SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

TBC Bunuh Chairil & Dien

| | | 0 komentar
Usia Dien Tamaela baru 25 tahun ketika dokter memvonisnya positif terserang penyakit TBC. Pada masa itu, TBC adalah penyakit pembunuh nomor satu karena belum ada obatnya sama sekali.

Kesehatannya terus memburuk. Sang ibu membawanya berobat ke rumah sakit yang kini dikenal sebagai RSUP Cipto Mangunkusumo.

Meskipun menjalani perawatan intensif, penyakitnya semakin parah. Dien tidak tertolong lagi sehingga akhirnya menutup mata untuk selamanya pada 8 Agustus 1948.

Dien dimakamkan di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sepuluh tahun kemudian makam belahan jiwa Chairil Anwar ini dipindahkan ke Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir.

Di Tanah Kusir, makam Dien terawat dengan baik. Makamnya terletak di Pemakaman Unit Kristen Blok AA1 Blad 69-kiri seberang rel. Dia terbaring bersama ayah dr Tamaela dan ibu Mien Pattiradjawane.

Di sisi kanan, terdapat makam Zhigniew Bleszynski, ayah kandung artis Tamara Bleszynski.

"Kalau ada yang mau cari kuburan Dien Tamaela, cari saja di dekat ayahnya Tamara," kata petugas kebersihan di TPU Tanah Kusir beberapa waktu lalu.

Petunjuk ini cukup efektif sebab bila ditanya ke Kantor Pelayanan Pemakaman yang menyimpan data di komputer, nama Dien tidak terdaftar meskipun sudah dicari operator komputer.

Dien memang tidak melahirkan karya agung. Namun selintas hidup dan persahabatan dengan Chairil Anwar telah mengabadikan namanya di jagat sastra Indonesia dan dunia.

Setahun kemudian, TBC pun menjangkiti tubuh Chairil. 28 April 1949, Chairil menyusul Dien di usia 26 tahun.(Rudi Fofid/Koran SI/hri)

http://news.okezone.com/read/2009/10/27/345/269689/tbc-bunuh-chairil-dien

Ramadan di Kampung Orang-Orang Jawa di Suriname

| | | 0 komentar
Lebaran Disambut Beduk, Takbir Keliling, Minus Pasudon Rega
Warga keturunan Jawa di Suriname merayakan Idul Fitri sama dengan tradisi pendahulunya. Ada takbir keliling, menabuh beduk, dan membunyikan petasan.

ARIES SNTOSA, Paramaribo

BERBEDA dengan keturunan para kuli kontrak di Kaledonia Baru, Kepulauan Pasifik, orang-orang Jawa di Suriname masih bisa mempertahankan jati diri sebagai orang Jawa. Bukan hanya bahasa, tapi juga khazanah adat-istiadat warisan leluhur tetap mereka jaga dengan baik.

Banyak generasi muda dalam komunitas Jawa di Kaledonia yang kini tidak mengerti bahasa Jawa (hanya berbahasa Prancis). Tapi, orang-orang Jawa di Suriname, selain bisa menggunakan bahasa Belanda, aktif menggunakan bahasa ibu (Jawa) di rumah atau dalam pergaulan antarmereka.

Kerukunan mereka terlihat nyata pada saat Lebaran yang dirayakan Senin, 23 Oktober 2006. Republik Suriname -mungkin satu-satunya negara di Benua Amerika- menyatakan Idul Fitri sebagai hari libur nasional.

Tapi, ada juga warga di Suriname yang sudah berlebaran kemarin (Minggu, 22 Oktober). Sabtu malam waktu Suriname, sudah ada warga yang menggemakan takbir. Warga yang berlebaran kemarin adalah di Desa Java Weg, sekitar 20 kilo meter arah selatan dari Paramaribo. Yang menarik, kebanyakan warga muslim di sana yang didominasi kelompok kilenan (kiblatnya tetap menghadap ke barat, seperti di Indonesia), selama ramadan tidak berpuasa. Bahkan, saat lebaran pun, mereka kebanyakan juga tidak malaksanakan salat Id.

Warga di desa itu, menurut Leles Muchlis Pawirodinomo, salah seorang anggota parlemen Suriname keturunan Jawa termasuk kelompok: ngakoni Islam, anging ora nglakoni ajarane (mengakui Islam, tapi tidak melaksanakan ajarannya).

Saat lebaran tiba, tak berbeda dengan di Indonesia, warga Suriname menjalankan salat id di lapangan pusat kota. Setelah itu dilanjutkan silaturahmi atau bersalam-salaman.

"Mangke, sak sampunipun salam-salaman, tiyang angsal pacitan, lajeng mulih ning omahe dewe-dewe (Nanti, setelah berjabat tangan, orang mendapat makanan kecil, lalu pulang ke rumah masing-masing, Red)," kata Leles.

Di rumah ibu-ibu sudah menyiapkan makanan Lebaran, seperti kupat-lontong opor, soto, dan aneka jajan pasar khas Jawa (jadah, wajik, gethuk, enting-enting, peyek, krupuk, dan sebagainya).

"Biasane keluarga kumpul. Terus mangan bareng-bareng. Bocah-bocah cilik diwenehi duit receh dienggo jajan. Cah-cah seneng banget (Biasanya seluruh keluarga kumpul. Terus makan bersama-sama. Anak-anak kecil diberi uang receh untuk jajan. Mereka senang sekali, Red)," kata Roosmi Tambeng, istri Kapten Does.

Bedanya dengan orang-orang Jawa di Suriname, menyambut hari fitri setelah sebulan berpuasa, mereka tidak punya kebiasaan harus memakai barang-barang serbabaru. Seperti disaksikan Jawa Pos, pada hari-hari menjelang Lebaran toko-toko di Suriname biasa-biasa saja. Tidak ada program potongan harga (pasudon rega, istilah orang Jawa Suriname) besar-besaran yang digelar di plaza-plaza atau mal seperti di Indonesia.

"Neng kene opo-opo larang. Dadi, gawe opo tuku klambi anyar nek klambi sing ono isih apik (Di sini apa-apa mahal. Jadi, untuk apa beli baju baru kalau baju yang ada masih baik)," papar Hadi Waluyo, warga Kampoeng Baroe.

Bisa dimaklumi jika muslim di Suriname tidak konsumtif pada saat Lebaran. Selain mereka tidak mengenal "tradisi" jor-joran baju baru, harga barang-barang di toko memang mahal. Misalnya, baju batik lengan panjang yang di Pasar Turi Surabaya dibanderol Rp 100 ribu di Suriname bisa sampai Rp 300 ribu.

Bagi kebanyakan warga Jawa, harga baju yang puluhan sampai ratusan dolar Suriname (SRD) amat memberatkan kehidupan ekonomi mereka. Karena itu, mereka memilih tidak membeli yang tidak primer pada Lebaran.

"Daripada untuk beli baju baru, mending untuk makan bisa berhari-hari," tutur Toemirah, warga Sidodadi. Pada malam Lebaran di Suriname juga masih ada arak-arakan keliling untuk takbiran. Mereka mengendarai sepeda motor dan mobil berputar-putar di sekitar kota sambil melantunkan asma Allah.

Begitu pula di masjid-masjid suara takbir dikumandangkan lewat mikrofon. Bahkan, semalaman sambil menabuh beduk. Mercon dan kembang api juga dinyalakan sebagai tanda datangnya Lebaran Fiter (istilah mereka untuk Idul Fitri). Keesokan paginya mereka berduyun-duyun ke lapangan atau masjid untuk menjalankan salat id. Lalu, bila di lapangan, salat menghadap ke mana yang dianut?

Seperti tahun-tahun sebelumnya, salat id dipusatkan di lapangan tengah kota Paramaribo. Salat ini dilaksanakan sesuai perintah Allah, yakni menghadap ke kiblat (ke arah timur).

Leles mengaku tidak tahu apakah masih ada pelaksanaan salat id yang menghadap ke barat seperti tradisi yang dibawa dari Indonesia dulu. "Lha monggo bade salat madep pundi. Menawi kulo madep kiblat (Silakan mau salat menghadap ke mana. Kalau saya menghadap ke kiblat (timur)," ujarnya.

Saat ini di seluruh Suriname terdapat lebih dari 120 masjid. Selain masjid orang keturunan Jawa yang bertebaran di pelosok-pelosok desa, ada masjid keturunan warga India (Hindustan), Arab, dan lainnya. Sebagian masjid orang Jawa itu sudah ada yang menghadap kiblat, seperti anggota Stiching der Islamitische-geemeenten in Suriname (SIS) yang berjumlah 50 masjid; Parsatuan Jamaah Islam Suriname (tiga masjid), dan Nurul Iman (tiga masjid).

Sebagian masjid lagi memang masih ada yang memegang teguh ajaran nenek moyang orang Jawa bahwa kiblat salat itu selalu ke barat. Di antaranya anggota Federatie Islamitische Gemeenten in Suriname (FIGS) yang berjumlah 46 masjid dan Assafiyah (15 masjid).

"Sing salat bokong-bokongan wis ora ono maneh. Soale, sing salat madep kiblat, ngalah. Saiki wis duwe masjid dewe-dewe. Ora opo-opo, sing penting kabeh balik ning atine dewe-dewe."

(Yang salat saling membelakangi sudah tidak ada lagi. Yang salat menghadap kiblat mengalah. Sekarang sudah punya masjid sendiri-sendiri. Tidak apa-apa yang penting sesuai hatinya masing-masing," kata Leles.

http://www.opensubscriber.com/message/zamanku@yahoogroups.com/5209495.html

Wilders yang Indisch: Kenapa Jadi Anti Islam?

| | | 0 komentar
Ada sesuatu yang baru dalam arena politik Belanda. Itulah pemerintahan minoritas yang November ini mulai berkuasa di Den Haag. Dua partai berkoalisi, partai konservatif VVD dan partai kristen demokrat CDA.

Tetapi masih ada satu partai lagi yang mendukung koalisi minoritas itu, walaupun partai ini tidak ikut memerintah. Itulah partai kebebasan PVV pimpinan si politikus anti Islam yang juga memblonda rambutnya, Geert Wilders. Walaupun anti Islam, Wilders ini ternyata juga orang Indo yang berdarah campuran, karena neneknya kelahiran Indonesia.

Jadi bagaimana kita bisa memahami Wilders, orang Indisch tapi anti Islam? Untuk menjawab pertanyaan ini kita temui pakar antropologi Lizzy van Leeuwen yang menemukan bahwa Wilders berdarah Indo.

Lizzy van Leeuwen yang selalu tampak tenang itu malah mengaku ini pertanyaan yang sangat rumit. Wilders memang punya latar belakang Indisch, tetapi baginya dia itu orang yang berlatar belakang pasca kolonial. Keluarganya datang dari bekas koloni. Dia memang Indisch, tapi itu tidak ada artinya. Mungkin salah seorang nenek moyangnya memang beragama Islam. Tetapi apakah itu berpengaruh padanya, tidak ada yang tahu.

Bersikap pahit
Yang penting bagi pendirian politik Wilders adalah bahwa itu pendirian politik kaum pendatang. Bisa dibandingkan dengan Le Pen di Prancis. Le Pen adalah juga seorang pendatang pasca kolonial yang kemudian terjun ke dunia politik Prancis. Dia berasal dari Aljazair. Pendirian politiknya persis sama dengan pendirian politik Wilders: nasionalisme yang ekstrim, benci orang asing, kembali ke zaman dulu dan anti Islam.

Itu semua bukan karena Wilders itu keturunan Indo, tetapi karena karena asal usulnya dari sebuah koloni yang kebanyakan warganya beragama Islam. Itulah asal usul keluarganya. Menurut Lizzy, keluarga Wilders dulu punya harapan tertentu tentang Belanda, juga ketika mereka untuk pertama kalinya datang ke Belanda. Harapan itu ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga keluarga itu menyimpan dendam yang tidak pernah selesai. Itulah yang didengar Wilders sepanjang hidupnya.

Lizzy van Leeuwen melihat pendirian anti Islam Wilders tidak bisa dikaitkan dengan latar belakangnya sebagai keturunan Indisch. Di Belanda, di kalangan orang-orang Indisch tua, memang ada perasaan anti Islam. Tetapi itu tidak punya kaitan dengan Indonesia, ketika mereka masih di sana. Itu lebih berkaitan dengan saat-saat ketika mereka sudah hidup di Belanda.

Mereka bandingkan keadaan mereka ketika tiba di Belanda dengan keadaan ketika pendatang Turki dan Maroko tiba di Belanda pada tahun 1970an dan 1980an. Bagi mereka, warga Islam ini datang ke Belanda dengan enak dan mewah, dibandingkan sambutan yang mereka terima. Waktu itu mereka disambut dengan dingin dan acuh tak acuh oleh masyarakat Belanda. Itulah yang menyebabkan mereka bersikap pahit.

