudayaan Suriname. Begitu juga, tanpa kebudayaan Hindustan, Kreol, dan lainnya tak akan ada budaya Suriname,” kata Kim yang leluhurnya berasal dari Solo.
”Kami dari muda tumbuh bersama, sekolah bersama, hidup bersama dengan saudara dari berbagai etnis. Kami tidak terpisah-pisahkan lagi. Sekarang ini kami hampir terlebur,” kata Kim yang ditemui Kompas di belakang panggung Sana Budaya, Paramaribo, tempat digelar pekan IndoFair.
”Dan, kami, setiap etnis di Suriname, tak merasa sebagai minoritas.” (XAR)

sumber kompas

Menelusuri Jejak Saudara di Suriname

| | | 0 komentar
Oleh Rz. Subagiyo

"Aku durung tahu neng Jowo nanging, jarene mbahku seka Pengging, Banyudono, Boyolali. Ndhisik tekan kene digowo Londo dadi kuli kontrak," kata Sadiran Nojoredjo, kakek 73 tahun warga negara Suriname keturunan Jawa.

Artinya, "Saya belum pernah ke Jawa, tapi katanya, kakek saya berasal dari Pengging, Banyudono, Boyolali. Dulu dibawa ke sini oleh Belanda sebagai kuli kontrak."


"Mereka juga dijanjikan gaji sebesar 35 sen sehari dengan jam kerja 12-13 jam. Namun, semua itu tidak pernah ditepati oleh Pemerintah Belanda," katanya.

Itulah sepenggal cerita yang dikisahkan Sadiran Nojoredjo, kakek 73 tahun, warga negara Suriname keturunan Jawa mengenai leluhurnya yang merupakan salah satu dari ribuan tenaga kerja perkebunan yang didatangkan Belanda 120 tahun lalu.

Pada 1890 untuk pertama kalinya kaum imigran dari Jawa (etnis Jawa) menjejakkan kaki di benua Amerika tepatnya di Suriname, sebuah negara di kawasan Amerika Selatan yang jaraknya dari Indonesia memerlukan waktu tempuh sekitar 21-23 jam dengan pesawat terbang saat ini.

Kedatangan imigran Jawa ke Suriname terbagi tiga tahap, yakni pada 1890 tepatnya pada 9 Agustus di kawasan Marienburg, sebagai daerah tempat pendaratan pertama kali orang Jawa ke negara yang juga disebut Guyana Belanda itu.

Hampir 33.000 orang Jawa bermigrasi ke Suriname pada periode 1890-1939. Jawa Tengah dan daerah dekat Batavia (Jakarta), Surabaya, dan Semarang merupakan daerah perekrutan utama. Hanya 20 hingga 25 persen dari migran Jawa kembali ke negara asal mereka sebelum Perang Dunia II.

Sadiran menceritakan, sering kali orang-orang Jawa, pada umumnya masih pemuda, yang dibawa Belanda ke Suriname bukan atas kemauan ataupun kesadaran sendiri, melainkan—menurut istilah mereka—"diwereg" atau ditipu oleh para agen pencari budak.

"Tak jarang anak-anak itu sedang bermain-main di luar rumah kemudian didatangi seseorang, mereka diajak bicara-bicara dan seperti terkena hipnotis menurut saja," kata Sadiran dengan menggunakan bahasa Jawa.

Kisah tersebut diamini oleh Bob Saridin, salah satu pengusaha Suriname keturunan Jawa yang menyebutkan para pemuda dari Jawa tersebut oleh Belanda dikatakan akan dipekerjakan di "tanah seberang" (istilah masyarakat Jawa untuk wilayah luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, ataupun Sulawesi).

Namun, tanpa sepengetahuan mereka, imigran Jawa tersebut diangkut ke wilayah koloni Belanda di kawasan Karibia dengan menggunakan kapal laut yang kondisinya memprihatinkan sehingga tak jarang ada yang mengalami sakit di perjalanan bahkan meninggal di atas kapal.

Pemerintah Belanda menjanjikan para pekerja dari Jawa tersebut akan dikontrak selama lima tahun dan setelah selesai kontraknya sebagai pekerja perkebunan akan dipulangkan ke tanah Jawa kembali.

"Mereka juga dijanjikan gaji sebesar 35 sen sehari dengan jam kerja 12-13 jam. Namun, semua itu tidak pernah ditepati oleh Pemerintah Belanda," katanya.

Bahkan, Belanda menetapkan peraturan yang amat ketat bagi para pekerja perkebunan dari Jawa, yakni dilarang keluar dari kawasan perkebunan, jika diketahui melanggar aturan tersebut, dikenakan sanksi dan denda.

Oleh karena itu, tak jarang banyak pekerja dari Jawa yang kehabisan gaji untuk membayar denda karena ketahuan keluar dari kawasan perkebunan dan akhirnya tidak mampu menabung untuk bisa kembali ke Jawa.

Keinginan warga Jawa yang berada di Suriname untuk kembali ke kampung halaman mereka di tanah Jawa begitu besar, tetapi harapan tersebut selalu kandas bahkan ketika Indonesia sudah merdeka pada 1945 hambatan itu masih ada.

Ketika para pemimpin politik Indonesia datang ke Suriname keinginan untuk kembali ke Tanah Air itu disampaikan, tetapi tidak juga membuahkan hasil, meskipun mereka memiliki paspor Indonesia.

