SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Ironi dan Ilusi Jawa

| | | 0 komentar
Bahasa menjadi penentu Jawa. Mantra kekuasaan kolonial membuat Jawa terbuka untuk dibongkar-dibentuk. Jawa sebagai pengetahuan juga memungkinkan para Javanalog mengurusi Jawa dalam intimitas dengan politik kolonial. Jawa mirip adonan ganjil dari ulah ”tuan” dan ”tukang masak” dalam geliat modernitas abad XX dan utopia mendikte nostalgia. Kisah pelik ini kerap terlupakan oleh klaim-klaim kultural dan afirmasi identitas eksklusif.

Solo merupakan ruang fenomenal untuk membentuk Jawa. Kekuasaan tradisional dan modern hidup dalam ketegangan kultural-politik. Raja merasa memiliki otoritas secara simbolis dan riil untuk mengantarkan rakyat mencapai utopia. Pemerintah kolonial Belanda melalui agen dan institusi intensif memaknai Jawa dalam jeratan bahasa, sastra, seni, ilmu pengetahuan, arsitektur, politik, pakaian, ekonomi, dan gaya hidup.

Gelagat perubahan dikisahkan dengan apik oleh Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997). Intervensi kolonial tampak dari pembentukan Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) sejak abad XIX. Lembaga ini bermetamorfosis menjadi ruang eksperimen dan pembakuan Jawa melalui perangkat pengetahuan dengan pengesahan akademik di Universitas Leiden, Belanda. Bahasa Jawa model Solo pun menjadi ukuran baku.

Ironi bahasa

Legitimasi kultural oleh Javanalog dari Belanda dan pemerintah kolonial mengakibatkan Jawa abad XX adalah bentukan fenomenal. Shiraishi secara eksplisit memberi konklusi: ”Javanalog Belanda-lah yang ’menemukan’, ’mengembalikan’, dan membentuk serta memberikan makna terhadap masa lalu Jawa.” Konsekuensi dari takdir ini adalah kajian Jawa terpusat di Leiden. Orang Jawa belajar Jawa untuk menemukan ”harta karun” justru harus pergi ke sarang Javanalog di Belanda.

Ki Padmasusastra (1843- 1926) juga membenarkan ironi kultural itu dengan contoh bahasa. Tokoh ini terlibat dan sadar risiko. Ki Padmasusastra lantang mengungkapkan bahwa telah berlangsung ironi ketika pengelolaan bahasa Jawa dilakukan oleh ahli linguistik Belanda atau elite sarjana di bawah restu politik kolonial. Bahasa sebagai operasionalisasi kekuasaan dan kultural telah luput dari orang Jawa sendiri. Kolonial menjadi tuan. Bahasa bisa digunakan untuk menundukkan Jawa biar tak mengekspresikan resistensi atau revolusi.

Proyek membentuk Jawa mendapati sokongan dari keraton, priayi, dan elite politik. Anak-anak dari Raja dikirim belajar ke Belanda dengan risiko membenarkan ulah kolonial. Institusi pendidikan, media massa, penerbitan, dan perpustakaan menjadi agen sistematis.

Agenda yang menafikan

Jawa terus bergerak sampai hari ini dengan lupa dan luka. Bahasa Jawa tertinggal. Sastra Jawa tanpa sapaan. Tradisi Jawa dalam balutan ilusi kolonial merana. Keprihatinan ini pun secara intensif dilaporkan pada negara, lalu disodorkan pada publik agar menjadi beban.

Agenda-agenda untuk penyelamatan atau menghidupkan kembali Jawa digulirkan dengan modal besar, kebijakan politik, dan seruan. Salah satu agenda besar adalah rutinitas pelaksanaan Kongres Bahasa Jawa yang tidak memperlihat geliat kemajuan.

Rekomendasi dari perhelatan prestisius ini sedikit sekali teraplikasi atau mengindikasikan pencerahan pikiran. Karena beberapa kesalahan mendasar, seperti ditempatkannya sastra Jawa hanya sebagai wacana pinggiran atau catatan kaki. Peminggiran peran ini menciptakan resistensi di kalangan para pekerja sastra Jawa. Mereka yang kemudian merancang Kongres Sastra Jawa, dengan modal seadanya dan dengan perhatian nol dari penguasa. Negara menjadi salah satu pelupa terbesar, dengan mengabsenkan sastra Jawa dari perhatiannya.

Dan kritik pantas terus diajukan karena nasib bahasa dan sastra Jawa masih sekarat. Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah tampak setengah hati. Penerbitan buku-buku sastra Jawa macet. Kejawaaan pun terimpit oleh keindonesiaan dan kosmopolitanisme. Jawa terkapar dalam sandiwara penyelamatan para birokrat dan kaum akademisi.

BANDUNG MAWARDI Pengelola Balai Sastra Kecapi Solo


Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/01/22/09234927/Ironi.dan.Ilusi.Jawa

Pesawat Supersonik Komersil Pertama

| | | 0 komentar
Pada 35 tahun yang lalu, dua pesawat jet supersonik Concorde terbang untuk pertama kali melayani rute komersial. Dua pesawat Concorde tersebut masing-masing lepas landas dari Bandara Heathrow, London, dan Bandara Orly, Paris.

Penerbangan dari London akan membawa penumpang ke Bahrain melalui Teluk Persia. Sedangkan pesawat dari Paris akan terbang ke Rio de Janeiro melalui Senegal.

Laman stasiun televisi The History Channel mengungkapkan, dengan kecepatan rata-rata, pesawat inovatif Concorde mampu terbang 1.350 mil per jam, melebihi perintang bunyi (sound barrier), dan mengurangi lebih dari setengah waktu perjalanan udara. Pesawat Concorde adalah pencapaian dari 12 tahun upaya Inggris-Prancis untuk menciptakan pesawat komersial supersonik pertama di dunia.