Terlalu dicari-cari
Bisalah dimengerti kalau kemudian keluar perkataan-perkataan yang buruk tentang pendatang muslim. Tetapi, Lizzy menegaskan, kenyataan bahwa Wilders bisa begitu anti Islam tidak bisa dijelaskan dari latar belakang pasca kolonialnya.

Sebagai orang Indisch yang pasca kolonial itu, bisa jadi Wilders pernah dengar sesuatu tentang Islam dan bagaimana Islam di Hindia Belanda, waktu itu. Lizzy van Leeuwen agak ragu-ragu mengenai hal ini. "Mungkin saja, tapi saya tidak tahu." Dia sendiri indisch, tapi ibunya tidak pernah bertutur soal Islam di Hindia Belanda. Ibu Lizzy tidak pernah bicara tentang Islam dan muslim.

Lizzy juga mengaku tidak tahu apakah Islam merupakan bahan pembicaraan di kalangan keluarga Indo. Sejauh yang diketahuinya, Islam hampir tidak pernah merupakan pembicaraan. Orang Indonesia sendiri tidak selalu dikait-kaitkan dengan Islam. Mungkin itu pernah terjadi pada keluarga-keluarga tertentu, dengan alasan-alasan tertentu pula, tetapi pada umumnya tidak. Alhasil Lizzy meragukan apakah Wilders pernah dengar dari neneknya yang Indisch itu cerita-cerita tentang agama Islam.

Nenek Wilders pergi dari Hindia Belanda pada tahun 1932. Saat itu orang Belanda sudah ketakutan menghadapi gerakan kaum nasionalis Indonesia. Kalangan nasionalis ini kadang-kadang memang dikaitkan dengan Islam. Dan agama ini juga merupakan penggalang nasionalisme Indonesia. Tetapi apakah seorang perempuan seperti neneknya Wilders benar-benar sadar akan kaitan Islam dengan nasionalisme Indonesia, sehingga 30 tahun kemudian ia memperingatkan cucunya soal Islam, tampaknya itu terlalu dicari-cari.

Rahasia keluarga
Keluarga Wilders datang ke Belanda dalam keadaan yang tragis pada tahun 1932. Sebagai pegawai negeri kolonial, kakeknya melakukan pemalsuan. Sebenarnya mereka itu diusir dari Hindia Belanda. Patut dipertanyakan apakah Wildres tahu soal ini. Lizzy van Leeuwen sempat mendalami pelbagai dokumen tentang ini. Dia menduga tampaknya ini merupakan rahasia keluarga yang selalu ditutup-tutupi. Jelas tidak enak untuk kembali ke Belanda dalam keadaan demikian.

Tanpa uang sepeserpun mereka harus pergi ke Belanda. Keluarga ini punya delapan atau tujuh orang anak. Di tengah-tengah musim dingin tiba di Belanda, di wilayah yang miskin, di selatan. Ini sangat sedih. Bisa dipastikan keluarga ini mengalami saat-saat yang pahit, baik itu nenek Wilders maupun ibunya. Mereka merasa terhina, dan perasaaan semacam ini diturunkan dari orang tua ke anak. Tetapi patut diragukan apakah Wilders benar-benar tahu mengapa rasa terhina itu muncul.

Tentu saja keluarga ini marah besar, terhadap pribumi Hindia atau terhadap penguasa kolonial di Batavia. Tetapi patut dipertanyakan apakah tuduhan dan dendam itu hanya diarahkan terhadap mereka yang beragama Islam. Mungkin lebih tepat untuk melihat suasana bagaimana Wilders dibesarkan. Apakah suasananya gembira atau justru penuh dendam dan ingin balas dendam dan terus dilihat hal-hal yang gagal.

Lizzy van Leeuwen menganggap menarik bahwa Wilders memblonda rambutnya, walaupun caranya memblonda rambut itu, kata Lizzy, tidak baik. Ini jelas punya makna. Apapun yang dikerjakan orang terhadap penampilannya, atau apapun yang tidak dikerjakan seseorang terhadap penampilannya, selalu punya makna. Itulah cara seseorang tampil di dunia nyata. Itulah isyarat yang ingin diberikan kepada orang lain.

Wilders memblonda rambutnya ketika ia meniti karier politik. Bagi Lizzy jelas bahwa Wilders tidak ingin rambut yang berwarna hitam atau gelap, tapi justru rambut blonda, sangat blonda. Rambutnya yang berwarna seperti itu adalah juga pilihan politiknya, pendirian politiknya. Tidak bisa tidak.

Suka dengar
Wilders itu anti Islam, banyak orang Indonesia mengartikannya sebagai anti Indonesia. Lizzy van Leeuwen menganggap ini tidak tepat. Kebencian Wildres terhadap orang Islam lebih rumit lagi, bukan merupakan garis lurus seperti yang selama ini diduga orang. Misalnya, kebencian yang tampaknya begitu meluap-luap terhadap Islam itu bisa jadi cuma caranya untuk mencapai hal-hal yang lain. Memang itu adalah taktik yang rasis, tapi bisa jadi kebenciannya terhadap Islam tidak sebanyak seperti yang ditunjukkannya.

Kenapa? Karena dengan kebenciannya itu, dia bisa menyuarakan ketidakpuasan yang banyak terjadi, bukan saja di kalangan warga Eropa, tetapi juga secara massal seantero orang Barat. Kalau orang-orang itu bisa dimobilisasikan untuk tujuan tertentu Wilders, maka dia memang lihai. Itu merupakan cara untuk bisa mencapai tujuan politik Wilders yang sebenarnya. Itu bisa dilakukan berkat ucapannya yang keras tanpa nuansa terhadap umat muslim. Itu dilakukannya dengan cerdik. Ia tahu bisa memperoleh dukungan kalangan terpelajar, seperti terbukti dalam proses pengadilan terhadapnya.

Sikap anti Islam Wilders itu patut dipertanyakan. "Menurut saya ia memang anti Islam, tapi masih ada tujuan lain dari sikap itu. Dengan anti Islam ia bisa meningkatkan jumlah kursi di parlemen. Karena ternyata banyak orang Belanda suka mendengar orang yang begitu anti Islam." Demikian pakar antropologi Lizzy van Leeuwen.

sumber http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/wilders-yang-indisch-kenapa-jadi-anti-islam

Kemerdekaan itu Sangat Berharga

| | | 0 komentar
Mangun Pawiro terpaksa mencuri umur, karena untuk bekerja di Kaledonia Baru, orang harus dewasa. Pada usia 21 tahun itu ia datang di Kaledonia baru. Baru kerja dua tahun di pertambangan nikel, Perang Dunia membuat orang Jepang pemiliknya pulang ke tanah airnya dan perusahaan ditutup. Lalu ia bekerja di Pekerjaan Umum membangun jalan selama lima tahun, Sudah itu pindah bekerja di pembangunan juga untuk lima tahun. Lalu pindah bekerja di toko selama dua tahun. Sudah itu pulang ke Indonesia, tiba di Jakarta pada 1953, lalu bertransmigrasi ke Totokaton hingga sekarang. Dia mempunyai dua orang anak, dari hasil perkawinannya sesudah kembali ke Jakarta.Ia mendengar kemerdekaan Indonesia melalui radio.

Kurang Perempuan

Bagi Susani, masuknya orang Indonesia ke Kaledonia Baru dirasakan timpang, karena tidak banyak perempuan, sehingga ia merasa takut. Tetapi dalam pergaulan, orang Jawa banyak juga yang menikah dengan orang Kanak. Termasuk ayahnya, yang menikahi ibunya yang asal suku Kanak, lurah di salah satu desa. Kehidupan campuran ini rukun, bahkan bila pun orang beragama lain. Banyak orang yang beragama Katolik menikah dengan yang beragama Islam, tetapi menurut Susani, tidak menimbulkan masalah.

Banyak Anak

Sebelum berjumpa dengan ayahnya, ibunya sudah menikah dengan orang Perancis dan mempunai satu anak perempuan dan dua anak laki-laki. Dengan ayahnya mempunyai sembilan anak. Enam orang dibawa ke Indonesia setelah mereka bercerai. Jadi Susani masih mempunyai 3 saudara di luar Indonesia dari ayahnya. Mereka sering bersurat-suratan, atau mengirim foto. Tetapi salah seorang adiknya yang datang dari Kaledonia Baru ke Jakarta, tidak dapat menjumpainya.

Ibu Susani sudah meninggal pada 1970. Ia sendiri mempunyai sembilan anak dan 12 orang cucu. Hidup sebagai petani transmigran, tidak banyak yang dilakukannya, kecuali bertani dan membesarkan anak-anak. Walaupun ia hanya berpendidikan Sekolah Dasar, anak-anaknya berpendidikan SMP dan SMEA. Ada juga yang hanya SD.

Susani dan Damin: Susani punya 12 cucu dan Damin tetap menduda sampai kini.
Damin sudah berusia lebih dari 90 tahun. Ketika pergi ke Kaledonia ia sudah berusia 35 tahun, tetapi belum menikah. Ia berpendidikan SMP. Pernah meneruskan ke SMA, tetapi gurunya memaksanya untuk menjadi Kristen. Ia tidak mau, lalu keluar. Itulah sebabnya pendidikannya hanya SMP saja. Ia berasal dari Klirong, Kebumen.

Di Kaledonia Baru ia mendengarkan siaran radio ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Sikap orang Perancis, menurut penuturannya agak kecewa, karena Indonesia merdeka. Ini berarti bahwa mereka harus menghargai sama.

Djarimin pada waktu kemerdekaan belumlah cukup memahami apa arti kemerdekaan, walaupun ia mendengar ada orang berteriak merdeka. Tetapi bahwa ia mengecap hasil kemerdekaan, dirasakannya di sekolah, ia tidak lagi mendapat perlakuan lain dari guru dan teman-temannya yang Perancis.


Mungkin tidak banyak artinya bagi seorang anak seperti Djarimin. Barangkali bagi ayahnya dan rekan-rekan lainnya sesama pekerja yang dikontrak dari pengusaha Belanda, dan orang Perancis hanya tahu bahwa Indonesia dijajah Belanda, berarti ada perlakuan yang kurang, dibandingkan ketika sesudah kemerdekaan. "Saya merasakan perlakuan itu dapat kami rasakan,"tutur Djarimin.(17/06/2002 - DX-Komunikasi 30 Juni 2002)

http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/dokumentasi/media/kaledonia_baru_xiv.html-redirected

Hidup Sederhana, Tidak Boleh Bersekolah Tinggi

| | | 0 komentar
Berbeda dengan orang-orang yang datang ke Kaledonia Baru pada usia dewasa, maka mereka yang dilahirkan di Kaledonia Baru, secara lamat-lamat masih dapat mengenang ketika mereka tinggal di kawasan Perancis di seberang laut itu.


Merdeka, Mendapat Perlakuan Sama

Djarimin misalnya, yang kini tinggal di Totokaton, Kecamatan Punggur, Lampung Tengah, Lampung, tidak dapat menuturkan masa kanak-kanaknya lebih banyak, kecuali bahwa ia kemudian mendapat pengertian mengenai kemerdekaan dari orang tuanya. Banyak di antara orang Jawa yang dikontrak untuk bekerja di Pulau itu semasa Indonesia masih dijajah Belanda. Yang terkesan padanya adalah bahwa ketika Indonesia merdeka, ia mendapat perlakuan sama dengan anak-anak kulit putih lainnya, mengingat bahwa ia satu-satunya yang berkulit sawo matang. Di rumah, sejak semula ia selalu bermain dengan cucu majikan ayahnya. Dan sang cucu itu pun terbiasa tinggal, bermain dan makan di keluarganya, seperti dia juga terbiasa bermain di keluarga majikan ayahnya.

Gagal di SGA, lalu Jadi Carik

Tetapi kemudian, setelah kembali ke Indonesia pada 1953, tidaklah semudah saat kepergian mereka, karena bagi orang tuanya harus menyesuaikan diri. Demikian juga dia harus turun kelas, karena kurikulum sekolah sangat berbeda. Bahasa yang digunakan juga berbeda. Di Indonesia bahasa pengantar Indonesia dan di Kaledonia Baru Perancis. Walaupun demikian ia maju terus, sampai akhirnya mogol di SGA. ia tidak terus, tetapi berhenti dan minggat ke Palembang. Tapi toh ia harus kembali lagi ke Totokaton, dan sampai kini menjadi carik.