Pada 1954 sekitar 1.000 orang keturunan Jawa di Suriname mencoba untuk kembali ke Tanah Air, tetapi kapal yang mereka tumpangi tidak sampai ke Jawa, hanya di Sumatera sehingga mereka akhirnya menetap di Sumatera.

Setelah 1950-an warga Jawa yang ada di Suriname sadar bahwa mereka tidak bisa kembali ke Indonesia. Hingga 1975 kesadaran politik dan pendidikan mulai tumbuh di kalangan warga keturunan Jawa.

Mereka yang sebelumnya warga negera Belanda akhirnya memilih untuk menjadi warga negara Suriname guna menjalani kehidupan yang baru dan lebih baik.

Dari tahun ke tahun, warga Jawa di Suriname mengalami perkembangan, baik jumlahnya maupun peran mereka, dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Saat ini, dari sekitar 500.000 jiwa penduduk Suriname, etnis Jawa sekitar 15 persen atau 71.900 jiwa sedangkan mayoritas dari suku Hindustan, yakni 135.000 orang, diikuti oleh Afro-Suriname (87.500), Maroon (72.600), dan sisanya etnis lain.

Menunjukkan kiprah
Di bidang politik, sejak 1980 warga Suriname keturunan Jawa, terutama yang berpendidikan tinggi, sudah menunjukkan kiprahnya di bidang politik dan pemerintahan, dan saat ini terdapat enam menteri dalam anggota kabinet Suriname.

Keenam orang menteri tersebut, yakni Menteri Perdagangan dan Industri, Micheal Miskin; Menteri Dalam Negeri, Soewarto Moestadja; Menteri Pertanian, Peternakan dan Perikanan, Hendrik Setrowidjojo; Menteri Tenaga Kerja, Pengembangan Teknologi dan Lingkungan Hidup, Ginmardo Kromosoeto, Menteri Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat Raymond Sapoen serta Menteri Sosial dan Perumahan Rakyat Hendrik Sorat Setro Wijojo.

Selain itu juga Kepala Kepolisian Suriname H Setrosentono serta mantan Ketua Parlemen Suriname Paul Salam Sumohardjo.

Tak hanya dalam jajaran pejabat politik pemerintahan, tetapi beberapa jejak yang tertinggal dari masyarakat keturunan Jawa di Suriname bisa terlihat dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.

Salah satu jejak yang masih terlihat jelas eksistensi keturunan Jawa di Suriname, yakni nama-nama jalan terutama di kampung-kampung, seperti Wagiran Weg (weg artinya jalan), Sastroredjo Weg, Purwodadi Weg, Sidodadi Weg yang semuanya merujuk pada nama orang ataupun tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Bukan hanya nama-nama jalan, melainkan jenis-jenis makanan asal Jawa juga masih terlihat di negara tersebut, seperti petjel (pecel), saoto (soto), tjenil (cenil, yakni salah satu jenis jajanan pasar), lontong djangan (lontong sayur), bami (bakmi), ketan, guleh (gule).

Untuk sebutan toko ataupun rumah makan, warga Suriname keturunan Jawa menggunakan istilah "warung" misalnya Warung Gulo, Warung Budi Rahaju, Warung Sabar, Warung Tante Pon, ataupun Warung Om Djon. Salah satu rumah makan yang sangat terkenal dengan menu-menu masakan Jawa, yakni Warung Toeti.

Nama-nama orang meskipun masih menggunakan nama Jawa, tetapi umumnya sudah digabung dengan nama-nama barat, seperti Stanley Sidoel, Alfons Satropawiro, Bob Saridin, Hendrik Legiman, Kim Sontosoemarto ataupun Sharon Pawiroredjo.

Seni dan budaya dari Jawa yang masih berkembang di Suriname seperti tari-tarian, kesenian djaran kepang (kuda lumping), ludruk, reog ataupun kabaret, yakni semacam ludruk yang pemainnya semuanya laki-laki, termasuk untuk memerankan tokoh perempuan.

Meskipun kebudayaan Jawa di negara yang multietnis tersebut, terdiri dari suku Hindustan (India), Kreol dan Bushnegro (Afrika), Jawa (Indonesia), Amerindian, China dan etnis lainnya, itu masih berkembang, teapi bahasa Jawa justru sudah tidak lagi mendominasi percakapan sehari-hari.

Bahasa nasional Suriname, yakni bahasa Belanda, sehingga tidak mengherankan jika keturunan Jawa, terutama kaum muda, sudah tidak bisa lagi berbahasa moyangnya.

Jika tidak menggunakan bahasa Belanda, dalam pergaulan, kaum muda lebih banyak menggunakan bahasa "taki-taki" yakni bahasa Inggris pasaran yang hanya terdapat di Suriname.

Meskipun demikian, di negara tersebut terdapat tiga stasiun televisi dan radio yang menayangkan siaran berbahasa Jawa, yakni TV Garuda, TV Mustika, dan TV Pertjajah serta Radio Garuda, Radio Mustika, dan Radio Pertjajah yang semuanya milik keturunan Jawa.

Lagu-lagu berbahasa Jawa, baik dari Indonesia maupun asli karya seniman-seniman musik Suriname, masih berkembang di sana dan disukai kaum muda, meskipun mereka mengakui hanya sedikit-sedikit kemampuan berbahasa Jawa.