Namun, Concorde bukan pencapaian luar biasa. Pada akhirnya, penerbangan Concorde dibatasi hanya untuk penerbangan transatlantik dari London dan Paris ke New York.

Pada Juli 2000, pesawat Concorde milik maskapai Air Franca jatuh 60 detik setelah lepas landas dari Paris dan menewaskan 109 penumpang dan empat orang di darat. Kecelakaan disebabkan salah satu ban pesawat meledak dan membuat tank bahan bakar bocor, sehingga menyebabkan kebakaran yang memicu kegagalan mesin.
Kecelakaan fatal yang merupakan insiden pertama dalam sejarah Concorde tersebut menunjukkan penurunan kualitas. Pada 24 Oktober 2003, Concorde melakukan penerbangan komersial reguler terakhir.
• VIVAnews

Ota Benga

| | | 0 komentar
Setelah Darwin menyatakan dalam bukunya The Origin of Species bahwa manusia dan kera berasal dari satu nenek moyang yang sama, pencarian fosil-fosil guna mendukung skenario ini pun dimulai.

Tetapi sejumlah evolusionis meyakini bahwa makhluk "separuh kera separuh manusia" dapat ditemukan tidak hanya pada catatan fosil, tetapi juga dalam keadaan masih hidup di berbagai belahan dunia. Di awal abad ke-20, pencarian guna menemukan "mata rantai yang hilang" tersebut menjadi penyebab munculnya berbagai tindakan biadab. Salah satunya adalah kisah tentang pigmi atau manusia kerdil asal Afrika bernama Ota Benga.

Ota Benga ditangkap di Kongo oleh seorang peneliti evolisionis bernama Samuel Verner pada tahun 1904. Warga pribumi ini, yang namanya berarti "teman" dalam bahasanya, telah menikah dan memiliki dua orang anak. Tetapi ia diikat dengan rantai layaknya binatang, dimasukkan dalam kandang, dan dikirim ke Amerika Serikat. Di sana, para ilmuwan evolusionis memasukkannya ke dalam kandang bersama dengan berbagai jenis kera pada Pekan Raya Dunia St. Louis dan mempertontonkannya sebagai "mata rantai yang terdekat dengan manusia".

Dua tahun kemudian mereka membawanya ke kebun binatang Bronx di New York. Di tempat ini, Ota Benga bersama dengan beberapa simpanse, seekor gorila bernama Dinah dan seekor orang utan bernama Dohung dipertontonkan sebagai "nenek moyang manusia yang paling tua". Direktur kebun binatang tersebut, seorang evolusionis bernama Dr.William T. Hornaday, memberikan sambutan panjang tentang rasa bangga yang diterimanya karena memiliki "mata rantai yang hilang". Para pengunjung kebun binatang memperlakukan Ota Benga di dalam kandangnya seperti seekor binatang. Sebuah edisi New York Times yang dicetak waktu itu menggambarkan perilaku para pengunjung tersebut:



Ota Benga adalah penduduk asli Afrika. Oleh para peneliti evolusionis, ia ditangkap layaknya seekor binatang, ditempatkan dalam kandang, dan dipertontonkan bersama sejumlah monyet di kebun binatang.

Terdapat 40.000 pengunjung kebun binatang pada hari Minggu. Hampir setiap pria, wanita dan anak-anak dari kerumunan ini mendatangi rumah kera untuk melihat pertunjukan sang bintang di kebun binatang - yakni manusia liar dari Afrika. Mereka mengejar-ngejarnya sepanjang hari, bersorak, tertawa, dan berteriak. Beberapa dari mereka menyodok tulang rusuknya, yang lain membuatnya tersandung, semua orang menertawakannya.37

New York Journal edisi 17 September 1906 menyatakan hal ini dilakukan demi membuktikan kebenaran evolusi, disamping mengecamnya sebagai kedzaliman dan kebiadaban sebagaimana berikut:

Orang-orang ini, tanpa pemikiran dan kearifan telah mempertontonkan seorang manusia kerdil dari Afrika dalam sebuah kandang monyet. Gagasan mereka, mungkin, adalah untuk menanamkan pemahaman yang benar tentang evolusi.

Namun kenyataannya, satu-satunya hasil yang didapat hanyalah pembenaran untuk mencaci-maki ras Afrika, yang selayaknya mendapatkan, paling tidak, rasa simpati dan perlakuan baik dari warga kulit putih negeri ini, setelah segala kebiadaban yang dideritanya di sini.....

Sungguh memalukan dan menjijikkan bahwa seorang manusia yang kurang beruntung, yang memiliki kekurangan jasmani, yang diciptakan oleh Kekuatan yang sama sebagaimana yang menempatkan kita semua di sini dan melengkapi kita dengan perasaan dan ruh yang sama, harus dikurung dalam sebuah kandang bersama sejumlah kera dan dijadikan bahan olok-olokan masyarakat.38

New York Daily Tribune juga menurunkan berita tentang Ota Benga yang diperton-tonkan di kebun binatang dengan tujuan membuktikan kebenaran evolusi. Sanggahan dari direktur kebun binatang yang Darwinis tersebut sama sekali tidak senonoh:

Pertunjukan seorang pigmi Afrika dalam kandang yang sama dengan seekor orang utan di kebun binatang New York minggu lalu menimbulkan kecaman hebat. Sejumlah orang menyatakannya sebagai upaya sang direktur Hornaday untuk menunjukkan hubungan dekat antara orang Negro dan kera.

Dr. Hornaday menyanggahnya. "Jika orang kerdil tersebut di dalam kandang," ujar Dr. Hornaday, "hal itu disebabkan ia merasa paling nyaman berada di sana, dan karena kami tidak mengetahui apa lagi yang harus kami perbuat terhadapnya. Ia bukanlah seorang tawanan, kecuali jika tak seorangpun mengatakan adalah hal yang bijaksana untuk membiarkannya berjalan-jalan mengelilingi kota tanpa seorangpun yang mengawasinya."