Menyesal tak Melanjutkan Sekolah

Susani, beruntung, karena ketika diajak "pulang" oleh ayahnya ke Indonesia, ia menurut saja, walaupun ibunya tinggal bersama enam saudaranya yang lain di Kaledonia Baru. Ia bersekolah, tetapi sesudah tiga bulan terserang malaria, sehingga berhenti sekolah untuk selamanya. Ia menyesali mengapa tidak meneruskan sekolah. Ia sendiri lalu menikah dan mempunyai 9 orang anak. Bahkan kini dikaruniai 12 orang cucu.

Bertransmigrasi

Mengapa sampai di Totokaton, karena ayahnya memilih untuk tidak tinggal bersama saudara. Walaupun tidak memenuhi syarat sebagai orang transmigran, berkat anaknya yang sudah besar-besar dan Susani dapat menjadi pengganti ibu bagi adik-adiknya untuk memasak, akhirnya keluarga Supardi ini dapat hidup dan tinggal di Totokaton bersama orang Jawa lainnya yang datang dari Kaledonia Baru.

Pindah-Pindah Kerja, Lalu Menikah

Pardjan, berasal dari Yogya, ke Kaledonia Baru pada 1930. Kala itu ia sudah dewasa dan siap melakukan pekerjaan apa saja di tempat asing. Dengan kapal dan bersama orang lain, ia menuju ke Kaledonia Baru, bekerja di rumah, lalu di ladang. Mendapat majikan dokter gigi, ia dapat tinggal di keluarga itu, karena masih lajangan. Gajinya tidak banyak hanya 75 franc, gaji rata-rata para pendatang tiap bulan. Sesudah lima tahun, ia boleh keluar dan bekerja di pabrik es, lalu pindah ke pemotongan hewan. Pada 1945 ia menikah dengan seorang perempuan asal Jogya.

Pensiun dengan Tenang

Wirjo Soepadmo kelahiran Banjarnegara pada usianya yang ke-90 harus sendirian, karena isterinya meninggal. Tetapi dengan uang pensiun yang diperolehnya dari hasil kerja selama itu di Kaledonia Baru, ia cukup, walaupun kadang-kadang merasa kurang.

Generasi Pertama Kaledonia Baru

Soedjono Wonoredjo kelahiran Kaledonia Baru pada 1927. Ia salah seorang dari generasi pertama kelahiran Kaledonia Baru.

Bersekolah hanya sampai SD saja, karena tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah. Lagi pula pada waktu itu di Kaledonia Baru ada aturan orang Jawa tidak boleh melanjutkan sekolah. Karena itu ia harus membantu orang tuanya menanam kopi dan sayuran pada tanah seluas 9,5 hektar hasil jerih payah orang tuanya selama itu. Pada 1952 ia bersama ayahnya kembali ke Indonesia dan memutuskan untuk ikut bertransmigrasi di Totokaton. Ayahnya berasal dari Pati, sedang ibunya dari Purworejo. Dari dulu hingga sekarang, Sudjono Wonorejo yang tidak menikah, selalu hidup sederhana.

Pengalaman yang kurang menyenangkan adalah hidup mereka sekeluarga dicekam ijon, karena harus membeli bahan pangan untuk keperluan hidup sehari-hari. Untungnya bahwa harga sama, baik ketika mengutang maupun ketika panen tiba dan harus membayar.(17/06/2002 - DX-Komunikasi 23 Juni 2002)

Harapan Pupus Kembali ke Indonesia, Karena Ditipu

| | | 1 komentar
Belakang dari kiri ke kanan: Sugeng Saleh, Karta Sabeni, Tubagus Isnaeni, Marsadi Marcel. Duduk: Marie Claude Suminen Tubagus, Nyonya Marsadi Marcel dan Marie Tukinah Karta Sabeni.

Bagaimana sebenarnya hidup orang Jawa di Kaledonia Baru? Kalau di sana enak,mengapa ada juga di antara mereka mau kembali ke Indonesia?

Penuturan Sugeng Saleh, Marie Claude Suminem Tubagus, Tubagus Isnaeni, Marie Tukinah Karta Sabeni dan Karta Sabeni.
Yang sangat mengherankan Sugeng Saleh, kelahiran Kaledonia Baru, ketika tinggal di Jalan Halimun Jakarta, karena Jakarta seperti sarang semut.

Setelah tiga tahun kontrak kerjanya habis, Karta Sabeni bekerja di tempat lain. Yang ia rasakan enak adalah perlakuan Pemerintah Perancis terhadap dia sebagai Warga Negara Indonesia.

Di tempat asing, bukan tanah air sendiri, orang haruslah bekerja keras. Itu yang dirasakan oleh Tubagus Isnaeni dan Karta Sabeni. Seusai kontrak, Sabeni berpindah kerja untuk mencari pengalaman. Ia menjadi mandor di perusahaan bangunan. Di situ ia bekerja selama 13 tahun. Setelah itu ia berusaha sendiri, mengimpor barang-barang kesenian dari Indonesia, dijual kepada toko-toko yang berminat.

Nyonya Sabeni, sebagai isteri, membantu suaminya dengan bekerja di sebuah perusahaan, karena mempunyai 3 anak lelaki dan tiga anak perempuan. Kini sudah sama-sama pensiun dan tinggal mengurus cucu.

Teman Nyonya Sabeni adalah Nyonya Tubas Isnaeni, yang kembali ke Indonesia pada usia 9 tahun. Di Indonesia ia harus menyesuaikan diri. Karena itu turun satu kelas, yang dianggapnya membuang waktu. Tidak banyak kenangan di Kaledonia Baru. Seingat dia ketika zaman Jepang, ada serangan udara, di kampungnya di Kaledonia Baru, karena ada rumah terbakar, sehingga ke situlah serangan udara ditujukan.

Bagi Sugeng tidak banyak juga yang diketahui di masa Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Seingat dia pada waktu itu ada orang yang meneriakkan merdeka, tetapi ia sendiri tidak mengerti.

Aktivis Persatuan Bangsa Indonesia

Nyonya Tubagus menuturkan bahwa ayahnya seorang aktivis PBI, sehingga banyak informasi mengenai Indonesia diterimanya, termasuk ketika Indonesia merdeka. Sebagai seorang nasionalis, ayahnya sulit bergaul dengan orang lain, kecuali dengan sesama Jawa. Itulah sebabnya sekeluarga pulang ke Indonesia. Tetapi malang, uang yang sudah ditanamkan di koperasi Pembuatan Kapal di Gresik itu tidak tahu kemana juntrungannya, sehingga mereka memutuskan untuk bertransmigrasi ke Metro, Lampung.

Koperasi ini ternyata telah menelantarkan orang-orang Jawa yang punya harapan kembali ke Indonesia memperoleh pekerjaaan, tetapi "malah tertipu," kata Nyonya Tubagus. "Bahkan ada beberapa yang menggantung diri," tambahnya.
Pengalaman Tubagus Isnaeni sendiri selama di Kaledonia Baru harus bekerja keras. Baginya bekerja di Kaledonia Baru tidaklah asing, karena di Jakarta ia pun bekerja pada perusahaan Perancis.

Sesampai di Jakarta, Sugeng meneruskan sekolahnya di STM Budi Utomo, Jakarta. Lalu sambil bekerja ia mengikuti pendidikan di Instittute for Business Law and Management. Ia bekerja di Kedutaan Perancis di bagian Ekonomi dan Perdagangan.
Karta Sabeni merasakan kehidupan di Kaledonia Baru lebih baik, karena di sana ia mempunyai ruko (rumah & toko). Setelah pensiun ia mendapat jaminan sosial di samping asuransi.

Kelima orang ini menyatakan tidak ada kerinduan untuk kembali ke Kaledonia Baru, karena sudah tidak mempunyai keluarga. "Kalau sekali-sekali pergi menengok ke sana, sih, boleh," kata Nyonya Tubagus. "Saya ingin ketemu teman lama untuk menanyakan bagaimana keinginan mereka, setelah ada gerakan kemerdekaan Kanak," tambah Sugeng Saleh.

IKKB

Ikatan Keluarga Kaledonia Baru didirikan pada 17 Januari 1998, bertujuan untuk menjalin hubungan kekeluargaan dan membicarakan kesejahteraan. Tetapi sampai sekarang ternyata untuk mengumpulkan orang itu sulit, karena mereka menghadapi kesulitan ekonomi. "Banyak orang dari Kaledonia Baru yang belum sejahtera," kata Nyonya Tubagus. Sampai sekarang sudah ada tiga kepengurusan. Pertama diketuai Marsadi Marcel, kedua Suryadi dan ketiga Sugeng Saleh. Walaupun bertujuan mulia, IKKB tidak mampu melaksanakannya dengan baik, karena tidak punya uang. Anggota yang aktif di Jakarta semula 98 Kepala Keluarga, tetapi sekarang tinggal 35 Kepala Keluarga saja. Sulit untuk mengundang orang Jawa yang pernah tinggal di Kaledonia Baru untuk berkumpul setiap bulan.(DX-Komunikasi 16/06/2002)

http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/dokumentasi/media/kaledonia_baru_xii.html-redirected

Kaledonia Baru negeri kaya nun jauh di Lautan Pasifik

| | | 0 komentar
Setelah 2 tahun lebih sy menetap di Jakarta, akhirnya tiba saatnya penugasan suami kembali menempati pos di Luar Negeri. Kali ini Kemlu menugaskan ke sebuah Kepulauan terbesar ketiga di Lautan Pasifik, setelah Papua New Guinea dan New Zealand, dengan luas wilayah daratan skitar 18.575,5 km2. Luas total Kaledonia Baru adalah 19.060 km2 (7.360 mil2).
(
Kaledonia Baru
Lokasinya terletak di Sub wilayah Melanesia di Pasifik barat daya, 2 jam penerbangan dari Sydney (sekitar 1.200 km (750 mil) timur Australia), 2,5 jam terbang dari New Zealand (1.500 km (930 mil) barat laut Selandia Baru). Negara kepulauan Vanuatu terletak di timur laut.
Kaledonia Baru terdiri dari sebuah pulau utama, Grande Terre, dan beberapa pulau kecil, kepulauan Belep ke utara dari Grande Terre ,Kepulauan Loyalty di sebelah timur dari Grande Terre ,ÃŽle des Pins (Isle of Pines) ke selatan Grande Terre, Kepulauan Chesterfield dan Terumbu Bellona disebelah barat.
The Grande Terre sejauh ini merupakan pulau terbesar dan satu-satunya pulau pegunungan ini memiliki luas wilayah 16.372 kilometer persegi (6.321 mil2) dan memanjang dari barat laut ke tenggara, 350 kilometer (220 mil) panjangnya dan 50 sampai 70 km (31-43 mil) lebarnya. Sebuah pegunungan berbaris sepanjang pulau, dengan lima puncak lebih dari 1.500 meter (4.900 kaki). Titik tertinggi adalah Mont Panié pada 1.628 meter (5.341 kaki) elevasi.
Sejarahnya
Pasifik Barat pertama kali dihuni oleh manusia sekitar 3.000 tahun yang lalu. Penduduk Austronesia pindah ke daerah ini. Kelompok beragam orang yang menetap di kepulauan Melanesia dikenal sebagai Lapita. Mereka tiba di kepulauan ini dikenal sebagai New Kaledonia dan Loyalitas Kepulauan sekitar 1500 SM. Para Lapita adalah navigator sangat terampil dan agriculturis dengan pengaruh besar didaerah Pasifik. Sekitar abad ke-11 Polinesia juga tiba dan bercampur dengan penduduk setempat.
Orang Eropa pertama terlihat di Kaledonia Baru pada abad ke-18. Penjelajah Inggris James Cook menemukan Grande Terre pada tahun 1774 dan menamakannya Kaledonia Baru. Nama Kaledonia berasal dari nama tempat di daerah Skotlandia, diberikan Kapten Cook karena garis pantainya ada kemiripan dengan yg ada di Skotlandia (daerah asal ayahnya).

Secara administratif, kepulauan ini dibagi menjadi tiga propinsi:
Provinsi Selatan (propinsi Sud). Ibukota provinsi: Noumea. Penduduk: 183.007 jiwa (2009).
Provinsi Utara (provinsi Nord). Ibukota provinsi: Kone. Penduduk: 45.137 jiwa (2009).
Provinsi Kepulauan Loyalty (provinsi des Îles Loyauté). Ibukota provinsi: Lifou. Penduduk: 17.436 jiwa (2009).
Hal ini kemudian dibagi lagi menjadi tiga puluh tiga komune. Satu komune, Poya, dibagi antara dua provinsi. Bagian utara Poya, dengan penyelesaian utama dan sebagian besar penduduk, merupakan bagian dari Provinsi Utara, sedangkan bagian selatan komune, dengan hanya 127 penduduk pada tahun 2009, merupakan bagian dari Provinsi Selatan.