Gedung Sana Budaya merupakan satu-satunya gedung kesenian di Suriname yang sering dimanfaatkan untuk mementaskan seni dan budaya Jawa, seperti wayang orang, sendratari, ludruk, ataupun lagu-lagu berbahasa Jawa (campur sari), baik oleh penyanyi setempat di antaranya yang terkenal Edward Kasimun dan Maruf Amastam; termasuk juga dari Indonesia, seperti Didi Kempot, Yan Velia, Mus Mulyadi, Verina, dan lain-lain.

Masyarakat Suriname keturunan Jawa saat ini kini memiliki perkumpulan, yakni Vereniging Herdeking Javaanse Immigratie (VHIJ) atau Persatuan Mengenang Imigrasi Warga Jawa di Suriname didirikan pada 15 Januari 1985.

Budaya ataupun masyarakat Jawa (keturunan) memang masih berkembang dan eksis di Suriname, tetapi bukan lagi Jawa yang "njawani" sebaliknya telah berbaur dengan kultur dan etnis yang hidup di situ sehingga terlihat sebagai Jawa yang mengglobal.

Maka tak mengherankan jika mendengarkan lagu-lagu berbahasa Jawa di Suriname tetapi melodinya beriramakan musik regae ataupun pop manis bukan campur sari sebagaimana di Indonesia karena terpengaruh kultur Karibia.

"Budaya Jawa memang berkembang di sini, tetapi Jawa yang seperti apa? Tentunya bukan Jawa seperti Yogyakarta karena di sini tidak ada keraton ataupun Indonesia. Namun, Jawa yang menjadi bagian dari bangsa Suriname," kata Menteri Dalam Negeri Suriname Soewarto Moestadja.
Editor: Jodhi Yudono | Sumber : ANT

Anwar: 'Rasa Sayange' Bukan Lagu Malaysia

| | | 0 komentar
Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menegaskan 'Rasa Sayange' merupakan lagu Melayu yang berasal dari Manado, Indonesia.

"Sejak kecil saya memang diajarkan lagu 'Rasa Sayange' itu lagu asli Malaysia," kata Anwar di Acara peluncuran Forum Mufakat Nusantara di Jakarta, Selasa, 12 Oktober 2010.

Baru setelah beranjak dewasa, dia menyadari bahwa apa yang dia dengar semenjak kecil itu salah. Setelah menelusuri berbagai referensi, Anwar mengetahui lagu itu merupakan lagu Melayu yang berasal dari Manado, Indonesia.

"Saya ikhlas, lagu 'Rasa Sayange' itu memang berasal dari Indonesia," Anwar menegaskan.

Karena itu, ia menyesalkan pernyataan Perdana Menteri Malaysia yang mengklaim 'Rasa Sayange' sebagai lagu asli Malaysia. "Perdana Menteri Malaysia bodoh menjawab ini lagu Melayu asli Malaysia," kata Anwar tanpa tedeng aling-aling.
Dalam kesempatan itu, Anwar pun mengritik media massa Malaysia yang menurutnya dibelenggu oleh salah satu partai berkuasa sehingga selalu negatif memberitakan Indonesia. Menurut Anwar, istilah 'Indon' yang terkesan melecehkan pun dipopulerkan oleh pers negeri jiran. Ia mengimbau agar pers kedua negara "tidak arogan agar agar terbentuk value sistem yang seimbang antara Indonesia dengan Malaysia." (kd)
• VIVAnews

25 Negara Dilanda Kelaparan Sangat Parah

| | | 0 komentar
Kemiskinan, konflik, dan ketidakstabilan politik menyebabkan satu miliar orang menderita kelaparan tahun ini, yang sebagian besar berdampak pada anak-anak di Afrika dan Asia, menurut laporan Indeks Kelaparan Global yang diterbitkan pada Senin (11/10/2010).

"Dari 122 negara yang tertera dalam laporan tahunan, 25 negara di antaranya memiliki tingkat kelaparan yang mengkhawatirkan dan empat negara di Afrika berada pada tingkat sangat mengkhawatirkan," kata laporan oleh Lembaga Riset Kebijakan Pangan Internasional (International Food Policy Research Institute/IFPRI), Concern Worldwide, dan Welthungerhilte.

Republik Demokratik Kongo dinilai sebagai yang terburuk dalam indeks kelaparan, berdasarkan data dari 2003-2008.

Tiga per empat dari populasi di negara Afrika tengah itu secara luas menderita kekurangan gizi dan Kongo juga salah satu negara dengan tingkat kematian anak tertinggi di dunia, menurut temuan para peneliti yang menyusun indeks tersebut.

Tiga faktor yang digunakan untuk menghitung Indeks Kelaparan Global (GHI), yaitu banyaknya penduduk kekurangan gizi di suatu negara, berat badan anak di bawah rata-rata, dan tingkat kematian anak.

"Perang saudara yang berlarut-larut sejak akhir 1990-an telah menyebabkan keruntuhan ekonomi, pengungsian besar-besaran, dan kondisi ketidakamanan makanan yang kronis di Kongo," kata laporan itu.

"Tingkat ketersediaan dan akses makanan memburuk dengan menurunnya produksi makanan, dan wilayah terpencil menjadi lebih terisolasi sebagai akibat sangat buruknya infrastruktur," katanya.