Pertunjukan Ota Benga di kebun binatang bersama-sama dengan gorila layaknya seekor binatang telah memicu keresahan berbagai kalangan. Sejumlah lembaga mengusulkan ke pihak-pihak yang berwenang untuk menghentikan pertunjukan tersebut dengan menyatakan bahwa Ota Benga adalah seorang manusia biasa dan perlakuan terhadapnya semacam ini merupakan perbuatan yang sangat biadab.

http://www.harunyahya.com/indo/buku/bencana03.htm

Pemusnahan Warga Aborigin

| | | 0 komentar
Penduduk asli benua Australia dikenal dengan sebutan Aborigin. Orang-orang yang telah mendiami benua tersebut selama ribuan tahun mengalami salah satu pemusnahan terbesar sepanjang sejarah seiring dengan penyebaran para pendatang Eropa di benua tersebut. Alasan ideologis pemusnahan ini adalah Darwinisme. Pandangan para ideolog Darwinis tentang suku aborigin telah memunculkan teori kebiadaban yang harus diderita mereka.

Pada tahun 1870, Max Muller, seorang antropolog evolusionis dari London Anthropological Review, membagi ras manusia menjadi tujuh tingkatan. Aborigin berada di urutan terbawah, dan ras Arya, yaitu orang kulit putih Eropa, di urutan teratas. H.K. Rusden, seorang Darwinis Sosial terkenal, mengemukakan pendapat-nya tentang suku aborigin pada tahun 1876 sebagaimana berikut:

Kelangsungan hidup bagi yang terkuat memiliki arti: kekuatan adalah kebenaran. Dan dengan demikian kita gunakan hukum seleksi alam yang tidak pernah berubah tersebut dan menerapkannya tanpa perasaan belas kasih ketika memus-nahkan ras-ras terbelakang Australia dan Maori...dan kita rampas warisan leluhur mereka tanpa merasa bersalah. 32

Pada tahun 1890, Wakil Presiden Royal Society of Tasmania, James Barnard, menulis: "proses pemusnahan adalah sebuah aksioma hukum evolusi dan keberlangsungan hidup bagi yang terkuat." Oleh sebab itu, ia menyimpulkan, tidak ada alasan untuk menganggap bahwa "ada tindakan yang patut dicela" dalam pembunuhan dan perampasan terhadap warga aborigin Australia.33

Akibat pandangan rasis, yang tak mengenal belas kasih, dan biadab yang dikemukakan Darwin, pembantaian dasyat dimulai dengan tujuan memusnahkan warga aborigin. Kepala orang-orang aborigin dipasang menggunakan paku di atas pintu-pintu stasiun. Roti beracun diberikan kepada para keluarga aborigin. Di banyak wilayah di Australia, areal pemukiman aborigin musnah dengan cara biadab dalam waktu 50 tahun.34

Kebijakan yang ditujukan terhadap aborigin tidak berakhir dengan pembantaian. Banyak dari ras ini yang diperlakukan layaknya hewan percobaan. The Smithsonian Institute di Washington D.C. menyimpan 15.000 sisa mayat manusia dari berbagai ras. Sejumlah 10.000 warga aborigin Australia dikirim melalui kapal ke Musium Inggris dengan tujuan untuk mengetahui apakah benar mereka adalah "mata rantai yang hilang" dalam peralihan bentuk binatang ke bentuk manusia.

Musium tidak hanya tertarik dengan tulang-belulang, pada saat yang sama mereka menyimpan otak orang-orang aborigin dan menjualnya dengan harga mahal. Terdapat pula bukti bahwa warga aborigin Australia dibunuh untuk digunakan sebagai bahan percobaan. Kenyataan sebagaimana dipaparkan di bawah ini adalah saksi kekejaman tersebut:

Sebuah catatan akhir hayat dari Korah Wills, yang menjadi mayor Bowen, Queensland pada tahun 1866, secara jelas menggambarkan bagaimana ia membunuh dan memotong-motong tubuh seorang anggota suku setempat pada tahun 1865 untuk menyediakan bahan percobaan ilmiah.

Edward Ramsay, kepala Musium Australia di Sydney selama 20 tahun sejak 1874, terlibat secara khusus. Ia menerbitkan sebuah buku saku Musium yang memasukkan aborigin dalam golongan "binatang-binatang Australia". Buku kecil tersebut itu juga memberikan petunjuk tidak hanya tentang cara bagaimana merampok kuburan, namun juga bagaimana menutup luka akibat peluru pada "spesimen" yang baru terbunuh.

Evolusionis Jerman, Amalie Dietrich (yang dijuluki 'Angel of Black Death' atau 'Malaikat Kematian si Hitam') datang ke Australia untuk meminta kepada para pemilik areal pertanian sejumlah orang Aborigin untuk ditembak dan digunakan sebagai spesimen, terutama kulitnya untuk diisi dengan bahan tertentu untuk kemudian dipajang, untuk diberikan kepada atasannya di Museumnya. Meskipun barang-barangnya telah dirampas, ia dengan segera balik ke negaranya sambil membawa sejumlah spesimennya.

Misionaris New South wales adalah saksi yang merasa ngeri terhadap pembantaian yang dilakukan oleh polisi berkuda terhadap sekelompok yang beranggotakan lusinan orang aborigin, perempuan dan anak-anak. Empat puluh lima kepala kemudian direbus dan 10 tengkorak terbaiknya dibungkus dan di kirim ke luar negeri. 35

Pemusnahan suku aborigin berlanjut hingga abad ke-20. Di antara cara yang dipergunakan dalam pemusnahan ini adalah pengambilan paksa anak-anak aborigin dari keluarga mereka. Kisah baru oleh Alan Thornhill, yang muncul di Philadelphia Daily News edisi 28 April 1997, mengisahkan perlakuan terhadap suku aborigin sebagai berikut:

KISAH PENCULIKAN KELUARGA ABORIGIN

Associated Press - Warga aborigin yang tinggal di gurun pasir terpencil Australia di sebelah barat laut terbiasa mencorengkan arang pada kulit anak-anak mereka yang berwarna terang, dengan maksud mencegah para petugas kesejahteraan negara membawa mereka pergi. "Para petugas kesejahteraan tersebut menangkap anda begitu saja ketika mereka menemukan anda," ujar seorang anak yang pernah diculik, bertahun-tahun kemudian. "Warga kami akan menyembunyikan kami dengan mewarnai kami menggunakan arang."