Kami tiba di Noumea (ibu kota New Caledonia) pada 7 Oktober 2010. Mendarat di Airport Tontouta yg sederhana dan sepi penerbangannya, 50 km jarak tempuh antara airport ke Noumea.

Negeri beriklim sejuk sepanjang tahun ini bertemperatur antara 20 sd 26 derajat Celcius. Januari sd Maret merupakan musim hujan dan Juni lebih dingin akibat pengaruh winter di Australia dan sekitarnya.
Curah hujan rata-rata sekitar 1.500 mm pada Loyalty Islands, 2.000 milimeter pada ketinggian rendah pada Terre Grande timur, dan 2,000-4,000 milimeter pada ketinggian tinggi di Terre Grande. Sisi barat Terre Grande terletak dalam bayangan hujan pegunungan tengah, dan rata-rata curah hujan 1.200 mm per tahun.
Ada dua musim utama: musim kering, dan musim hangat dan basah. Lebih sejuk pada musim kering dari bulan April sampai November dengan suhu harian berkisar 17-27 ° C.

Selama musim hujan (Desember sampai Maret) suhu bisa mencapai 32 ° C. Angin selatan-timur agak panas, dan malam hari agak sejuk. Pada Musim hujan sesekali ada topan memasuki pulau.

Ekologi

Selain lingkungan terestrial yang luar biasa negara ini juga rumah bagi ekosistem perairan. ekologi air tawarnya juga berkembang dalam isolasi panjang, dan sungai di Kaledonia Baru dan alirannya adalah rumah bagi banyak spesies endemik. Selain itu, New Caledonia Barrier Reef, yang mengelilingi Grande Terre dan Isle of Pines (ÃŽle des Pins), adalah terumbu karang terbesar kedua di dunia setelah Australia's Great Barrier Reef, mencapai panjang 1.500 kilometer (930 mil). Seperti rekan terestrial, sistem terumbu Caledonia memiliki keanekaragaman besar spesies, adalah rumah bagi dugong yang terancam punah, dan merupakan tempat bersarang penting bagi Green Sea Turtle (Chelonia mydas). Pulau ini juga merupakan rumah bagi anjing laut.

Pada bulan Januari 2002, pemerintah Perancis mendaftarkan terumbu Kaledonia Baru sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Kaledonia Baru Barrier Reef masuk dalam Daftar Warisan Dunia di bawah Nama Lagoons New Caledonia: Reef Diversity dan Asosiasi Ekosistem pada 7 Juli 2008 di UNESCO.
Sesungguhnya Kaledonia Baru merupakan wilayah sebrang lautan Prancis, seperti halnya Hong Kong sebelum di ambil alih China tahun 1997, merupakan wilayah teritory Inggris. Populasinya diperkirakan 249.000 jiwa (sensus Januari 2009), 40 persen nya tinggal di Ibu kota Noumea, yang merupakan kota terbesar di wilayah ini.

Ekonomi
Tanahnya mengandung kekayaan yang cukup banyak mineral, sekitar seperempat dari sumber daya Pertambangan nikel dunia.
Pariwisata memainkan peran yang penting dalam perekonomian Kaledonia Baru. Sebagian besar wisatawan berasal dari Prancis, Australia, Selandia Baru, Jepang dan Korea Selatan.
PDB Kaledonia Baru pada tahun 2007 adalah $ 8800000000 dengan kurs pasar, ekonomi keempat terbesar di Oseania setelah Australia, Selandia Baru, dan Hawaii. PDB per kapita 36.376 dolar AS pada tahun 2007, lebih rendah dari di Australia dan Hawaii, tetapi lebih tinggi dari di New Zealand.

Kaledonia Baru atau New Caledonia, orang setempat lazim menyebutnya Nouvelle Calédonie, negeri berbahasa prancis ini memiliki penduduk multi etnis, suku aslinya Kanak atau orang Melanesia yg sudah hidup 2000 tahun yg lalu disini 44,6% dari seluruh penduduk (sensus 1996), Sisanya penduduk terdiri dari kelompok etnis yang tiba di New Kaledonia dalam 150 tahun terakhir: Eropa (34,5%) (terutama Perancis, dengan Jerman, Inggris dan Italia minoritas), Polinesia (Wallisians, Tahitians) (11,8%) , Indonesia (2,6%), Vietnam (1,4%), Ni-Vanuatu (1,2%), dan berbagai kelompok lainnya (3,9%), Tamil, Asia Selatan lainnya, Berber, Jepang, Cina, Fiji, Arab, India Barat (kebanyakan dari wilayah Perancis lainnya) dan sejumlah kecil etnis Afrika.



Migrasi orang Jawa sudah terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka. Umumnya migrasi awal dari Jawa adalah para pekerja yg dikontrak oleh pemerintah Prancis melalui Belanda yg saat itu menguasai tanah Jawa di Indonesia. Mereka bekerja sebagai Pembantu rumah tangga atau bekerja di Perkebunan dan tambang Nikel. Sejarah panjang yg sudah lebih dari se abad (100 tahun) akhirnya melahirkan warga keturunan Indonesia. Sebagian yang sudah tua masih bisa berbahasa jawa, namun generasi mudanya sudah tidak bisa berbahasa jawa, mereka umumnya hanya berbahasa prancis.
Walikota La Foa Mrs. Corrine Viosin seorang wanita keturunan jawa yang sudah tidak bisa berbahasa jawa namun masih mengakui sebagai keturunan Indonesia, saat bertemu di acara cocktail party atas undangan Presiden Phillipe Gommés di The Tjibaou Cultural Centre, minggu lalu.

(Gambar atas : Tugu Peringatan kedatangan orang Indonesia di Kaledonia Baru)

sumber http://iissukendar.multiply.com/journal/item/247

Taman Moh Kasim di Noumea, Kaledonia Baru

| | | 1 komentar
Jika anda pergi ke Kaledonia Baru (New Caledonia), di pinggiran Kota Noumea, terdapat sebuah taman yang diberi nama Taman Moh Kasim. Nama tersebut diambil dari nama almarhum Bapak Mohamed Raden Kasim yang lahir pada tanggal 26 September 1917, di Sukabumi Indonesia.

Almarhum datang ke Kaledonia Baru pada usia 17 tahun dan bekerja sebagai seorang juru gambar (draughtsman) sekaligus penerjemah di perusahaan Le Nickel.

Selama tujuh tahun, beliau tinggal di asrama perusahaan tersebut yang terletak di area Doniambo. Kemudian beliau bergabung dengan perusahaan SCIE Oceanie (Prisunic-Printemps) sebagai poster designer dan beliau bekerja di tempat tersebut selama 47 tahun. Atas prestasi kerjanya tersebut, beliau menerima penghargaan medali emas pada tahun 1976.

Terlahir sebagai seorang musisi, Mohamed Kasim memiliki kecintaan tersendiri pada alat musik gitar Hawaii yang ia pelajari pada tahun 1939. Setelah sempat tinggal di Honolulu selama sebulan, sang maestro yang otodidak ini akhirnya bisa memainkan nada-nada yang demikian indah sehingga kepiawaiannya tersebut mengantarkan beliau bergabung dengan beberapa grup musik.

Moh Kasim menikah dengan Anne Soeparmi pada 20 Februari 1942. Seorang wanita yang ditemuinya pada malam dansa di kediaman Gubernur. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai sembilan orang anak dengan lima diantara mereka adalah wanita. Beberapa tahun kemudian, beliau mendapatkan kewarganegaraan Perancis melalui proses naturalisasi.

Setelah perang usai, beliau menjadi pemain gitar profesional dan sedikit demi sedikit bakatnya makin berkembang. Secara perlahan namun pasti, Pak Kasim membentuk beberapa grup musik diantaranya adalah Le Niaouz Jazz, Le Dynamiques Boys, Le Kassim dan Cocovoil. Namun yang paling terkenal adalah Les Pacifiques Boys Band.

Sebagai artis, beliau sering melakukan perjalanan keliling Kaledonia Baru untuk meramaikan pesta-pesta pernikahan. Beliau bahkan melakukan tour hingga ke Vanuatu, Selandia Baru dan Australia.

Di rumahnya yang terletak di daerah Vallee des Colons, Noumea, Pak Kasim sering bermain musik dengan para musisi dari berbagai daerah di Kaledonia Baru. Hal tersebut menyebabkan daerah itu terkenal dengan improvisasi duet yang memukau.

Pada saat yang bersamaan, Pak Kasim juga sering diminta untuk menjadi penerjemah bagi komunitas indonesia di Kaledonia Baru terkait berbagai macam kasus di pengadilan yang terletak di pusat Kota Noumea.

Setelah mewujudkan cita-citanya, beliau meninggal dunia pada tanggal 12 November 1992. (disadur dari buku Une histoire en 100 histoires : L’histoire Calédonienne à travers 100 destins hors du commun).

Untuk mengenang jasa Bapak Mohamed Raden Kasim, pihak keluarga selalu membuat acara sederhana untuk mengenang beliau selama 18 tahun terakhir ini. Acara serupa yang diselenggarakan pada 14 April 2010 dihadiri pula oleh Walikota Noumea, Acting Konsul Jenderal Republik Indonesia dan tokoh penting lainnya.

Pada kesempatan ini Walikota Noumea menetapkan nama Mohamed Raden Kasim (Moh Kasim) sebagai nama sebuah taman yang terletak di KM 6 Noumea. Bapak Kasim bukan hanya kebanggaan bagi orang-orang terdekatnya namun juga komunitas Indonesia di Kaledonia Baru.

Sumber: Deplu (KJRI Noumea)

Mereka Ingin Memelihara Kebudayaan Perancis,Apa Daya Tak Ada yang Menolong

| | | 0 komentar
Banyak di antara orang Jawa, yang kemudian menjadi Indonesia di Kaledonia Baru tidak beruntung mengenyam pendidikan tinggi. Mereka yang pada 1953 kembali ke Indonesia dan menetap di Totokaton, Kecamatan Punggur, Lampung Tengah demikian juga. Membicarakan kehidupan, mereka tidak banyak membedakan, karena di Kaledonia Baru mereka dapat hidup, di Lampung pun dapat bertahan. Yang membedakan adalah mereka yang mempunyai pensiun dari Kawasan Perancis dan kini tinggal di daerah Lampung. Mereka dapat menikmati pensiun mereka. Sedang yang tidak berpensiun, harus tetap bekerja sampai tua.

Kesempatan Kecil Bersekolah

Pardjan tidak bersekolah. Baginya hidup masa lalu dan sekarang sama saja. Kalau orang tidak mempunyai pekerjaan, tidak memiliki uang tidak dapat makan. Dulu di Kaledonia Baru ia mempunyai rumah. Kini pun di Totokaton ia mempunyainya. "Tapi sekarang hidup saya lebih lumayan," katanya.

Hidup Dari Pensiunan Lebih Enak

Bagi Wirjo Soepadmo, yang kini menikmati pensiun dari Kaledonia Baru, hidup di Indonesia lebih senang, karena "Ini negeri sendiri, sedang di Kaledonia Baru itu tanah orang. Di sana serba mahal, di Indonesia lebih murah. Di sana kalau satu orang makan, di Indonesia dapat untuk tiga orang. Dia merasakan ada perbedaan mencolok dalam soal pendidikan. Di Kaledonia Baru anak-anak mendapat jaminan dari negara. "Di Indonesia, orang yang berpendidikan tinggi mungkin enak, tetapi orang tua harus kaya untuk membiayai anaknya bersekolah." Hidup di Lampung dengan pensiun sebesar CPF 80.000, sudah berlebihan, dapat membantu orang lain. Tetapi ia mengatakan, "Masih kurang, untuk beli rokok!"

Kemerdekaan Berarti Perlakuan Sama


Dalam menghadapi kemerdekaan pada 1945, Soedjono Wonoredjo merasa senang. Ia mendengar Indonesia merdeka dari radio Perancis. Akibatnya dirasakan perlakuan orang Perancis berbeda, karena ada persamaan. Ia pun merasa bebas. Baginya kehidupan di masa lalu di Kaledonia Baru dan sekarang di Lampung sama saja. Petani harus bekerja, menanam keperluan hidup.
Mendorong Anak Bersekolah
Mangunpawiro yang rumahnya digunakan untuk berkumpul karena wawancara ini, mempunyai dua orang anak. Salah seorang anaknya, sudah sarjana. Dalam soal pendidikan ia mengatakan, "Orang tua mendorong, tetapi anak juga mau."

Mangunpawiro: mendorong anak bersekolah tinggi.
Sebagai petani ia merasa cukup hidup dari penghasilannya. Demikian juga untuk menyekolahkan kedua anaknya.