Indeks tersebut menilai bahwa banyak negara dengan skala 100 poin, dengan nol merupakan nilai terbaik—tidak ada kelaparan—dan 100 sebagai nilai terburuk, meski secara praktik tidak ada negara yang ditaksir sebagai terbaik atau terburuk.

Negara yang memiliki nilai lebih dari 20 poin dinilai tingkat kelaparan mengkhawatirkan dan di atas 30 poin dinilai kelaparan sangat mengkhawatirkan.

Tiga negara lain dengan tingkat kelaparan sangat tinggi adalah Burundi, Eritrea, dan Chad. Kesemuanya terlibat dalam konflik memanas atau terbuka selama bertahun-tahun.

Kecuali Haiti dan Yaman, semua 25 negara dengan tingkat kelaparan mengkhawatirkan berada di wilayah sub-Sahara Afrika atau Asia.

Negara yang menempati urutan kelaparan terburuk adalah Nepal, Tanzania, Kamboja, Sudan, Zimbabwe, Burkina Faso, Togo, Guinea-Bissau, Djibouti, Mozambik, India, Banglades, Liberia, Zambia, Timor Leste, Niger, Angola, Yaman, Republik Afrika Tengah, Madagaskar, Komoro, Haiti, Sierra Leone, dan Etiopia.

Bersama dengan Burundi, DRC dan Eritrea, Komoro—negara kepulauan di lepas pantai timur Afrika yang rawan kudeta—dan Haiti menempati tingkat kekurangan gizi lebih dari 50 persen penduduknya.

Di Banglades, India, Timor Leste, dan Yaman tercatat lebih dari 40 persen anak berusia di bawah lima tahun kekurangan berat badan.

Afganistan, Angola, Chad, dan Somalia memiliki tingkat kematian anak tertinggi, dengan lebih dari 20 persen anak meninggal sebelum mencapai usia lima tahun.

Korea Utara merupakan salah satu dari sembilan negara dalam nilai indeks kelaparannya meningkat—dari 16,2 poin pada 1990 menjadi 19,4 poin pada 2010.

Delapan negara lainnya, semuanya berada di wilayah sub-Sahara Afrika—selain Gambia, Swaziland, dan Zimbabwe—konflik merupakan penyebab kelaparan di wilayah tersebut.


Editor: Benny N Joewono | Sumber : ANT, AFP kompas

Slamet Riyadi

| | | 0 komentar
Ignatius Slamet Rijadi (EYD: Riyadi; lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Juli 1927 – meninggal di Ambon, Maluku, 4 November 1950 pada umur 23 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia. Anak dari Idris Prawiropralebdo, seorang perwira anggota legiun Kasunanan Surakarta, ini sangat menonjol kecakapan dan keberaniannya, terutama setelah Jepang bertekuk lutut dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

Kepahlawanan

Pada suatu peristiwa saat akan diadakannya peralihan kekuasaan di Solo oleh Jepang yang dipimpin oleh Sutjokan (Walikota) Watanabe yang merencanakan untuk mengembalikan kekuasaan sipil kepada kedua kerajaan yang berkedudukan di Surakarta, yaitu Kasunanan dan Praja Mangkunagaran, akan tetapi rakyat tidak puas. Para pemuda telah bertekad untuk mengadakan perebutan senjata dari tangan Jepang, maka rakyat mengutus Muljadi Djojomartono dan dikawal oleh pemuda Suadi untuk melakukan perundingan di markas Kempeitai (polisi militer Jepang) yang dijaga ketat. Tetapi sebelum utusan tersebut tiba di markas, seorang pemuda sudah berhasil menerobos kedalam markas dengan meloncati tembok dan membongkar atap markas Kempeitai, tercenganglah pihak Jepang, pemuda itu bernama Slamet Rijadi.

Karier militer


Papan nama jalan Slamet Riyadi di Surakarta
Pada tahun 1940, ia menyelesaikan pendidikan di HIS, ke Mulo Afd. B dan kemudian dilanjutkan ke Pendidikan Sekolah Pelayaran Tinggi, dan memperoleh ijasah navigasi laut dengan peringkat pertama dan mengikuti kursus tambahan dengan menjadi navigator pada kapal kayu yang berlayar antar pulau Nusantara. Setelah pasukan Jepang, mendarat di Indonesia melalui Merak, Indramayu dan dekat Rembang pada tanggal 1 Maret 1942 dengan kekuatan 100.000 orang, dan walaupun memperoleh perlawanan dari Hindia Belanda, tetapi dalam waktu singkat yaitu pada tanggal 5 dan 7 Maret 1942, kota Solo dan Yogjakarta jatuh ke tangan Jepang.

Slamet Rijadi merasa terpanggil membela ibu pertiwi, dan menjelang proklamasi 1945, ia mengobarkan pemberontakan dan melarikan sebuah kapal kayu milik Jepang, usaha Kempeitai untuk menangkapnya tidak pernah berhasil, bahkan setelah Jepang bertekuk lutut. Slamet Rijadi berhasil menggalang para pemuda, menghimpun kekuatan pejuang dari pemuda-pemuda terlatih eks Peta/Heiho/Kaigun dan merekrutnya dalam kekuatan setingkat Batalyon, yang dipersiapkan untuk mempelopori perebutan kekuasaan politik dan militer di kota Solo dari tangan Jepang (Slamet Rijadi diangkat sebagai Komandan Batalyon Resimen I Divisi X).