"Saya dibawa ke Moola Bulla", ucap salah seorang pekerja yang diculik ketika masih kanak-kanak. "Saat itu kami berusia sekitar 5 atau 6 tahun." Kisahnya ini adalah satu di antara ribuan yang didengar oleh Australia's Human Rights And Equal Opportunity Commission (Komisi Hak Asasi Manusia Australia) selama pemeriksaan yang memilukan tentang "generasi yang dicuri". Dari tahun 1910 hingga 1970-an sekitar 100.000 anak-anak aborigin diambil dari para orang tua mereka... Anak-anak berkulit terang dirampas dan diserahkan kepada keluarga kulit putih untuk dijadikan anak angkat. Anak-anak berkulit gelap ditempatkan di panti asuhan. 36

Bahkan kini, penderitaan tersebut begitu pedih sehingga kebanyakan kisah tersebut dicetak tanpa pencantuman nama dalam laporan akhir komisi yang berjudul "Bringing Them Home" ("Memulangkan Mereka ke Rumah") tersebut. Komisi tersebut mengatakan bahwa tindakan para pemegang kekuasaan masa itu dapat disamakan dengan kejahatan pemusnahan etnis menurut pengertian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pemerintah telah menolak mengikuti saran dari hasil penyelidikan untuk membentuk suatu pengadilan guna mempertimbangkan pembayaran ganti rugi bagi anak-anak aborigin yang pernah diculik.

Seperti yang telah kita saksikan, perlakuan tidak manusiawi, pembantaian, kekejaman, kebiadaban, dan pemusnahan yang dilakukan ini semuanya dibenarkan oleh teori Darwinisme tentang "seleksi alam", "pertarungan untuk mempertahankan hidup", dan "keberlangsungan hidup bagi yang terkuat".

Semua pengalaman pahit dan mengenaskan yang diderita penduduk asli Australia ini hanyalah sebagian kecil dari bencana yang ditimbulkan Darwinisme terhadap dunia.

http://www.harunyahya.com/indo/buku/bencana03.htm

Malin Kundang Tidak Bersalah

| | | 0 komentar
Kalau seseorang durhaka kepada orang tuanya, kenapa dia harus pulang kampung ?

Tersebut lah seorang pemuda namanya Malin Kundang, dia tinggal dengan ibunya yang sudah tua. Bapak nya sudah lama meninggal ketika Malin Kundang masih kecil. Mereka hidup dengan mencari kayu bakar untuk dijual kepada masyarakat dikampungnya.

Singkat cerita Malin Kundang merantau ke tanah seberang untuk mengadu untung disana. Nasib baik membawa Malin Kundang menjadi orang sukses dan mempunyai istri cantik putri dari seorang saudagar kaya. Mereka hidu berkecukupan dan tidak berkekurangan harta benda.

Suatu hari Malin Kundang teringat akan ibunya dikampung dan sering termenung memikirkannya. Dia gelisah dengan keadaan ibunya, apakah sakit atau entah apa yang terjadi dengan ibunya. Istrinya lalu bertanya tentang hal tersebut dan Malin Kundang menceritakan tetang kegundahannya selama ini.

Dasar memang istri Malin Kundang adalah orang baik baik, seketika itu dia menyarankan suaminya untuk pergi menengok ibu mertuanya. Malin Kundang setuju dan dia mempersipakan segala sesuatunya untuk melakukan dengan kapal laut.

Berita tentang keberhasilan dan kedatangan Malin Kundang tersebar seantero kampungnya. Masyarakat berbondong kepinggir pantai untuk melihat tampang Malin kundang dan istrinya yang cantik.

Kiranya ketika malin kundang turun dari kapal dia menemukan banyak ibu ibu yang berpakaian seperti ibu kandungnya dan mengaku ngaku bahwa dia itulah ibunya Malin Kundang. Setiap kali Malin Kundang berjalan ke arah rumah ibunya, para orangtua yang mengaku ngaku ibunya sampai menarik narik pakaiannya.

Di saat yang lain, seketika ibu kandung mendengar kedatangan Malin Kundang ibunya menangis rindu dan teringat akan pesannya dulu kepada Malin Kundang

“Wahai anakku Malin, Ibu akan tunggu kedatangan dirimu antara pintu dan halaman”

Itulah makanya ibunya tidak pergi kepantai untuk menyambut kedatangan Malin Kundang.

Tapi yang namanya Ibu, rasa rindu kepada anak membuatnya tidak mengindahkan janjinya sendiri dan langsung berlari kepanatai menuju Malin Kundang.

Kiranya ketika itu Malin Kundang sedang dalam emosi yang luar biasa karena desakan desakan orang orang tua yang mengaku ngaku sebagai ibunya. Seketika datang ibu kandungnya dia langsung marah dan memaki maki ibunya tersebut karena dia tahu ibu kandungnya sedang menunggu dirimu “antara pintu dan halaman”.

Ibu kandungnya kecewa dengan Malin Kundang dan terjadilah kutukan seperti yang sudah diceritakan dalam legenda Malin Kundang.

http://sejarah.kompasiana.com/2011/01/18/malin-kundang-tidak-bersalah/

Relawan Terlama di Wasior

| | | 0 komentar
OLEH DWI BAYU RADIUS

Waktu Hasruddin (24) terkena malaria, relawan Palang Merah Indonesia (PMI) Papua Barat itu menolak untuk pulang. Padahal, koordinator lapangannya di Wasior, Papua Barat, sudah menginstruksikan agar Hasruddin kembali ke rumah. Ketika sakitnya tambah parah dan muntah darah, ia baru menyerah.