Tanah Tempat Berpijak

Sebagai transmigran, Susani dan orangtuanya hanya memperoleh dua hektar tanah. Satu hektar untuk sawah, seperempat hektar untuk rumah dan tiga perempat hektar untuk perkebunan. Tetapi setelah suaminya yang sementara bekerja di Kaledonia Baru kembali ke Lampung, mereka dapat membeli satu hektar tanah lagi. Sesudah suaminya meninggal, tanah ini diolah sebagai sawah oleh anak-anaknya.
Perhatian Pemerintah Perancis

Dubes Adian Silalahi

Pemerintah Perancis mempunyai perhatian juga kepada mereka. Djarimin menuturkan ada salah seorang Perancis yang bekerja untuk badan dunia di Jenewa datang mengunjungi mereka di Lampung. Perancis, melalui Masyarakat Eropa memberikan bantuan berupa pembangunan bendungan. Disain oleh Belanda, pengerjaan oleh Jepang dan Indonesia.
Alliance Français di Lampung

Duta Besar RI untuk Perancis dan Andorra, Drs. Adian Silalahi, di Paris menuturkan bahwa Alliance Français akan didirikan juga di Lampung. Konsul Jenderal Perancis di Jakarta juga pernah mengunjungi Lampung dengan akibat bahwa Lampung menjadi perhatian Perancis.

Hangat-hangat Tahi Ayam

Sebenarnya mereka ingin sekali menggiatkan masyarakat Totokaton, tetapi baik Djarimin maupun Susani mengatakan, kemampuan mereka berkumpul untuk melakukan kegiatan seperti misalnya belajar bahasa Perancis, hanya satu minggu. Jadi... hangat-hangat tahi ayam
Mengimbau Kedubes Perancis di Indonesia


Mereka juga ingin tetap memelihara bahasa Perancis, tetapi sarananya tidak ada. Kalaupun sehari-hari mereka berbahasa Perancis sangat terbatas, karena masyarakat sekitar tidak berbahasa Perancis. Itulah sebabnya, mereka menghimbau bantuan Kedutaan Besar Perancis di Jakarta, agar mereka dibantu misalnya untuk dapat menangkap siaran TV5 Monde (Asie). Ini berarti perlu antena parabola dan perangkat televisi.

Yang Tersisa

Mereka yang pada 1953 dari Kaledonia Baru kembali ke Indonesia dan menetap di Totokaton berjumlah 140 Kepala Keluarga dengan 600 jiwa. Selebihnya ada yang menetap di Palembang. Ada pula di Jawa Tengah dan tempat lain. Mereka yang tersebar ingin sekali kontak dengan sesama dari Kaledonia Baru. Cotohnya, Jacques Ichlas yang tinggal di desa kecil di kawasan Pekalongan. Penghuni Totokaton asal Kaledonia Baru kini tinggal 10 jiwa dengan 39 anak keturunan mereka.

Tetap jadi Perhatian

Totokaton tetap menjadi perhatian para peneliti. Kemungkinan Besar Frederic Mitterrand dan Elizabeth Schoungui dari TV5 Monde yang melaporkan 24 Jam di Jakarta pada 6 dan 7 Juli lalu, akan meliput juga orang-orang Kaledonia Baru.(26/07/2002 - DX-Komunikasi 28 Juli 2002)

Nenek Lumpuh Cicit Diponegoro Itu Tergusur

| | | 0 komentar
Sukartinah: "Akan saya perjuangkan rumah peninggalan ini, meski dengan keterbatasan saya."

Tinggal kekuatan hati yang dipersiapkan Sukartinah Ahruzar, 69 tahun, untuk menghadapi ancaman pengusiran dari rumahnya sendiri di Jalan Blitar Nomor 3, di belakang Taman Menteng, Jakarta Pusat.

Sukartinah bukan sembarang nenek. Menurut pengakuannya, dia adalah cicit Pangeran Diponegoro. Garis darah dengan pahlawan nasional yang dikagumi itu, kata Sukartinah, bersumber dari garis ayahnya, Raden Soekardjono Rekso Soeprodjo, dan kakeknya, Raden Dipodilogo.

Adalah Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang mengklaim rumah yang ditempati Sukartinah sebagai milik mereka. Sengketa berawal pada tahun 1987 dan PPI pun melayangkan gugatan atas rumah dan tanah yang telah ditempati Sukartinah sejak berpuluh-puluh tahun itu.

Surat tanah yang dimiliki Sukartinah dianggap tidak sah. PPI beralasan surat keterangan pembelian rumah di tahun 1952 atas nama ayah Sukartinah, Rd. Soekardjono, tidak sah karena perusahaan Belanda "NV Lettergieterij Amsterdam" tidak lagi berhak menerbitkan surat setelah perusahaan tersebut dinasionalisasi.

Sengketa pun berlanjut ke pengadilan hingga Mahkamah Agung. Hasilnya, majelis hakim MA mengabulkan permohonan kasasi PT PPI per tanggal 14 September 2009.

"Rumah saya sudah dalam proses lelang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Sukartinah, pasrah. Harga buka sudah ditetapkan senilai Rp8,5 miliar.

Sukartinah berkisah, kepemilikan rumah seluas 860 meter persegi ini bermula saat ayahnya bekerja di perusahaan Belanda itu. Karena sudah lama bekerja, Rd. Soekardjono diberi kesempatan untuk membelinya, dengan cara mencicil Rp10 ribu sebulan, antara 1952-1957.

"Rumah ini dibeli bapak saya dari perusahaan Belanda, Lettergieterij Amsterdam, tempat bapak saya bekerja. Ada surat tanah dan tanda terimanya," ujar Sukartinah.

Pada tahun 1957 perusahaan Belanda tersebut dinasionalisasi dan lalu berganti nama menjadi Perusahaan Perdagangan Indonesia.

Kursi roda

Sukartinah kini tinggal seorang diri di rumah seluas 860 meter persegi itu. Anak putri semata wayangnya, Syahnara Mahruza, 38 tahun, memilih tinggal dan bekerja di Hong Kong. Suaminya, Mahruzar telah meninggal sejak beberapa tahun lalu. Empat saudara kandung Sukartinah juga memilih tinggal di luar Jakarta.

Walaupun lumpuh sejak dua tahun lalu, Sukartinah tidak mau menggantungkan hidup pada orang lain. Meski hidup di atas kursi roda, dia tetap berusaha hidup mandiri. Semua dia lakukan sendiri, seperti ke pasar atau mengambil uang ke bank. "Sudah terbiasa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Belanja pakai kursi roda," ujar Sukartinah, saat ditemui VIVAnews.com di rumahnya, Jumat 12 November 2010.

Demi menyambung hidup, ia menyewakan halaman rumahnya untuk penitipan gerobak pedagang keliling. Hasilnya ia gunakan untuk membayar listrik dan kebutuhan hidup lain. Sang suami tak meninggalkan uang pensiun. "Gini-gini, saya anak Menteng," ujarnya sambil tertawa.

Sukartinah telah tinggal selama 64 tahun lalu di rumah itu, sejak dia berusia lima tahun. Menurut dia, rumah itu sudah dilunasi ayahnya. Tanda bukti pembelian dan surat tanah semua lengkap ia simpan. Pelunasan pun dilakukan sebelum perusahaan Belanda itu dinasionalisasi. Sebagai pemilik rumah, dia selalu runtin membayar pajak bumi dan bangunan. Makanya, dia heran kenapa tiba-tiba rumah warisan orangtuanya ini tiba-tiba diakui pihak lain.

"Akan saya perjuangkan rumah peninggalan ini, meski dengan keterbatasan saya," ujar Sukartinah, dengan nada tegas.

PPI hingga kini belum dapat dimintai penjelasannya. Saat dihubungi wartawan VIVAnews.com, Cindy staf legal PPI hanya menyatakan, "Tidak ada yang bisa kasih pejelasan. Pimpinan kami sedang keluar kota. Kembali hari Senin."

Sementara itu, Suryati Ananda (60) yang pernah mendampingi Sukartinah selama enam tahun untuk mengurus perkara ini juga mengaku kaget dengan upaya lelang eksekusi yang akan dilakukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurutnya, lelang itu tidak berdasar. Pada persidangan perdata di pengadilan yang sama, Sukartinah dinyatakan menang. Tapi di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung kliennya dikalahkan. "Bagaimana bisa, tiba-tiba kami kalah PT dan MA," ujarnya.

Suryati telah meminta kepada pengadilan untuk menunda eksekusi selama satu bulan. Entahlah hasilnya.

Sementara Pangeran Diponegoro telah dengan gagah-berani mengusir penjajah dari negeri ini, cicitnya kini harus terusir dari tanah yang telah puluhan tahun dia tempati. (kd)
• VIVAnews

Pilihan Terakhir Slamet Gundul

| | | 0 komentar
JARANG-jarang Mabes Polri mengeluarkan perintah paling keras dalam menangkap bajingan: hidup atau mati. Tahun 1989, Direktur Reserse Mabes Polri Koesparmono Irsan mengeluarkan perintah kepada segenap jajaran Reserse Polri di Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan Sumatera Bagian Selatan agar menangkap seorang buron dengan kata-kata ancaman tadi. ‘Tangkap Slamet Gundul hidup atau mati.’ Siapa Slamet Gundul? Lelaki berpipi tembam, hidung lebar, dan tanpa lipatan kelopak mata itu dulu pernah menjadi musuh polisi nomor satu.

Namanya berubah-ubah. Kadang Slamet Santoso, lain waktu Samsul Gunawan. Tapi julukannya yang top adalah Slamet Gundul. Dialah tersangka bos kawanan garong nasabah bank bersenjata api yang belasan kali menggegerkan berbagai kota di seantero Pulau Jawa. Polisi boleh dibilang sudah mati-matian mengejar buron itu. Tapi bukan Slamet Gundul namanya, bila tidak licin.

Ia beberapa kali lolos dari kepungan polisi. Pernah tertangkap dan diadili, tapi ia kabur dari halaman Pengadilan Negeri Jakarta Timur, begitu vonisnya dibacakan hakim. Slamet bersama 7 kawanannya pernah dicegat oleh enam jagonya reserse Polda Ja-Teng, dari Unit Sidik Sakti, di sebuah pompa bensin di Pandansimping, Klaten, Jawa Tengah, ketika hendak beroperasi. Lewat baku tembak selama 15 menit, seorang rekan Slamet, Jarot, tewas dengan lima peluru. Sedangkan dua orang lagi, Subagio dan Sugeng, tertangkap dalam keadaan terluka. Slamet sendiri, yang sudah kena tembak di kedua bahunya, masih bisa kabur dengan sepeda motor. Polda Jawa Tengah tentu saja gemas akibat lolosnya buron itu. Sebab, dalam setahun beroperasi di Semarang, komplotan Slamet bisa menjarah duit Rp 159,5 juta. Tahun 1989 komplotan itu merampas Rp 23 juta milik pedagang tembakau asal Kendal, Rp 40 juta uang juragan ikan, dan Rp 34 juta milik Universitas Islam Sultan Agung. Nasabah BCA cabang Peterongan kena sikat Rp 28,5 juta dan karyawan PT Nyonya Meneer kena rampok Rp 34 juta.

Setelah kelompok ‘Kwini’, Slamet agaknya mencatat rekor perampokan dalam frekuensi kejahatan dan hasil jarahan tertinggi saat ini. Korban utamanya memang nasabah bank. ‘Biasanya salah seorang dari kami datang dulu ke bank dengan sepeda motor, pura-pura jadi nasabah,’ kata Subagio dan Sugeng, anggota kelompok Slamet yang tertangkap di Klaten, hampir serempak. Dengan penyamaran itu, kata kedua orang tadi, mereka bisa mengetahui nasabah yang mengambil uang dalam jumlah besar. Kalau sudah dapat sasaran, komplotan Slamet itu akan menguntit mangsanya dengan sepeda motor. Dengan kode itu, Slamet, yang biasanya menunggu bersama gangnya di atas mobil di luar halaman bank, segera tahu mangsa yang dituju. Setelah itu, barulah kelompok Slamet, yang bermobil, menyusul dan menghadang korban.