Dalam perkembangannya terjadi pergantian pimpinan militer, Divisi X dirubah menjadi Divisi IV, dengan Panglimanya Mayor Jenderal Soetarto dan divisi ini dikenal dengan nama Divisi Panembahan Senopati, yang membawahi 5 Brigade tempur. Diantaranya Brigade V dibawah pimpinan Suadi dan mempunyai Batalyon XIV dibawah komando Mayor Slamet Rijadi, yang merupakan kesatuan militer yang dibanggakan. Pasukannya terkenal dengan sebutan anak buah "Pak Met". Selama agresi Belanda II, pasukannya sangat aktif melakukan serangan gerilya terhadap kedudukan militer Belanda, pertempuran demi pertempuran membuat sulit pasukan Belanda dalam menghadapi taktik gerilya yang dijalankan Slamet Rijadi. Namanya mulai disebut-sebut karena hampir di-setiap peristiwa perlawanan di kota Solo selalu berada dalam komandonya.

Sewaktu pecah pemberontakan PKI-Madiun, batalyon Slamet Rijadi sedang berada diluar kota Solo, yang kemudian diperintahkan secara langsung oleh Gubernur Militer II - Kolonel Gatot Subroto untuk melakukan penumpasan ke arah Utara, berdampingan dengan pasukan lainnya, operasi ini berjalan dengan gemilang.
Dalam palagan perang kemerdekaan II, Slamet Rijadi dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Kolonel, dengan jabatan baru Komandan "Wehrkreise I" (Panembahan Senopati )yang meliputi daerah gerilya Karesidenan Surakarta, dan dibawah komando Gubernur Militer II pada Divisi II, Kolonel Gatot Subroto.

Dalam perang kemerdekaan II inilah Let.Kol. Slamet Rijadi, membuktikan kecakapannya sebagai prajurit yang tangguh dan sanggup mengimbangi kepiawaian komandan Belanda lulusan Sekolah Tinggi Militer di Breda Nederland. Siang dan malam anak buah Overste (setingkat Letnan Kolonel) J.H.M.U.L.E. van Ohl digempur habis-habisan, dengan penghadangan, penyergapan malam, dan sabotase. Puncaknya ketika Letkol. Slamet Rijadi mengambil prakarsa mengadakan serangan umum Surakarta yang dimulai tanggal 7 Agustus 1949, selama empat hari empat malam. Serangan itu membuktikan kepada Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan penyergapan atau sabotase, tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ketengah kota Solo yang dipertahankan dengan pasukan kaveleri, persenjataan berat-artileri, pasukan infantri dan komando yang tangguh. Dalam pertempuran selama empat hari tersebut, 109 rumah penduduk porak poranda, 205 penduduk terbunuh karena aksi teror Belanda, 7 serdadu Belanda tertembak dan 3 orang tertawan sedangkan dipihak TNI 6 orang gugur.

Perwira menengah yang sangat muda ini (bdk. Letkol Soeharto - kelak Presiden RI - saat itu berusia 29 tahun) adalah ahli taktik dan strategi, dia sangat agresif menyerang namun selalu menghindari kontak senjata yang merugikan, dia gemar membaca dan gemar menulis [2]. Salah satu petunjuk perang gerilya pertama TNI yang tertulis adalah buah karyanya. Dalam tulisan itu dia menyebutkan [3] pentingnya agresivitas, taktik regu kecil, menghormati rakyat, menghemat amunisi, dan cara membiayai gerilya.
Setelah terjadi gencatan senjata dan penyerahan kota Solo kepangkuan Republik Indonesia, Overste Van Ohl yang mewakili pihak Belanda demikian terharu begitu mengetahui bahwa Letkol. Slamet Rijadi—sebagai wakil pihak RI— yang selama ini dicari-carinya ternyata masih sangat muda. Ia dilaporkan berkata, " Oooh ... Overste tidak patut menjadi musuh-ku ... Overste lebih pantas menjadi anakku, tetapi kepandaiannya seperti ayahku".

Memerangi Westerling dan APRA

Ketika terjadi peristiwa APRA, brigade Slamet Riyadi dipanggil naik kereta api ke Bandung untuk memerangi. Karena peristiwa APRA sangat singkat, brigade Slamet Riyadi akhirnya disalurkan memerangi DI/TII. Personel APRA adalah KNIL kompi (baret merah) pasukan payung dan batalion komando (baret hijau). Dua pasukan ini adalah musuh Slamet Riyadi sejak Agresi militer ke-2 di Yogyakarta dan waktu serangan umum Solo. Dua pasukan ini menolak bergabung ke dalam APRIS, kelak mereka menyusup keluar Bandung dan membantu RMS [2].