Kalau soal loyalitas kepada tugas, warga Manokwari itu memang benar-benar keras kepala. Ketika terkena malaria akhir November 2010 lalu, misalnya, rekan-rekannya di PMI yang iba meminta Hasruddin beristirahat. Bahkan, mereka juga menyediakan tiket pesawat ke Manokwari untuknya.

Bukannya menurut, Hasruddin malah balik memarahi mereka dengan alasan tugas belum selesai. Padahal, ia sudah terkena demam, sakit kepala, bahkan muntah-muntah. ”Itu termasuk masa paling berat selama saya bertugas di Wasior. Saya mau istirahat di posko PMI Wasior saja,” katanya.

Kurang dari sepekan dirawat, ia sudah bertugas lagi. Tak ayal, relawan-relawan lain pun hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan kegigihan Hasruddin. Akhir Desember 2010, ia baru bersedia pulang setelah muntah darah.

”Sekarang masih diperiksa. Belum tahu sakitnya, tuberkulosis atau apa. Tetapi, nanti kalau sudah sehat, saya mau kembali lagi ke Wasior,” tegasnya, awal Januari lalu.

Hasruddin memutuskan bertahan di lokasi bencana sejak banjir bandang terjadi di Wasior pada Oktober 2010. Dia menjadi relawan paling lama yang bertugas di sana. Keesokan hari setelah banjir bandang terjadi, ia sudah berada di Wasior.

Sebelum sakit paru-paru, dia hanya tiga kali pulang ke Manokwari. Setiap kali pulang, paling lama dia tinggal seminggu di Manokwari, lalu kembali ke Wasior. ”Setahu saya, teman-teman relawan lembaga lain sudah pulang. Umumnya, mereka di Wasior hingga tanggap darurat selesai,” katanya.

Mendata dengan hati

Masa tanggap darurat berlangsung sejak banjir terjadi hingga 17 Desember 2010. Relawan PMI yang datang pertama kali hanya empat orang, termasuk Hasruddin. Jumlah relawan PMI mencapai puncaknya pada pekan keempat Oktober lalu sebanyak 27 orang. Pada akhir Desember 2010, jumlahnya 20 orang. Adapun masa pascatanggap darurat jauh lebih lama, hingga satu tahun setelah bencana.

”Kalau sampai selama itu harus bertugas, saya tidak keberatan, malah inginnya begitu,” tutur Hasruddin sambil tersenyum. Keakraban dengan warga dan pengungsi menjadikan pengorbanan seakan tak menjadi beban. Rasa berat hati justru muncul ketika mereka tahu relawan akan pulang.

”Kalau melihat wajah mereka yang bertanya kenapa kami harus pergi, rasanya suka kasihan. Pernah saya pergi tanpa memberi tahu mereka,” ujar Hasruddin. Raut muka pengungsi dan warga seolah menunjukkan bahwa mereka masih membutuhkan bantuan.

Menjadi relawan bukan pekerjaan mudah. Risiko dimaki pengungsi, meski bermaksud untuk menolong, kerap harus ditanggung. Di Wasior, sebagian pengungsi marah karena distribusi bantuan yang tidak merata. Sejumlah pemberi bantuan memberikan barang begitu saja kepada kepala kampung.

”Lalu, ada di antara mereka yang tidak mendapat bantuan. Relawan lain yang kemudian datang dan bermaksud benar-benar membantu, dianggap tak berbeda dan tak berguna bagi korban,” katanya. Kadang-kadang, Hasruddin dan rekan-rekannya harus bersusah payah memberi penjelasan.

”Untungnya, umumnya korban bencana akhirnya mengerti. Masalah itu juga kami atasi dengan cara yang saya istilahkan sebagai mendata dengan hati,” katanya.

Pendataan korban yang akan diberi bantuan dilakukan dari pintu ke pintu, melakukan tatap muka, memberikan senyuman, dan mendengarkan keluhan. ”Kami mendata sendiri supaya tahu kondisi korban yang benar-benar memerlukan bantuan,” katanya.

Kalaupun memperoleh data dari pihak lain, seperti dari kepala kampung, data itu dicek langsung dengan mendatangi para korban. ”Kalau mereka sudah mengucapkan terima kasih dengan tulus, saat itulah saya rasanya merinding dan muncul kepuasan batin,” ungkapnya. Pada umumnya, para pengungsi yang semula bersikap dingin, kemudian mulai tersenyum. Bahkan, bisa berkaca-kaca jika tahu bahwa relawan yang sudah dikenal dengan baik selesai bertugas.

Pengalaman paling berkesan dengan pengungsi, Hasruddin alami ketika dia sempat pulang ke Manokwari, akhir November 2010. Ia bertemu anak-anak di pengungsian di kota itu. Meski sedang pulang, Hasruddin tetap ikut membantu rekan-rekannya. ”Waktu anak-anak itu harus ke Wasior, sambil menangis mereka bilang ’kakak saya pulang dulu’. Sedih betul, hampir saya tak tahan untuk ikut menangis,” kenangnya.

Selama masa tanggap darurat, relawan PMI bertugas mengevakuasi korban luka dan jenazah, mendata, dan memberikan pelayanan kesehatan. Mereka juga berupaya memenuhi kebutuhan nonpangan pengungsi, seperti tenda, selimut, tikar, dan alat masak. Setelah masa tanggap darurat berlalu, barulah relawan melakukan aktivitas seperti pemulihan hubungan keluarga, pengalihan beban pikiran dan trauma, dan pembersihan sumber air.