Modus ini diduga juga dilakukan komplotan Slamet ketika merampok di kawasan Kampung Bali, Jakarta Pusat. Ketika itu mobil Chevrolet dengan penumpang dua karyawan CV Bambu Gading akan menyetor uang Rp 10 juta ke bank. Kendaraan mereka tiba-tiba dipepet kendaraan perampok, sebuah minibus dan dua buah sepeda motor. Mobil korban benar-benar tak bisa bergerak setelah minibus itu tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Pada waktu itulah perampok yang bersepeda motor mengacungkan pistol lewat jendela. Ketika komplotan itu beraksi, dua polisi, di antaranya Letnan Dua Soewito, mencoba menyergap mereka. Tembak-menembak terjadi. Dua perampok tewas, empat lainnya kabur. Tapi, di pihak polisi, Soewito roboh dengan peluru bersarang satu sentimeter di bawah mata kanannya. Sebelum ‘main’ di Semarang, pada 1987, reserse Jakarta memang beberapa kali menguber komplotan itu.

Waktu itu rekor Slamet sudah merampok 11 kali nasabah bank. Pada Januari 1987, dua regu reserse Polda Meto Jaya mengepung rumah sewaan Slamet di bilangan Pondok Kopi, Jakarta Timur. Tapi, begitu pintu rumah diketuk polisi, yang keluar cuma istrinya. Slamet sendiri, dengan menggenggam dua pistol Colt kaliber 32 dan 38 melompati tembok dua meter yang membatasi kamar mandinya dengan dapur tetangga. Di rumah itu sudah ada dua anggota polisi yang menunggunya.

Tapi polisi kalah cepat. Bagai koboi mabuk, ia menembak membabi buta. Ajaib, ia menerobos pagar puluhan petugas yang mengepungnya. Ia kabur setelah menyambar sebuah Metromini yang sedang dicuci keneknya. Toh pada awal tahun itu juga polisi berhasil menjerat belut itu. Bersama dua anggota komplotannya, Jarot dan Sahut, ia dihadapkan ke meja hijau.

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengganjar ketiganya masing-masing hukuman 3 tahun. Tapi, ketika petugas menggiring ketiga terpidana itu ke mobil tahanan, mereka mendorong pengawal tersebut dan segera lari. Hanya Sahut yang bisa diamankan lagi. Tapi Slamet dan Jarot kabur dengan pengendara sepeda motor, yang anehnya telah menunggu di luar halaman pengadilan.

Menurut Sugeng dan Subagio, bos mereka selama di LP Cipinang justru berhasil merekrut anggota baru dari sesama rekan tahanan di sana. ‘Slamet itu orangnya pandai mengambil hati, sehingga banyak yang bersedia ikut kelompoknya,’ kata mereka. Sugeng dan Subagio, yang masuk Cipinang juga karena merampok bank, mengaku ikut Slamet setelah berkenalan di Cipinang tersebut. Subagio, setelah menjalani hukuman selama 2 tahun, baru dilepas awal 1989. ‘Setelah saya keluar LP, saya lalu menghubunginya,’ ujarnya. Menurut mereka, meskipun Slamet yang menyusun skenario kejahatan dengan kekerasan itu, toh sebenarnya ia tak kejam. ‘Ia belum pernah membunuh korban-korbannya,’ kata Sugeng. Yang kejam itu, kata mereka, justru Jarot, yang mati tertembak di pompa bensin itu.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1989/07/15/KRI/mbm.19890715.KRI20959.id.html

Johnny Indo, Petualangan Perampok Budiman

| | | 0 komentar
Dengan tubuhnya jangkung dengan kulitnya yang bersih. Tutur katanya halus. Mungkin orang akan mengira dia hanyalah seorang lelaki biasa saja. Seorang ayah yang baik, yang mengajari PR bagi anak-anaknya, atau suami yang menyayangi istrinya. Apalagi di masa mudanya di juga tampan. Dan dia indo, lahir di Garut Garut, 06 November 1948. Tapi siapa sangka dia adalah pimpinan kawanan perampok yang sangat disegani. Yohanes Hubertus Eijkenboom atau Johnny Indo.

Johny Indo dan 12 anak buahnya yang ia beri nama “pachinko” alias pasukan china kota sangat disegani sebagai perampok yang malang melintang di Jakarta dan sekitarnya. Johnny Indo adalah spesialis perampok toko emas dan selalu melakukan aksi pada siang hari. Mereka yang merampok toko emas di Cikini, Jakarta Pusat, pada 1979. Perampokan ini menjadi berita yang menggemparkan karena gerombolan membawa lima pistol, satu buah granat, dan puluhan butir peluru. Johnny mengaku mendapatkan senjata api dari sisa-sisa pemberontakan RMS, PRRI atau DI TII.

Mengaku sebagai anak kampong, sesungguhnya Johnny Indo berasal dari keluarga miskin. Sejak kecil dia suka membaca buku termasuk petualangan Sunan Kalijaga yang sebelum menjadi wali merupakan perampok, namun perampok untuk kebaikan semua dengan membagikan hasil rampokan kepada orang miskin. Atau tentang Si Pitung seorang perampok budiman dari Jakarta. Robbin Hood yang berkiprah di desa kecil bernama Nottingham, Inggris.

Berkali-kali pula Johny Indo mengulangi perbuatannya dan hasil jarahannya dia bagi-bagikan kepada masyarakat miskin. Namun sepandai-pandai tupai melompat sekali gagal juga. Pepatah itu nampaknya berlaku juga buat Johny Indo dan kelompoknya. Karena kekuranghati-hatian salah seorang anggota kelompoknya yang menjual emas, hasil barang jarahan sembarangan, satu demi satu anak buah Johny Indo dibekuk petugas. Johny Indo akhirnya tertangkap di Gua Kiansiantang, Sukabumi, Jawa Barat. Dia diganjar 14 tahun penjara dan dijebloskan ke penjara yang keamannya ekstra ketat Nusakambangan.

Ternyata mendekam di Nusakambangan tidak membuat petualangan Johny Indo berakhir. Bersama 14 tahanan lainnya, Johny Indo membuat geger karena kabur dari sel. Hampir semua aparat keamanan waktu itu dikerahkan untuk menangkap Johny Indo dan kelompoknya. Namun setelah bertahan hingga dua belas hari, Johny Indo pun menyerah. Dia menyerah karena sudah berhari-hari tidak makan. Selain itu 11 tahanan yang melarikan diri bersamanya tewas diberondong peluru petugas. Kisah pelarian Johny Indo yang legendaries itu bahkan sempat diangkat ke layar film dengan Johny Indo sebagai bintangnya sendiri.

Johnny Indo yang dalam karirnya merampok pantang melukai korbannya selama di penjara itu banyak waktu luang, dari sana mulai berfikir tentang jati diri, akhirnya selama dipenjara banyak belajar agama Islam karena sebelumnya beragama nasrani.

Kini Johny Indo tinggal di daerah Sukabumi, Jawa Barat bersama istrinya, Vinny Soraya dan kedua putra-putrinya. Ia telah berubah. Ia menjalani kehidupan barunya sebagai seorang juru dakwah. Di saat senggang ia menghabiskan waktu dengan membenahi rumahnya yang sederhana sambil menunggu panggilan dakwah.

sumber http://dekade80.blogspot.com/2009/02/johnny-indo-petualangan-perampok.html

Mereka Lebih Suka Dipanggil Budaknya Cornelis

| | | 0 komentar
Salah satu keturunan Belanda Depok Suzana Leander, sekaligus pengurus Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC). (Foto: Marieska Harya Virdhani/okezone)

{baca juga : Siapa Sebenarnya Belanda Depok?}

Dua belas marga keturunan budak-budak yang dipekerjakan untuk merawat tanah perkebunan dan pertanian milik Cornelis Chastelein, mengaku merasa terhina jika disebut Belanda Depok. Pasalnya sebutan Belanda Depok seperti suatu celaan yang menyamakan mereka dengan bangsa penjajah.

Salah satu keturunan mereka yang juga anggota Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC), Suzana Leander menuturkan, mereka lebih senang jika dipanggil budak-budak. Karena secara fisik saja, kata Suzana, mereka memang orang Indonesia asli yang kebetulan dipekerjakan oleh Cornelis Chastelein, bukan orang asing yang memiliki logat atau aksen Belanda.

"Kami tersinggung jika dipanggil Belanda Depok, itu penghinaan buat kami, Belanda kan kulitnya putih rambutnya pirang. Kami itu pribumi, beda. Kami bukan penjajah," tegasnya saat berbincang dengan okezone di kantor, Pancoran Mas Depok.

Suzana sendiri, memang sama sekali tidak berperawakan layaknya keturunan bangsa Belanda. Suzana berkulit coklat, bermata dan berambut hitam, tidak memiliki postur tinggi layaknya orang-orang Eropa, serta tidak pula bisa berbahasa Belanda yang kerap kali memanggil orang pribumi dengan sebutan inlander.

"Hanya kakek nenek dan orang tua kami saja yang mengerti bahasa Belanda, karena memang dibesarkan dan hidup pada zaman Cornelis Chastelin. Kami sama sekali tidak bisa berbicara bahasa Belanda. Mungkin ada beberapa di antara kami yang hanya mengerti tapi tidak bisa mengucapkan, karena kami memang orang Indonesia asli. Coba saja bedakan, tak ada beda," tuturnya lagi.

Kini di bawah naungan YLCC, mereka aktif di semua kegiatan kerohanian gereja, dan memberikan bantuan bagi keturunan mereka yang sudah jompo. Suzana menambahkan, mereka ingin mencerdaskan keturunan mereka serta masyarakat umum dengan membangun SMP Kasih yang berada dalam satu gedung dengan YLCC.

"Karena itu, meski kami tergabung dalam satu komunitas, tapi kami tetap hidup membaur," ujarnya.

Cita-cita Cornelis Chastelein ingin mempersatukan Depok, kini terwujud dengan bergabungnya Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Sukmajaya, Kecamatan Beji, dan Kecamatan Sawangan. Dahulu, kata Suzana, masyarakat dari kecamatan di luar Kecamatan Pancoran Mas tak mau mengaku berasal dari Depok karena faktor perbedaan agama.

"Dulu mana mau orang Beji mengaku orang Depok, karena Depok hanya kecamatan Pancoran Mas," jelasnya.(hri)

okezone

Des

| | | 0 komentar
Des Alwi adalah seonggok sejarah Indonesia dalam miniatur yang padat. Juga berwarna-warni. Jika kita lihat lelaki ini duduk di bawah pohon ketapang berumur 100 tahun yang menaungi halaman hotelnya di Bandaneira, jika kita ingat sosok yang tambun tinggi itu sudah ada di tempat itu pada 1936 dan, sebagai anak kecil, melihat Hatta dan Syahrir jadi orang buangan yang turun dari kapal dengan paras pucat, kita bisa iri kepadanya: begitu banyak yang telah dilihatnya, begitu beragam pengalamannya, begitu pas ia di pulau Maluku itu. Begitu "Indonesia".

Des Alwi seperti Bandaneira: elemen yang sering tak diingat, tapi saksi penting dari riwayat Indonesia—dalam hal ini Indonesia sebagai sebuah perjalanan kemerdekaan. "Di sini," kata Rizal Mallarangeng, yang telah dua kali ke Bandaneira dengan rasa kagum kepada para perintis kemerdekaan yang dibuang ke pulau itu, "bermula apa yang kemudian menjadikan Indonesia." Dia benar: di sini berawal kolonialisme dan antitesisnya.
Kita bisa baca: di Banda-lah pada 1529 usaha kolonisasi Eropa dipatahkan; di sini kontingen orang Portugis terus-menerus diserang hingga mereka batal membangun sebuah benteng. Hampir seabad kemudian, pada 1609, ketika sepasukan Belanda mencoba memperkuat Benteng Nassau, para pemimpin Banda, disebut "orang kaya", membunuh laksamana asing itu dengan segenap stafnya.

Banda mencatat konflik seperti itu sampai ke dalam abad ke-20: para penentang VOC (kemudian Hindia Belanda) diasingkan ke sini silih berganti. Kita tahu sebabnya: pada mulanya adalah rempah-rempah, terutama pala, yang di dunia hanya ditemukan di Banda, yang menggerakkan perdagangan internasional paling awal, seperti minyak bumi di zaman ini. Dan bersama perdagangan, datang peradaban. Juga kebiadaban.

Sebelum orang Portugis masuk ke Maluku di abad ke-16, letak Banda yang kaya rempah itu dirahasiakan para saudagar Arab (atau "Mur") yang membawa barang berharga itu ke Eropa. Kemudian penakluk dari Semenanjung Iberia masuk, kemudian Belanda dan Inggris. Perjalanan jauh dan berbahaya, tapi mereka selalu datang. Untuk laba yang 300 kali lipat dari jual-beli pala, bahkan yang bengis siap dihadapi dan diberlakukan.