Memerangi RMS

Pada tanggal 10 Juli 1950, Letnan Kolonel Slamet Rijadi, berangkat dengan kapal Waikalo dan memimpin batalyon 352 untuk bergabung dengan pimpinan umum operasi - Panglima TT VII - Kolonel Kawilarang, dalam penugasan menumpas pemberontakan Kapten Andi Aziz di Makasar dan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipelopori oleh Dr. Soumokil dan kawan-kawan. Dalam tugas inilah ia gugur muda dalam usia 23 tahun. Ia tertembak di depan benteng Victoria setelah berusaha merebutnya.
Slamet Riyadi tidak membawa seluruh brigadenya melainkan ditunjuk sebagai komandan bridage ex-KNIL dari Sulawesi. Dia melatih dan berkoordinasi dengan komandan operasi, Kolonel Kawilarang. Operasi menumpas RMS berkekuatan 2 brigade, 10 kapal perang, dan 2 B-25. TNI-AL dipimpin Mayor John Lie, pelaut handal yang berjasa menyelundupkan beberapa kali senjata dan amunisi selama melawan Belanda. Brigade I melakukan pendaratan amfibi di utara Pulau Ambon dan Brigade II dipimpin Slamet Riyadi mendarat di timur. Pasukan RMS adalah pasukan ex-KNIL pasukan payung, pasukan komando, panser, dan sekitar 1000 milisi lokal.

Pendaratan dilakukan mulai awal Oktober namun sampai akhir Oktober, TNI belum bisa mencapai Ambon karena musuh yang dihadapi sangat terampil. RMS bersembunyi di banyak bunker ex-Jepang. Slamet Riyadi yang sering di kompi terdepan pernah terluka lengan kirinya akibat tembakan musuh. Tanggal 3 November, 1 brigade Siliwangi mendarat amfibi langsung di Ambon, dengan koordinasi brigade I dan Brigade II Slamet Riyadi diperkuat panser dan artileri. Tanggal 4 November sore, Siliwangi berhasil merebut benteng Victoria disertai Brigade Slamet Riyadi sudah mencapai pinggir kota Ambon. Mendengar keberhasilan Siliwangi, Slamet Riyadi dan hanya 3 panser maju untuk berkoordinasi. Sisa brigade ditinggal di pinggir kota untuk mencegah baku tembak tak sengaja antara Siliwangi dan Brigade II dalam situasi kacau.
Sayang sekali, pasukan payung KNIL berhasi memukul mundur Siliwangi dari benteng Victoria, Slamet Riyadi yang mengira benteng masih dikuasi Siliwangi turun dari panser.

Ada 2 versi tertembaknya [2]:
: Satu tembakan sniper selanjutnya Slamet Riyadi diseret ajudannya dan naik jip dilanjutkan sampan ke KRI yang menjadi klinik.
: Diberondong senapan mesin, selanjutnya 1 panser mengevakuasi ke sampan dan dibawa ke KRI yang menjadi klinik.
Saat sampai di KRI, Slamet Riyadi masih hidup tapi tidak sadar dan dalam kondisi kritis. Beliau meninggal tanggal 4 November malam.

Kehidupan Pribadi

Slamet Riyadi merupakan pengantin baru, istrinya Ny. Soerachmi bagian kesehatan TNI-AD, baru saja dinikahi saat cuti operasi menumpas RMS. Slamet Riyadi dimakamkan di Ambon di tengah makam anak buahnya yang gugur.

Pasukan Komando TNI

Kolonel Kawilarang yang selanjutnya memimpin Siliwangi di Jawa Barat memerangi DI/TII, membentuk 1 peleton komando dari divisi Siliwangi. Hal ini merupakan hasil diskusi beliau dengan Slamet Riyadi saat memerangi RMS. Melihat keberhasilan peleton komando Siliwangi, TNI-AD membentuk kompi komando yang juga berkualifikasi pasukan payung. Kompi ini memerangi DI/TII, PRRI dan Permesta dan merupakan cikal bakal Resimen Para Komando AD (RPKAD) selanjutnya Komando Pasukan Khusus.

Serangan Umum Surakarta

| | | 0 komentar

Serangan Umum Surakarta berlangsung pada tanggal 7-10 Agustus 1949 secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa yang berjuang tersebut kemudian dikenal sebagai tentara pelajar. Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Solo dan sekitarnya. Menurut catatan sejarah, serangan itu digagas di kawasan Monumen Juang 45, Banjarsari, Solo. Untuk menyusun serangan, para pejuang berkumpul di Desa Wonosido, Kabupaten Sragen dari situlah ide untuk melakukan serangan umum dikobarkan.

Mereka yang melakukan serangan bergabung dalam Detasemen II Brigade 17 Surakarta yang dipimpin Mayor Achmadi. Untuk menggempur markas penjajah, serangan dilakukan dari empat penjuru kota Solo. Rayon I dari Polokarto dipimpin Suhendro, Rayon II dipimpin Sumarto). Sementara itu Rayon III dengan komandan Prakosa, Rayon IV dikomandani A Latif (almarhum), serta Rayon Kota dipimpin Hartono. Menjelang pertengahan pertempuran Slamet Riyadi dengan pasukan Brigade V/Panembahan Senopati turut serta dan menjadi tokoh kunci dalam menentukan jalannya pertempuran. Serangan ini mengubur untuk selamanya ambisi Belanda untuk menguasai kembali Indonesia.

Gencatan Senjata Indonesia vs Belanda

Pada tanggal 3 Agustus 1949 pukul 22.00 malam, Panglima Besar Jenderal Sudirman memerintahkan penghentian tembak-menembak mulai 11 Agustus 1949 untuk wilayah Jawa dan 15 Agustus 1949 untuk wilayah Sumatera. Untuk itu maka sebelum tanggal tersebut pihak Brigade V/Panembahan Senopati pimpinan Letkol Slamet Riyadi dan Detasemen TP Brigade XVII pimpinan Mayor Achmadi berencana menggunakan kesempatan sebelum gencatan senjata tersebut untuk mendapatkan posisi dan merebut kedudukan musuh di Kota Solo agar pihak Belanda tahu bahwa TNI masih ada taring, nyali dan tetap bertekad bukan saja dengan tujuan tersebut diatas, tapi tetap akan mengusir Belanda.Untuk itu diadakan rencana serangan umum terhadap Kota Solo.