Ingin kuliah

Sebagai relawan, panas, debu, dan risiko terkena penyakit di daerah bencana sudah pasti mengintai. Relawan PMI pun hanya mendapat Rp 60.000 per hari. Tetapi, Hasruddin memang tak terlalu berharap pada materi karena mengemban tugas kemanusiaan. Ia malah selalu meminta perpanjangan masa tugas. Rentang waktu relawan bekerja adalah dua minggu selama tanggap darurat atau satu bulan setelah masa itu selesai dan bisa diperpanjang.

”Relawan nyaris tak dapat apa-apa. Kami mendapatkan pelatihan gratis bukan untuk materi, tetapi pengetahuan. Menurut saya, itu paling berharga,” katanya. Pelatihan yang diberikan bermacam-macam, seperti korps sukarela dasar, program dukungan psiko-sosial, dan pemulihan hubungan keluarga.

Sudah sejak kelas II sekolah menengah atas, Hasruddin mulai menekuni kegiatan sosial tersebut. Ketika itu, ia bergabung dengan Palang Merah Remaja (PMR) di sekolahnya, SMA Negeri 2 Manokwari. Motivasi awal mengikuti PMR tak lain karena Hasruddin tergerak untuk membantu orang lain.

”Saat itulah mulai tertanam keinginan untuk menjadi relawan. Malah, setelah SMA, saya tadinya mau meneruskan ke perguruan tinggi, tapi tidak jadi,” katanya.

Setelah tamat SMA, dia sudah berniat kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Manokwari. Namun, panggilan tugas ke Padang dan Bandung pada Mei 2010, tak bisa ia tampik. ”Meski demikian, suatu hari nanti saya tetap ingin melanjutkan pendidikan formal,” tuturnya.


Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/01/19/09052441/Relawan.Terlama.di.Wasior

Sebuah Cerita Lama dari Negeri Tunisia

| | | 0 komentar
Oleh: TRIAS KUNCAHYONO

TUNISIA adalah sebuah cerita lama. Dahulu kala, di zaman sebelum Masehi, negeri ini sudah menjadi bahan omongan. Catatan-catatan sejarah dunia mengungkapkan, orang-orang Phoenisia pada abad ke-8 SM masuk ke wilayah itu. Mereka mendirikan kota Kartago (Carthage) dan permukiman-permukiman lain di Afrika Utara.

Kartago tumbuh dan berkembang menjadi kota besar yang menguasai wilayah Laut Tengah, sampai akhirnya dikalahkan oleh orang-orang Romawi pada tahun 146 SM. Kekaisaran Romawi menguasai Kartago dan juga Afrika Utara sampai abad ke-5 hingga akhirnya suku-suku Eropa mengalahkan Romawi.

Pada abad ke-7 pasukan Muslim masuk Tunisia, disusul gelombang imigrasi dari Arab, orang-orang Moor Spanyol, dan Yahudi. Gelombang imigrasi itu terus berlangsung hingga abad ke-15. Di zaman Kekalifahan Utsmaniyah (Ottaman) Turki, Tunisia menjadi pusat belajar dan budaya Arab.

Tunisia juga pernah menjadi protektorat Perancis, yakni mulai tahun 1881 hingga merdeka tahun 1956 dan menjadi Republik Tunisia (1957), dengan presiden pertama Habib Bourguiba—pemimpin gerakan kemerdekaan.

Bourguiba sangat menekankan pada pembangunan ekonomi dan sosial, terutama pendidikan, status perempuan, dan penciptaan lapangan pekerjaan. Program itu berhasil menciptakan stabilitas politik dan sosial. Tetapi, pertumbuhan demokrasi sangat lamban. Bourguiba pun menjadi tokoh yang tak tertandingi. Ia beberapa kali dipilih sebagai presiden dan pada tahun 1975 dinyatakan sebagai ”presiden seumur hidup”.

Pada titik inilah apa yang pernah dikemukakan Machiavelli dalam Sang Penguasa dipraktikkan Bourguiba. Menurut Machiavelli, tujuan politik adalah memperoleh dan memperbesar kekuasaan politik. Ukuran berhasil yang dipakai adalah semakin kuat dan semakin besarnya kekuasaan. Kebijakan yang sewenang-wenang menurut ukuran moral, mengingkari janji atau kepercayaan, dan perbuatan yang tak berlandaskan hukum dianggap sesuatu yang tak perlu diperhatikan (St Sularto, Niccolo Machiavelli, Penguasa Arsitek Masyarakat).

Ketika kekuasaan tidak lagi memberikan kesejahteraan rakyat, tetapi demi kekuasaan itu sendiri, saat itulah bencana dimulai. Pada tahun 1983, ketika Bourguiba merayakan 25 tahun kekuasaannya, pecah pemogokan sipil dan kaum religius karena memburuknya perekonomian dan naiknya harga bahan-bahan kebutuhan pokok. Tahun berikutnya pecah kerusuhan di jalanan yang menelan 80 korban jiwa. Bourguiba malah memperkuat kekuasaan dengan menunjuk orang-orangnya untuk duduk di Komite Sentral dan Politbiro yang seharusnya dipilih. Salah satu anggotanya adalah Zine al-Abidine Ben Ali, yang pada tahun 1987 justru menyingkirkannya karena menganggap Bourguiba sakit dan tak mampu memerintah lagi.

Tetapi, hal yang sama dilakukan juga oleh Ben Ali setelah berkuasa selama 20 tahun. Ben Ali, yang jenderal tentara, menumpuk kekuasaan dan kekayaan, terutama dilakukan istrinya yang kemaruk kekuasaan dan harta. Meski di zaman Ben Ali untuk pertama kali dilakukan pemilu legislatif yang pluralistik dan pemilu presiden multipartai, rakyat tidak bisa dibohongi oleh hal-hal yang bersifat lipstik, sementara banyak orang menganggur dan harga pangan melambung.