Di Bandaneira ada sebuah monumen kecil. Di Parigi Rante itu ada sebuah sumur di sepetak halaman. Di sanalah, 8 Mei 1621, seregu samurai Jepang didatangkan Jan Pieterszoon Coen (Gubernur Jenderal VOC yang terkenal itu) ke Neira. Mereka disewa untuk menyembelih 40 orang pemuka masyarakat Banda yang menolak klaim Belanda dalam monopoli niaga pala. Tubuh ke-40 orang itu dicincang, kepala mereka dipancangkan di deretan tiang.

Di dinding di belakang perigi itu juga tertulis sederet nama orang dari pelbagai penjuru Nusantara yang dibuang ke pulau itu sejak abad ke-19: dari Pontianak, Yogya, Kutaraja, Cirebon, Serang, Blitar. Di abad ke-20 ada nama yang kini lebih dikenal: Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, Syahrir.

Tak akan mengherankan bila dari kepulauan ini sejarah tampak berbeda: kita tak akan mengatakan bahwa yang berlangsung selama lebih dari 350 tahun di Nusantara adalah 350 tahun penjajahan. Dari Banda kita jadi tahu: sejarah Nusantara adalah 500 tahun perlawanan. Dan Des Alwi, yang lahir 7 November 1927 di Neira dan sejak kecil mengenal Cipto, Hatta, dan Syahrir—orang-orang hukuman yang mengubah hidup Des—mungkin saksi terakhir dari rangkaian perjuangan panjang itu. Saya menyadari itu ketika sore itu saya dan beberapa teman duduk di dekatnya, mendengarkan ceritanya, di petak atap Benteng Belgica yang berumur 400 tahun. Seakan-akan di sore itu, sejumlah abad bertemu.

Benteng yang menjulang hitam di bukit ini dibangun Belanda pada 1611. Letaknya dipilih pada posisi yang bisa mengawasi seantero selat dan laut. Sejak didirikan, empat menara pengintainya menyaksikan armada-armada Eropa datang, meriam-meriam ditembakkan, destruksi dan pembunuhan berkecamuk: 200 orang Belanda dihabisi pasukan Inggris di Pulau Ai pada 1615, ratusan orang Inggris dibantai Belanda sebagai pembalasan. Dari sini pula tampak kapal-kapal Inggris meninggalkan Pulau Run setelah pulau itu ditukar-guling dengan Pulau Manhattan milik Belanda di New York pada 1667. Tapi seratus tahun lebih kemudian, pada 1810, marinir Inggris merebut Benteng Belgica.

Abad demi abad, energi dicurahkan, dan uang diperebutkan dengan gigih dan ganas hingga dunia berubah. Kekuasaan pun tegak dan runtuh, kemerdekaan ditindas atau dilahirkan….

Hari mulai gelap ketika Des berkisah tentang kemerdekaan yang dicoba digagalkan tapi dilahirkan kembali: Indonesia yang tak mudah. Des bukan sejarawan, bukan pula pelaku utama, tapi—dan ini lebih menarik—ia saksi yang terlibat. Jika kita baca bukunya yang baru, Friends and Exiles, yang diterbitkan Cornell University, kita dapatkan bukan saja kisah kelahiran Indonesia, tapi juga kisah seorang yang "menjadi Indonesia", sejak dari darah dan dagingnya, sampai dengan ketika ia terlibat, sengaja atau tidak, dalam peristiwa-peristiwa besar yang mengguncang dan membentuk tanah airnya.

Des Alwi Baadila—yang orang tuanya berdarah Cina dan "Mur" (nama "Baadila" ditemukan di Maroko dan Spanyol), yang masa kecilnya dibentuk Hatta dan Syahrir, yang masa mudanya ikut bertempur dan terluka di Surabaya 10 November 1945—adalah contoh bahwa Indonesia "men-jadi" dengan riwayat seperti pantai pulau-pulau Banda: kekerasan bisa meletup, tapi inilah negeri yang tak merasa perlu memberi batas mutlak tentang "luar" dan "asing". Kecuali ketika yang "luar" dan "asing" itu menegaskan diri dengan senjata dan pemaksaan. Dan kita melawan.
Goenawan Mohamad

Tulisan ini pernah dimuat pada majalah Tempo, 19 Oktober 2009. Diterbitkan ulang untuk mengenang Des Alwi.

http://www.tempointeraktif.com/hg/caping/2010/11/15/mbm.20101115.CTP135123.id.html

Bekal Terakhir dari Ibu

| | | 0 komentar
Mereka meninggal dalam tugas. Direlakan keluarga menjemput maut di daerah bencana.

-Aris Widyatmoko. Usia 19 tahun. Seharian menolong pengungsi, Kamis petang 4 November 2010 itu, dia terlihat lelah. Ribuan pengungsi itu lari dari kampung-kampung di Kinahrejo, Cangkringan. Dihalau wedhus gembel yang dimuntahkan perut Merapi.
Aries memang dari Cangkringan, tapi kampungnya belum disergap awan panas. Pada erupsi pertama, Selasa 26 Oktober 2010 itu, petaka hanya sampai di kilometer 10 dari pucuk Merapi. Di luar radius itu masih aman. Dan Aris, seperti halnya sejumlah anak muda dari dusunnya, ramai-ramai menjadi relawan. Menolong para pengungsi. Mengangkut barang.

Badan letih. Keringat. Dan kotor. Aries lalu pamit mandi pada ibunya, Rahayu. Sang Ibu juga ikut membantu di pengungsian. Rencananya, sesudah mandi dia meluncur ke Dusun Glagah Mayang. Di situ logistik untuk pengungsi ditumpuk.
Glagah Mayang, dua kilometer dari pengungsian. Ke arah pucuk Merapi.
Dipamiti sang anak, Rahayu yang juga terlihat lelah sontak menyodorkan uang. Dua lembar sepuluh ribu. Uang itu sudah lecek dan kumal. “Untuk beli rokok dengan teman-temanmu,” kata sang Ibu. Sebelum melaju, Rahayu mengingatkan sang anak agar hati-hati, “ Kalau ada apa-apa cepat turun.”

Aries girang. Ini pertama kalinya, sang Ibu merelakan sangu (uang) membeli rokok. Rahayu memang super ketat. Melarang keras sang anak mengepulkan asap. Aries lalu meluncur. Motor melaju di keheningan malam. Melewati rerimbunan pohon bambu. Gelap.
Di rumah dia bertemu sang ayah, Sriyono. Sesudah mandi dia pamit. Seperti sang Ibu, ayahnya juga berpesan agar hati-hati. Dan, jangan lupa makan. Dalam kegelapan malam, Aries kembali memacu motor. Melaju ke Glagah Mayang. Sang ayah ke pengungsian.

Beberapa jam kemudian sirene di pengungsian berpekik meraung. Wajah-wajah cemas. Raung Sirene itu sahut menyahut dengan perintah mengungsi dari pengeras suara.
Jumat dini hari 5 November itu, Merapi kembali mengamuk. Awan panas menusuk langit setinggi 8 kilometer. Membuhul, bergulung-gulung seperti susunan kulit domba. Lalu menghempas ke kampung-kampung, dusun dan desa, dalam radius belasan kilometer. Sejumlah ahli gempa menghitung bahwa dini hari itu, sekitar 100 juta meter kubik material meluncur dari perut Merapi.

Muntah sebanyak itu, Merapi mencatat rekor terbaru. Terdasyat selama 100 tahun belakangan. Horor juga berlipat kali. Warga harus menjauh. Radius aman di luar 20 kilometer dari pucuk petaka. Dan posko pengungsian itu dalam radius bahaya. Cuma belasan kilometer dari mulut Merapi.

Dalam suasana mencekam, Sriyono dan Rahayu membangunkan ibu-ibu tua yang sudah terlelap. Banyak yang bertanya ada apa gerangan. Dalam kegentingan itu, sedetik waktu berarti nyawa. Terlambat bergerak matilah sudah.

Rahayu mengabaikan semua pertanyaan. Terus berpekik agar warga bergegas. "Saya suruh pengungsi naik motor dan truk mencari tempat yang lebih aman," katanya. Jalanan gelap. Listrik mati. Cuma diterangi lampu motor dan mobil yang berebut melaju.
Sudah separuh perjalanan, barulah Rahayu teringat anaknya, Arief Widyatmoko. Markas logistik yang dijaga sang anak itu jelas masuk radius super bahaya. Sembari menghela pengungsi, berkali-kali dia menelpon. Tak bersahut. Nada masuk pun tidak. Rahayu cemas alang kepalang.

Sang ayah berusaha balik arah. Tapi itu seperti memacu motor menuju “kematian”. Baru puluhan meter melaju, suara gemuruh terdengar kencang. Cuma beberapa depa di depan Sriyono, api melahap pohon-pohon bambu. Sriyono balik kanan. Menjauh dari kenggerian itu. Kepanikan merasuki puluhan ribu orang. Awan panas sudah mengalir di Sungai Gendol, yang tak berapa jauh dari pengungsian.

Kengerian dan haru biru itu ditonton berjuta mata dari seluruh negeri. Sejumlah stasiun televisi yang menggelar siaran langsung, memperlihatkan betapa kematian tidak saja dekat , tapi juga mengejar. Orang-orang tiba di Yogyakarta dengan debu tebal menempel baju, jaket, hidung, dan kepala. Juga menutup mobil, menutup lampu, yang membuat jalanan gelap gulita.

Bergegas dalam kegelapan itulah yang menyebabkan satu keluarga tewas. Mereka salah arah. Mestinya ke Yogyakarta, malah menghampiri Merapi. Menghampiri kematian.
Rahayu yang membantu para pengungsi menuju Yogyakarta, terus menelepon sang anak. Tapi sama sekali tak bersahut. Di lokasi pengungsian yang baru, dia akhirnya tahu bahwa Glagah Mayang sudah tertimbun awan panas. Rahayu meraung menangis. Bersama suaminya, dia bergegas ke sejumlah lokasi pengungsian lain. Berharap sang anak masih hidup. Berkali-kali pula mendatangi Rumah Sakit Sardjito, tempat korban tewas dan luka dirawat.

Empat hari ke sana-ke mari hasilnya sia-sia belaka.
Dan berita duka itu datang Senin pagi, 8 November 2010. Tim SAR menemukan Aries dalam kondisi terpanggang. Jenazah diangkut ke Sardjito. Rayahu histeris melihat kantong mayat itu.”Maafkan Ibu nak,”dia berseru berkali-kali, sembari berlutut memandang kantong itu.

Adalah Rahayu yang mewariskan darah relawan kepada Aries. Ibu berusia 50 tahun ini sudah lama bergabung dalam Taruna Siaga Bencana (Tagana). Rahayu memang sempat ragu ketika sang anak bergabung dalam Tagana. Belakangan dia bangga sebab Aries terlihat tekun. Senang. Iklhas menolong pengungsi.

Saat erupsi pertama, 26 Oktober 2010, Aris membantu ibunya mengevakuasi warga di sekitar Merapi. Juga ikut mengumpulkan obat dan makanan. “Padahal anak itu suka susah dikasih tau orang tua,”kenang Rahayu


Lelucon terakhir Supriyadi

Kamis pagi 4 November 2010. Posko logistik Dusun Glagah Malang, jadi riuh. Dan itu karena Supriyadi. Entah kenapa, pemuda 29 tahun itu memakai pakaian perempuan. Lalu berlenggak-lenggok menuju dapur umum.

Orang-orang tertawa terbahak-bahak melihat aksi kocak ini. Supriyadi adalah lelaki tulen luar dalam. Tapi di posko itu dia membaktikan diri di dapur. Memasak nasi, sayur dan lauk pauk. Di garis depan itu, wanita memang jarang. Kepada teman-temannya, Supriyadi bergurau bahwa busana wanita, juga aksi lenggak-lenggok itu dilakukan agar masakannya bisa maknyus seperti olahan kaum hawa.

“Ternyata itu lelucon terakhir,” kata Hadi B, rekan Supriyadi yang ditemui di Rumah Sakit Sardjito. Saat Merapi menebar abu kematian Jumat dini hari itu, Supriyadi dan sejumlah kawannya terjebak dalam barak. Tak sempat menyelamatkan diri . Sebab awan panas menyapu cepat.

Supriyadi lahir di Kulonprogo, Yogyakarta. Dia sudah bergabung dengan Tagana semenjak tahun 2004. Orangtuanya, Samudji dan Tumirah, merantau ke Riau. Bekerja sebagai petani kelapa sawit. Dari hasil sawit itulah mereka menyekolahkan sang anak hingga perguruan tinggi.

Ketika Merapi meletus, Supriyadi sedang menyusun skripsi. Dia kuliah di Sekolah Tinggi Pertanian (Stiper) di Yogyakarta. Jika maut tidak menjemput, tak lama lagi dia wisuda. Lewat seorang paman bernama, Slamet, kematian itu dikabarkan ke Riau.