Perlu diketahui juga bahwa seperti TNI di Jogja, pihak TNI di Solo juga mengadakan serangan umum sebelumnya agar dapat diketahui perkiraan kekuatan lawan, kedudukan lawan dan data-data di lapangan.Semenjak Jogja diserahkan ke Ri bulan Juli 1949, sebagian kekuatan tentara Belanda ditarik Ke Solo, sehingga menambah kekuatan yang ada sebelumnya. Serangan pertama dilakukan pada tanggal 8 Februari 1949 sedang yang kedua dilakukan tanggal 2 Mei 1949.

Peristiwa menjelang Serangan Umum Solo

Sebelum SU 4 Hari ada beberapa peristiwa yang mendukung keberhasilan pejuang dalam pertempuran ini, antara lain:

Serangan di Jembatan Cluringan, mendapatkan 1 Bren dan 2 LE.Tentara Belanda yang selamat dalam peristiwa tersebut akhirnya mengalami gangguan jiwa.Sedang barang-barang pribadi milik serdadu Belanda yang tewas dikembalikan pihak TP Brigade XVII kepada komandan Belanda setelah gencatan senjata.

Pembelotan satu kompi TBS ( Teritoriale Batalyon Surakarta) bentukan Belanda dengan membawa 8 Bren, 30 Sten dan 80 senapan.
Kedua peristiwa tersebut turut berperan dalam meningkatkan kepercayaan diri para pejuang untuk mengusir Belanda dari Solo.

Perbandingan kekuatan antara Belanda dan Indonesia

Kekuatan Belanda di Solo

Solo merupakan kota yang dinilai penting oleh Belanda dalam melancarkan invasinya ke Indonesia sehinga merupakan kota yang diperkuat oleh tentara Belanda terbaik, bahkan pemimpin Tentara Belanda di Solo Kolonel Van Ohl adalah tentara profesional dengan pengalaman yang cukup tinggi dari PD I sampai jadi tentara Belanda di pengasingan waktu Belanda jatuh ke tangan Jerman, ia seorang komandan yang sangat dihormati oleh anak buahnya dan kolega2nya seperti Kolonel Van Langen yang menduduki Yogyakarta

Sebelum Juli 1949
Ada 5 batalyon termasuk pasukan TBS dan Polisi Federal, pada saat sebelum Juli 1949 posisi tentara tersebar di wilayah Republik yang baru dikuasai sehingga tidak memungkinkan melakukan konsentrasi kekuatan. Apalagi fokus tentara Belanda ada pada Yogyakarta yang dinilai lebih penting daripada Solo, mengingat perannya sebagai Ibukota RI pada waktu itu.

Setelah Juli 1949
Ada tambahan dari wilayah sesuai perjanjian Roem Royen hingga di Solo menumpuk kurang lebih 11 Batalyon. Adapun posisi tentara Belanda pada berada pada

Posisi Tentara Belanda :
Panggung Jebres, Margoyudan, Banjarsari, Villa Gantiwarno, Kompleks Balapan, Beteng, Purbayan, Timur Pasar Legi, Timuran, Suryosuwitan, Ngapeman, Museum Radya Pustaka, Pengadilan Solo, Asrama Banteng, Kodim lama, Baron, Gereja Gendengan dekat SGM, Sanggrahan, Purwosari, Korem di Kerten, Jurug, dan Gading.

Posisi Polisi Belanda/Federal:
Jagalan, Pasar Legi, Sosietet Mangkunegaran, Beskalan, Serengan dan Sanggrahan.

Pasukan TBS:
Mangkunegaran, Balapan dan Ngemplak.
Setelah penambahan pasukan Belanda sebagai akibat penarikan mundur dari Yogyakarta, bisa dikatakan bahwa Tentara Belanda yang ada di Solo merupakan yang terkuat dan terbaik di era invasi Belanda ke Indonesia. Dari kuatnya konsentrasi Tentara Belanda di Solo, bisa disimpulkan bahwa Belanda belum menyerah dalam usahanya menaklukan Indonesia.

Kekuatan TNI/Polisi

MBB Brimob , Komisaris Utomo
MBK Brimob Karesidenan
Kompi Zeni TP atau TGP
Detasemen TP Brigade XVII Mayor Ahmadi
Brigade V/Panembahan Senopati , Letkol Slamet Riyadi termasuk pasukan TP Sturm Abteilung.

Persenjataan pasukan pejuang pada waktu itu boleh dikatakan kurang lengkap, karena yang membawa senjata outomatis bren gun hanya sekitar 15 orang, sedangkan lainnya senjata otomatis ringan. Yang membuat peristiwa itu sangat berkesan adalah berkiprahnya seorang yang bernama Kapten Prakoso (Mantan Rektor UNS), sebagai Komandan Kompi (Cie) I TP.

Jalannya pertempuran

Pada tanggal 7 agustus 1949 dimulai SU pada pukul 06.00 pagi. Pada hari tersebut pasukan TNI telah menyusup dahulu dan mulai menguasai kampung-kampung dalam kota Solo.

