SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Brigade Of Gurkha (Suku Yang Dilahirkan Untuk Berperang)

| | | 0 komentar
Gurkha sebenarnya bukanlah Special Force, namun mereka dikenal dengan reputasinya yang menakutkan. Ada 2 suku di Nepal yang dikenal masyarakat luas, yaitu Sherpa yang dikenal sebagai suku pendaki / pemandu di Himalaya, satu lagi Gurkha, yang gemar berperang.

Semasa zaman kolonial sewaktu terjadi Perang di Nepal, Inggris begitu terkesan atas kegigihan dari pasukan Gurkha kemudian merekrut mereka bekerja untuk East India Company di India dan Britis


Gurkha terkenal dengan kemampuan berperangnya yang alamiah, agresif di medan pertempuran, tidak takut mati, loyalitas yang tinggi, tahan dalam berbagai medan, fisik yang kuat dan pekerja keras. Sehingga Gurkha begitu disegani oleh kawan, ditakuti oleh lawan.

Semula mereka menjadi tentara bayaran (mercenaries) akhirnya masuk dalam jajaran British Army yang digaji layaknya tentara Inggris sendiri atau legiun asing pada umumnya. Mereka mempunyai unit sendiri dengan nama Brigade of Gurkha sebagai salah satu bagian dari jajaran top angkatan bersenjata Inggris.

Dibentuk sejak tahun 1815, Pasukan Gurkha telah terlibat dalam berbagai medan pertempuran bersama Inggris. Ketika berkecamuk PD I sebanyak 100.000 prajurit Gurkha masuk dalam Brigade of Gurkha.

Mereka ikut bertempur di medan perang Perancis, Mesopotamia, Persia, Mesir, Gallipoli, Palestina dan Salonika. Mereka mendapatkan 2 penghargaan bergengsi Victoria Crosses.

Brigade Of GurkhaPada PD II sebanyak 112.000 tentara Gurkha bersama Pasukan aliansi Commonwealth bahu membahu dalam perang di Suriah, Afrika Utara, Italia dan Yunani sampai Malaysia dan Singapura mereka mendapat 10 Victoria Crosses.

Seiring dengan pengalaman tempurnya yang mengunung, Gurkha menjelma menjadi kekuatan yang mengerikan, bahkan melebihi pasukan elit sekalipun.

Semasa berkecamuk perang Malvinas (Falkland War, 1982), dalam suatu front pertempuran, Inggris mempropagandakan kepada pihak militer Argentina akan menyertakan 1 batalyon Gurkha-nya. Mendengar itu tentara Argentina lari tunggang langgang meninggalkan pos-pos mereka.

Sewaktu PD II di front pertempuran Tunisia (Afrika Utara), pasukan Gurkha sudah kehabisan amunisi mereka membuang senapan-senapan, berlarian naik ke atas tank-tank Jerman di tengah-tengah hujan peluru dan menggorok tentara Jerman dengan senjata tradisional mereka, khukri.

Khukri

Khukri adalah sejenis pisau yang berbentuk unik sedikit melengkung mengarah ke depan. Di disain khusus sedemikian rupa, sehingga dapat menebas leher dengan sekali babatan bersih.

Ada sedikit cerita mengenai khukri, sekali khukri dihunus dari sarangnya pantang tidak meminum darah. Itulah sebabnya tentara Gurkha ketika sehabis mengasah / membersihkan khukri selalu mengiris jari tangannya.


Saat ini bukan hanya Inggris yang merekrut Gurkha dalam jajaran pasukannya, Singapura, India, Malaysia, Brunei, Hongkong (sebelum penyerahan ke RRC) tercatat memakai Gurkha dalam kesatuan angkatan bersenjata mereka. Bahkan di Brunei, Gurkha dipakai sebagai Special Force Penjaga Sultan Brunei.