Akhirnya, rakyat memilih menyingkirkan penguasa yang hanya memikirkan dirinya sendiri, keluarga, dan orang-orang dekatnya. Hari Jumat malam, Presiden kabur. Sami Moubayed di Asia Times menulis penggulingan Ben Ali merupakan salah satu peristiwa yang sangat dramatik dalam sejarah Arab. Ia disingkirkan orang-orang muda dan tua, kaum terpelajar dan rakyat biasa, serta kaum ulama. Di belakang mereka ada tentara yang mau mendengarkan teriakan dan penderitaan rakyat.


Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/01/19/07305940/Sebuah.Cerita.Lama.dari.Negeri.Tunisia

Jejak Kota Bandung, Jalan Kuda Hampir Jadi Ibukota Negara

| | | 0 komentar

Don’t come to Bandung, if you left a wife at home” (Jangan datang ke Bandung, bila kautinggalkan istrimu di rumah) merupakan motto parawisata di kota Bandung tempo doeloe. Kalau sudah tiba di Bandung, banyak turis “kecantol” hatinya pada kota yang dihuni banyak mojang kutilang ayu (kuning, tinggi, langsing, ayu) dan keindahan kota Bandung mampu menyihir sang turis sehingga melupakan istrinya di rumah. Weleh….


12952241272022682299

Bandung 200 tahun (google.com)

Kota Bandung relatif muda dibanding Sumedang, Cirebon atau Cianjur, cobalah simak: “Aen een negrije genaemt Bandong bestanende uijt 25 a 30 huysen” (Ada sebuah negeri dinamakan Bandong yang terdiri atas 25 sampai 30 rumah”. Demikian tulis seorang petualang Juliaen de Silva tahun 1641 seperti dipaparkan Haryoto Kunto, kuncen Kota Bandung dalam bukunya “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe”. Buku Kunto dijadikan rujukan berbagai referensi mengenai Kota Bandung (SD Ed. 470). Menurut keterangan Prof. Dr. EC Godee Molsbergen (1935), Landasarchivaris (Arsip Belanda) di Batavia, dari data ditemukan mungkin Juliaen da Silva orang asing pertama keluyuran di wilayah Bandung.


Daerah Bandung di kalangan pribumi abad ke-17 lebih dikenal dengan sebutan “Tatar Ukur”. Tahun 1628, Tumenggung Bahureksa dan Dipatiukur diserahi tugas Sultan Agung Mataram untuk menggempur benteng Belanda di Batavia. Daerah “Tak bertuan” ini mulai dicurigai Belanda, kehadiran da Silva patut dicurigai sebagai mata-mata Kompeni. Baru tahun 1741, Kompeni menempatkan seorang serdadunya, bernama Arie Top berpangkat Kopral mirip Babinsa, dengan wilayah hampir meliputi skogar Bandung-Cimahi sekarang. Tahun 1742, orang Eropa ke Bandung bertambah lagi 3 orang Belanda lainnya, Ronde dan Jan Geysbergen dan seorang serdadu Belanda buangan dari Batavia. Sukses usaha penggergajian kayu membuatnya kaya raya, membuat berduyun-duyun orang Eropa datang ke Bandung dan daerah ini dijuluki “Paradise in Exile” (Surga dalam Pembuangan).


Bila di pertengahan abad 18, jalan dari Batavia menuju ke pedalaman Priangan masih menggunakan perahu melewati S. Citarum dan Cimanuk, maka tahun 1786, jalan setapak bisa dilewati kuda mulai menghubungkan Batavia- Cianjur – Bandung. Keterangan ini didapat dari catatan perjalanan Prof. Dr. ECG Molsbergen (1935). Gubernur Jenderal Herman Willems Daendels (1808-1811) membuat Jalan Raya Pos (Groote Postweg) Anyer-Panarukan melalui Bandung. Surat perintah Daendels tanggal 25 September 2010 tentang pembangunan sarana di daerah ini kemudian dijadikan Hari Jadi Kota Bandung, dari sebelumnya 1 April. (mengacu pembentukan kota 1 April 1906). Kota Bandung semakin ramai saat dibukanya rel kereta api Batavia-Bandung lewat Cianjur (1884), kemudian disusul Bandung-Yogya-Surabaya (1894) dan Batavia-Bandung via Purwakarta (1900).


Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni-VOC (1779), Kabupaten Bandung beribukota di Karapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) angkatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa pemerintahan bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.


Letaknya yang strategis dan berkembang pesat mendorong Pemerintah Hindia Belanda (1856) untuk memindahkan Ibukota Keresiden Priangan dari Cianjur ke Bandung. Berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal tanggal 7 Agustus 1864 No.18, Kota Bandung ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Keresidenan Priangan. Pada waktu itu yang menjadi Bupati Bandung adalah R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1874).


Pemerintah Kabupaten Bandung semasa Bupati R.A.A Martanagara (1893-1918) menyambut baik gagasan daerah otonom. Berdasarkan Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang dikeluarkan tahun 1903 dan Surat Keputusan tentang desentralisasi (Decentralisasi Besluit) serta Ordonansi Dewan Lokal (Locale Raden Ordonantie) sejak tanggal 1 April 1906 semasa Gubernur Jenderal JB Van Heutz, Bandung ditetapkan sebagaigemeente (kotapraja) yang berpemerintahan otonom. Semula Gemeente Bandung. Dipimpin oleh Asisten Residen priangan selaku Ketua Dewan Kota (Gemeenteraad), tetapi sejak tahun 1913 gemeente dipimpin oleh burgemeester(walikota).


Parijs van Java, Europe in de Tropen

Peranan kaum “preangerplanter” sangat dominan dalam membangun kota ini. Pada masa itu komoditi perkebunan merupakan hasil ekspor laku keras di pasar dunia yang membuat “hujan duit” bagi pengusaha perkebunan dan kota Bandung kecipratan rejeki, karena mereka semakin royal membelanjakan uangnya.