Pada tanggal 8 Agustus 1949 hingga 10 Agustus 1949 seluruh pasukan dari SWK 100 sampai 105 dikerahkan untuk membantu serangan hari pertama denagn sasaran seluruh kota Solo dan diakhiri tanggal 10 Agustus pukul 06.00 pagi sesuai perjanjian cease fire pihak Indonesia dan Belanda.Tambahan pasukan ini semakin memperkuat serangan pasukan SWK 106 yang intinya dari DEN TP Brigade XVII.Akibatnya pasukan Belanda semakin terdesak karena pasukan dari Brigade V menyekat kekuatan lawan dan menghambat bantuan lawan di luar kota Solo. Konvoi Belanda dari Semarang bahkan tidak dapat memasuki kota Solo karena dihambat oleh pasukan TNI di Salatiga.

Untuk membantu pasukanya yang terjebak di Solo, Belanda bahkan mulai mengerahkan 2 Bomber (tdk diketahui jenisnya) dan 4 pesawat P-51 ditambah pasukan para yang diterjunkan ke Lanud Panasan (Adisoemarmo sekarang). Tapi bantuan ini gagal mengubah arah pertermpuran dimana Tentara Belanda di Solo makin terkepung dan hampir seluruh bagian kota Solo dikuasai oleh TNI.

Korban di kedua belah pihak

Dalam pertempuran selama empat hari tersebut, 109 rumah penduduk porak poranda, 205 penduduk meninggal karena aksi teror Belanda , 7 serdadu Belanda tertembak dan 3 orang tertawan sedangkan dipihak TNI 6 orang gugur. Dari minimnya korban yang jatuh di kalangan TNI, menunjukkan meningkatnya kinerja TNI dalam melakukan serangan oftensif dibandingkan ketika melakukan serangan Umum 1 Maret.

Peristiwa setelah Serangan Umum Solo

Pada tanggal 11 Agustus terjadi pelanggaran cease fire oleh pasukan baret hijau yang menewaskan banyak penduduk sipil antara lain: di Sambeng-32 orang tewas ,di pasar Nongko-67 tewas,di Serengan-47 orang tewas,di Padmonegaran Gading-21 tewas,di Pasar Kembang-24 orang tewas.
Akibatnya terjadi pertempuran lagi akibat peristiwa tersebut diatas.Pada siang hari tanggal 11 Agustus 1949, pihak Belanda yang diwakili Kol van Ohl mengajak berunding dengan Letkol Slamet Riyadi agar semua pasukan TNI ditarik hingga batas kota dan barikade dibersihkan. Pihak Letkol Slamet Riyadi menerima syarat ini karena ada jaminan dari Van Ohl bahwa ada janji:

Teror belanda tidak terulang lagi
Tidak akan diadakan pembunuhan terhadap sipil yang membantu TNI

Sebenarnya pasukan TNI terutama pihak DEN TP Brigade XVII tidak mau menerima usul ini karena hampir seluruh Kota Solo telah berhasil diduduki dalam serangn umum tersebut, karena pihak Belanda telah jelas-jelas melanggar pada tanggal 11 agustus 1949.
Sempat terjadi perbedaan pendapat antara Brigade V dengan Den II TP Brigade XVII.

Mayor Ahmadi berpegang teguh pada perintah Panglima Divisi II Kol Gatot Subroto.Mayor Ahmadi menginstruksikan agar pasukan TP tetap dalam sektor masing-masing dengan posisi terkahir dan tidak bertanggung jawab terhadap penarikan pasukan ke batas kota dan memerintahkan apabial Belanda melanggar lagi agar ditindak oleh masing-masing sektor. Sedang pihak Brigade V berpegang teguh pada : Berlakunya cease fire tanggal 3-10 agustus 1949, berpatokan yang minat berunding adalah Belanda yang dalam posisi terdesak, Mengurangi kekejaman pasukan Belanda terhadap sipil.
Permasalah ini sampai ke Kepala Staf Divisi , Letkol Suprapto (pahlawan Revolusi). Letkol Suprapto tidak dapat memberikan keputusan, akhirnya Panglima Divisi Ii, Kolonel Gatot Subroto memutuskan agar Mayor Ahmadi mengalah dan mematuhi perintah Letkol Slamet Riyadi selaku Dan Brigade V/PS.pada tanggal 24 Agustus 1949 urusan keamanan kota diserahkan kepada Mayor Ahmadi selaku Komandan Komando Militer Kota (KMK) Solo.

Pengaruh Serangan Umum Solo

Serangan Umum Tentara Pelajar Solo (DETASEMEN-II / BRIGADE-17 TNI), 8 Pebruari 1949, 2 Mei 1949 dan 7 – 10 Agustus 1949 yang kala itu terbukti berhasil memperkuat posisi tawar politik perjuangan diplomasi delegasi Republik Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB), Den Haag, sehingga berujung dicapainya Kedaulatan Republik Indonesia 27 Desember 1949 dapat berdampingan dengan Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945. Hal ini terjadi karena Belanda sadar bila mereka tidak akan mungkin menang secara militer, mengingat Solo yang merupakan kota yang pertahanannya terkuat pada waktu itu berhasil dikuasai oleh TNI yang secara peralatan lebih tertinggal tetapi didukung oleh rakyat dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang andal seperti Slamet Riyadi.

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?