Tanggal 9 November Samudji tiba di Yogyakarta. Langsung menuju kamar forensik. Demi melihat jenazah itu, Samudji bercucur air mata. Dia memastikan, jenazah dalam kantong itu adalah anaknya.”Dari ciri-cirinya itu benar putra saya. Mau bagaimana lagi. Saya rela,”ujar sang ayah sembari mengusap air mata. Kandas sudah harapan Samudji. Harapan agar si sulung itu menjadi sarjana.

Berakhir di kampung sendiri

Jupri sudah mengungsikan keluarganya sesudah erupsi pertama, 26 Oktober 2010. Lama menjadi relawan, naluri waspadanya selalu menyala. Semua keluarga diungsi ke Barak Balai Desa Banjarsari, Cangkringan, Sleman. "Jangan tinggal di rumah dulu, tinggal di pengungsian. Biar gampang jika sewaktu-waktu Merapi meletus lagi," begitu pesan Jupri kepada adiknya yang bernama Dwi Prasetyo.

Kamis sore, 4 November 2010 itu tidak ada tanda-tanda Merapi mengamuk lagi. Jupri pamit pada keluarga. Dia hendak berangkat ke posko logistik, yang jauhnya 2 kilometer dari pengungsian. Ke arah Merapi. "Saya titip keluarga. Ingat kamu harus berjaga. Kalau ada apa-apa cepat lari ke bawah," kata Jupri kepada Dwi. Dia lalu menyapa satu persatu. Rini, sang istri, anak dan kedua orang tuanya.
Jupriyanto, begitu nama lengkapnya, sudah semenjak tahun 2004 masuk Tagana. Berbakti menjadi relawan. Lelaki 35 tahun itu sudah melalangbuana dari satu petaka-ke petaka yang lain.

Dia pernah berkubang mencari korban ketika tsunami menghempas Panggandaran beberapa tahun lampu, jumpalitan menyelamatkan orang dalam gempa Bantul dan mencari jenazah pada sejumlah wilayah yang dihempas banjir. “Menyelamatkan nyawa orang wajib hukumnya. Tanpa peduli apapun agama dan suku. Itu yang selalu kakak saya katakan ketika keluarga cemas atas profesinya itu," ujar Dwi.

Meski sering merelakan sang suami ke daerah bencana, sore itu Rini ragu melepas sang suami. Apalagi posko itu dekat ke Merapi. "Kamu hati-hari mas, aku dan Fauzi (anaknya) serta bapak dan ibu khawatir," kata Dwi mengulang pesan Rini.
Jupri cuma tersenyum. Dia berusaha menenangkan sang istri. “Aku pasti kembali," katanya. Sebelum menyalakan motor dia mencium kening sang istri. Kening anaknya. Mencium tangan kedua orangtuanya, sang ayah Trantowiyonom yang berusia 60 tahun dan Lanjariah, 55 tahun.

Jumat dini hari itu, suasana di pengungsian panik alang kepalang. Suara sirine dan perintah mengungsi bergema. Keluarga Jupri panik. "Saya disuruh bapak jemput Jupri tapi suasana sudah mencekam. Desa sudah terbakar,” kisah Dwi sambil meneteskan air mata.

Dalam suasana haru-biru menyelamatkan diri, Dwi mencoba menghubungi sang kakak. Gagal. Telepon seluler Jupri sudah tak hidup. Setelah tiba di posko pengungsian yang baru, keluarga terus mencari Jupri. Bertanya kepada Tim SAR, teman-temannya di Tagana, dan berkali-kali datang ke Sardjito. Nihil. Mereka berharap Jupri selamat.
Tapi pagi Senin, 8 November 2010, kabar duka itu datang dari Tim SAR. Mayat Jupri ditemukan terpanggang di barak logistik Glagah Malang, Cangkringan. "Saya, ibu dan keluarga ikhlas. Ini suratan Tuhan,” tutup Dwi. Setelah bertaruh nyawa dari satu petaka ke petaka yang lain, Jupri berakhir di kampung halamannya. (wm)
• VIVAnews

Mereka Pahlawan Bencana

| | | 0 komentar
Dari bencana ke bencana, para relawan itu bekerja menyelamatkan sesama.

Irfan Yusuf baru usai salat maghrib ketika seorang kawan mengabarkan terjadi erupsi di Gunung Merapi, Selasa, 26 Oktober 2010. Tanpa pikir panjang, ia segera memacu kendaraannya dari kota Yogyakarta menuju Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman.

Di tengah sayup-sayup raungan sirine tanda bahaya, niatnya terhenti di barak pengungsian Umbulharjo, sekitar lima kilometer menjelang Kinahrejo. Kepanikan melanda. Sejumlah warga menangis histeris kehilangan kontak dengan sanak keluarga.
“Yang ada di pikiran hanya bagaimana menemukan orang-orang hilang itu dalam kondisi selamat,” kata anggota tim SAR
Keputusan nekat diambil. Sekitar pukul 20.00, bersama empat anggota SAR dan tiga warga setempat, Irfan mendekati Kinahrejo. Mereka menantang maut di tengah muntahan awan panas yang belum tuntas.

Semakin dekat, hawa panas dan ruap belerang menyeruak. Kobaran api pun mulai tampak memecah kegelapan malam. Dan, mimpi buruk itu terjawab di perbatasan dusun.

Sejauh mata memandang, hanya ada tarian api melumat pepohonan, kendaraan, juga bangunan. Bertabur abu pekat, dusun itu hancur. Bangunan terbakar. Pohon bertumbangan. Tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan di jalan masuk dusun. Lamat-lamat, rintihan memilukan terdengar.

Hanya berpelindung masker hidung, mereka menerobos ‘neraka’ di hadapan mata. "Suasananya panas sekali, abu pekat. Kami berpijak di potongan-potongan kayu yang berserak. Tanah panas. Sepatu teman saya saja sampai meleleh dan kakinya melepuh," kata Irfan.

Naluri mengantar mereka pada sumber rintihan. Tujuh orang masih bernyawa dengan luka bakar cukup serius. Tandu darurat dari sarung, dan potongan dahan dipakai menggendong mereka. "Kami bonceng dengan sepeda motor sampai ada mobil yang membantu membawanya ke rumah sakit," ujarnya.

Evakuasi tujuh korban hidup selesai. Irfan dan empat anggota SAR lainnya masuk ke area lebih dalam. Berharap menemukan korban hidup. Mereka menyisir keberadaan Mbah Marijan yang ketika erupsi masih salat di masjid. Tapi, nihil.
Di sekitar masjid dan rumah Mbah Marijan, mereka hanya menemukan empat jasad hangus. "Setelah Mas Iman Surahman dari Dompet Dhuafa datang, saya baru tahu kalau salah satunya adalah jasad wartawan VIVAnews Yuniawan Wahyu Nugroho," ujarnya.
Di tengah situasi mencekam, sejumlah relawan segera mengevakuasi jasad-jasad itu ke rumah sakit.

Dilindungi mayat

Seperti bermain petak umpet dengan maut, relawan seperti Irfan harus siap dengan perhitungan risiko mengancam jiwa. Tak jarang mereka tewas di medan bencana. Seperti kisah lima relawan yang meninggal, saat melakukan evakuasi korban di lereng Merapi.

Meski begitu, bukan ancaman nyawa yang membuat relawan ciut, tapi justru pemandangan menyentuh hati. "Saya paling nggak tega kalau melihat jasad wanita dalam kondisi memeluk anak. Tentara saja banyak yang nggak tega mengevakuasi," kata Irfan. "Ini banyak kami temui di Merapi dan gempa Yogya."

Rasa sentimentil itu juga merayap pada Sigit Agung Maryunus. Emosi anggota Palang Merah Indonesia (PMI) ini tak jarang diaduk-aduk saat menyaksikan pemandangan memilukan di hadapan mata. "Saya kuat di alam, saya tegar, tapi saya juga manusia yang bisa menangis," ujar lelaki yang lebih 20 tahun mengabdi sebagai relawan bencana.

Sigit masih menyimpan kenangan saat membantu korban gempa bumi di Yogyakarta, 2006. Kala itu, ia tengah berjuang mengeluarkan korban meninggal dari reruntuhan rumah saat bumi kembali bergoyang.

"Tiang beton rubuh menghantam jasad itu sampai darahnya muncrat ke tubuh saya. Saya terlindung jasad itu. Saya sangat berterima kasih kepada jasad itu karena telah menyelamatkan saya," ujar Sigit menahan isak. “Sudah meninggal tapi masih bisa menyelamatkan nyawa orang lain.”

Bagi Irfan dan Sigit, menjadi relawan bencana bukan aktivitas mudah. Mereka seringkali dihadapkan pada kondisi sulit, mengancam jiwa dan menguras emosi. Tapi, pekerjaan ini seperti sebuah panggilan hidup.

Bagi Irfan dan Sigit misalnya, menjadi relawan bencana adalah panggilan hidup mereka sejak masih belia. Kepekaan terhadap alam dan rasa kemanusiaan Irfan terasah sejak bergabung di organisasi pecinta alam semasa kuliah. Irfan kerap terlibat pencarian orang hilang di gunung.

Panggilan itu kian akrab. Dia memutuskan bergabung dengan tim SAR enam tahun silam. "Saya sempat dikirim menangani korban di sejumlah area bencana seperti tsunami di Aceh 2004, juga gempa bumi di Yogyakarta 2006," kisah lelaki 29 tahun ini.
Sementara Sigit memberanikan diri bergabung sebagai relawan PMI semasa duduk di bangku SMA, 1990. "Panggilan jiwa saja tidak cukup. Saya pikir, saya juga butuh obat-obatan untuk menolong, makanya saya masuk ke PMI," ujar pria kelahiran 1974 ini.
Sayap-sayap malaikat

Tak semua relawan berada di 'garis depan' seperti Irfan dan Sigit. Banyak relawan yang tersebar, mulai dari pos pengungsian, posko kesehatan, hingga dapur umum. Mereka terjun sesuai keahlian masing-masing, peran mereka tak kalah penting bagi korban bencana.

Seperti Ariyo Faridh, 30 tahun, yang terlibat memulihkan trauma anak-anak korban bencana di sejumlah daerah. Ia terjun ke sejumlah medan bencana seperti Aceh, Bengkulu, Pangandaran, Tasikmalaya, Situ Gintung, dan Merapi. "Saya terlibat melalui terapi dongeng untuk anak-anak," ujarnya.

Setiap kali mendengar bencana besar, Ariyo segera mencari 'kendaraan' seperti lembaga swadaya agar mudah menjangkau korban bencana. Demi panggilan jiwanya, ia tak sungkan membolos kerja, atau cuti untuk menghibur anak-anak korban bencana. "Saya kecanduan cari pahala," ujarnya sambil tertawa.

Jalan sama juga pernah dialami Iman Surahman. Sebelum memegang amanah memimpin Disaster Management Center Dompet Dhuafa, dia keluar masuk area bencana sebagai pendongeng.

"Saya selalu menjadikan anak-anak lokomotif untuk mempercepat pemulihan trauma pascabencana. Saya ajak anak-anak bangkit menyemangati orangtuanya," ucap Iman, yang sudah menjelajah puluhan medan bencana skala kecil hingga besar di dalam negeri maupun mancanegara.

Ada kenikmatan, dan rasanya seperti candu, saat mereka berhasil mengubah situasi muram dan penuh tangis, menjadi senyuman. Atau membuat korban tergelak-gelak dengan cerita menghibur. Kondisi inilah membuat tali emosi terjalin antara relawan dan para korban.

“Bahkan, beberapa kali saya bawa anak-anak korban bencana sebagai oleh-oleh untuk istri di rumah. Ketika saya masuk ke lokasi bencana saya ingin mengikat hati saya di situ,” ujar lelaki yang kini mengasuh delapan anak angkat di kediamannya di kawasan Bekasi, Jawa Barat.

Kedekatan emosional dengan korban bencana juga membuat Ariyo tak kuat menahan haru. Saat itu sepucuk surat hinggap di rumahnya di Jakarta. Surat itu dari bocah korban bencana tsunami Aceh yang masih berusia empat tahun. Isinya cuma satu kalimat: ‘abang kelinci jangan lupa kasih makan wortel’. “Anak itu sepertinya lekat dengan tokoh kelinci, dari dongeng yang saya bawakan dulu,” ujar Ariyo.

Menolong tanpa pamrih, para relawan ini layaknya sayap-sayap para malaikat yang turun di tengah bencana. Mereka tak lelap meski lelah. Mereka bekerja dalam diam, dan ikhlas. Rasanya tak berlebihan kita menyebut mereka sebagai pahlawan.(np)
Laporan Erick Tanjung | Yogyakarta
• VIVAnews

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?