Kota Bandung pun menjadi surga belanja dan wisata di tempo dulu. Bisa dibayangkan, 200.000 turis berkunjung ke kota ini, padahal jumlah penduduk Bandung saat itu hanya 226.877 jiwa (1941). Perkumpulan “Bandoeng Vooruit” banyak sekali berjasa dalam membangun kota hingga dijuluki Parijs van Java atau “Europa in de Tropen” (Eropa di daerah Tropis).


Sejak zaman dulu Bandung dikenal surga belanja dan wisata seantero Nusantara. Braga dikenal sebagai Kompleks pertokoan Eropa paling terkemuka di Nusantara. Wisatawan pun menghabiskan waktunya makan-makan dan tetirah di sejumlah restoran atau menonton bioskop dan pagelaran seni berkelas. Pohon-pohon di kota Bandung sangat rindang dan udara sejuk membuat pejalan kaki tak cepat lelah. Ada obyek wisata Kebun Binatang, Pemandian Dago dan Cihampelas, Dago Tea Huis atau Situ Garunggang.


Di Lapang Tegallega, setiap bulan Juni-Juli diadakan Balap Kuda dan Bursa Tahunan. Kota Bandung menjadi gegap gempita, karena orang se-Bandung tumplek di sini. Dari pribumi udik sampai Belanda totok-gerot, ada di gelanggang pacuan kuda. Yang paling menarik dandanan kaum wanita, baik pribumi maupun Eropa, saling pamer mode baru pakaian, dandanan rambut, topi, payung, selop sampai kelom geulis sebagai bahan jorjoran.


Gaya Renaisance ditemui pada konsep ruang terbuka dengan hadirnya taman indah dan asri taman-taman (park), lapang terbuka (plein) atau boulevard seperti Paris sebenarnya. Taman kota itu di antaranya Pieters Park (Taman Merdeka), Ijzerman Park (Taman Ganeca), Molukken Park (Taman Maluku), Insulinde Park (Taman Nusantara),Jubileum Park (Taman Sari), dan lain-lain.

1295224424496316746

Jalan Asia-Afrika tahun 1920-an (www.google.com)

Kota Bandung pernah dijuluki “kota konferensi” tempat wisata turis intelektual. Technische Hoogeschool te Bandoeng disingkat TH cikal bakal ITB dengan gaya arsitek dibangun sebagai pusat studi teknik di tanah air berdiri 1920. Bandung dipilih tuan rumah pusat pertemuan ilmiah seperti Fourth Pasific Science Congress tahun 1929. Sebelumnya Natuur Wetenschappelijk Congres II (1922) dan Kongres Teh Dunia (1924). Di Bandung sudah dilengkapi Balai Penyelidikan Teh dan Kina, Laboratorium PTT, Bandoeng Botanisch Park, Museum Geologi, Peneropongan Bosscha terkenal di belahan bumi selatan, juga Institut Pasteur dengan lab pemberantasan cacar terbesar di Asia. Pengalaman ini tak salah bila Bandung sumber inspirasi penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di tahun 1955.


Fasilitas umum Kota Bandung telah lebih maju. Pembangkit listrik kecil di Dago ditambah dari Sentral Lamajang (Cisangkuy) membuat di waktu malam kota Bandung bermandikan cahaya lampu jalanan dipasang hingga pelosok kota. Tanggal 5 Mei 1923 resmi dibuka hubungan “Radio Telepon” dari Nusantara ke Negeri Belanda berjarak 12.000 km. Stasiun Pemancar Radio Telepon dibangun di lereng Gunung Malabar. Begitu pula akses pembukaan penerbangan udara “Andir” dilakukan perusahaan KNILM tanggal 1 November 1928 membuka jalur Bandung-Batavia. Tahun 1930 dibuka hubungan jalur udara ke Surabaya, Semarang, Palembang dan Singapura.

Semasa Gubernur Jenderal JP Graaf van L Stirum Bandung direncanakan menjadi ibukota negara Hindia-Belanda. Bandung berada di ketinggian 730 meter di atas permukaan laut layak disebut pemukiman cantik dan paling sehat di Nusantara. Usul itu mulai dilaksanakan pemerintah kolonial mulai tahun 1920. Pihak pertama menyambut ide ini adalah para pengusaha swasta dan perusahaan internasional ikut “boyong” ke kota Bandung.


Adapun instansi pemerintah yang menyusul pindah yakni SS (Jawatan Kereta Api Negara), PTT (Pos dan Telepon Telegraf), GB (terdiri Dinas PU, Geologi dan Metrologi) menempati Gedong Sate. Kemudian pindah pula Departemen Perdagangan dari Bogor, Lembaga Keuangan dan Lembaga Penelitian Cacar dan bergabung dengan Institut Pasteur di Bandung. Disusul D.V.O (Kementrian Peperangan) memindahkan personilnya sejak tahun 1916. Begitupula ACW atau pabrik senjata (Pindad) dialihkan dari Surabaya sejak 1898 dan rampung tahun 1920. Adapun instansi yang belum memindahkan kantor pusatnya ke Bandung cuma: Departemen Dalam negeri, Departemen Pendidikan dan Pengajaran dan Volksraad.


Kota Bandung secara resmi mendapat status gemeente (kota) dari Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz pada tanggal 1 April 1906 dengan luas wilayah waktu itu sekitar 900 ha, dan bertambah menjadi 8.000 ha di tahun 1949. Berdasarkan PP No. 16 Tahun 1987 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Bandung dan Kab. Bandung, maka wilayah Kota Bandung bertambah dua wilayah yakni wilayah Ujungberung dan Gedebage serta mendapat tambahan desa-desa sekitarnya di sebelah utara jalan tol menjadi 17.000 ha. Langkah ini sebagai usaha pemenuhan kebutuhan ruang untuk kegiatan pembangunan dan mengantisipasi pesatnya pertumbuhan kota sebagai ibukota propinsi dengan jumlah penduduk mencapai 2,5 juta jiwa.

Ayo ke Bandung, tapi jangan lupa bawa keluarga!! (**)




populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?