Tarmizi Abdul Hamid ; Selamatkan Secarik Kebesaran Aceh

| | | 0 komentar
Abad ke-17 hingga ke-19 adalah masa kegemilangan tradisi literasi di Aceh. Puluhan ribu manuskrip berupa mushaf kitab suci, tasawuf, tauhid, fikih, astronomi, sejarah, seni, sastra, hingga ilmu pengobatan ditulis oleh intelektual dan ulama besar masa itu. Sayangnya, keberadaan warisan luhur masa lalu itu kini terancam punah. Sebagian musnah oleh waktu, ribuan terpampang di negeri seberang, sisanya tercecer tidak dipedulikan.

Adalah Tarmizi Abdul Hamid, warga Lampineung, Banda Aceh, Provinsi Aceh, yang sejak 16 tahun silam giat mengumpulkan lembar demi lembar manuskrip kuno yang masih tersisa. Menyelamatkan secarik kebesaran masa lalu Aceh adalah tujuannya.

Dia bukanlah akademisi, sejarawan, ataupun kolektor benda antik bermodal besar. Keseharian Tarmizi hanyalah seorang pegawai negeri level menengah di Badan Pengembangan Teknologi Pertanian Banda Aceh.

Tidak kurang dari 500 manuskrip kuno Aceh kini tersimpan di sudut rumahnya. Ada mushaf Alquran kuno, buku tasawuf, tauhid, hukum Islam, falak, hingga ilmu pengobatan. Lembaran-lembaran naskah kuno tersebut sudah berwarna kecoklatan. Sebagian tidak utuh lagi karena rusak atau hilang. Beberapa lembar tampak berlubang dimakan rayap dan ngengat.

Manuskrip tersebut umumnya dibuat pada abad ke-16 hingga abad ke-19. Dengan demikian, usia buku-buku koleksi Tarmizi rata-rata sudah 3-5 lima abad.

Sore itu, Tarmizi dengan bangga menunjukkan kitab Luffat al Tullab, salah satu koleksinya. Kitab ini karangan Syeikh Zakaria Ansari yang ditulis tangan pada abad ke-16. Bagian luarnya sobek, bekas gigitan rayap menghias pinggir buku. Manuskrip ini bertutur bermacam topik, mulai dari hukum Islam, cara berjihad, seni dan sastra, sejarah, hingga pengobatan.

Dari tuturan mengenai pengobatan di kitab itu, Tarmizi beberapa kali mencoba mempraktikkannya dengan meramu obat. Ramuan itu sangat jelas disebutkan di buku tersebut. Hasilnya tak mengecewakan. Penyakit batuk dapat disembuhkan dengan ramuan tradisional itu.

Kitab Luffat al Thulab dibuat pada masa akhir Kerajaan Samudera Pasai. Saat itu kertas adalah barang yang sangat langka di Aceh. Media tulisan sebagian besar berupa kulit kayu. Kertas didatangkan dari Eropa dan China oleh kerajaan. Itu pun sangat jarang karena membutuhkan waktu pesan 10-20 tahun.

Koleksi Tarmizi yang terbanyak berasal dari masa abad ke-17 hingga ke-19. Menurut Annabell Gallop, peneliti sejarah Asia Tenggara dari British Library, London, yang sore itu ikut berkunjung ke rumah Tarmizi, banyaknya temuan manuskrip dari abad ke-17 hingga ke-19 karena pada masa itu tradisi tulis-menulis memuncak di Aceh. Hal ini tak lepas dari kehadiran para penjajah dari Eropa yang memungkinkan kertas dapat didatangkan ke Aceh.

Kitab-kitab tersebut ditulis dalam aksara Arab-Jawi. Sebagian besar dituturkan dengan bahasa Melayu. Bahasa ini digunakan karena menjadi bahasa serantau atau lingua franca masa itu.

Di Perpustakaan Nasional Inggris di London tersimpan sekitar 10 manuskrip kuno asal Aceh. Dibandingkan dengan manuskrip kuno dari Jawa dan Malaysia, manuskrip kuno Aceh memang tidak banyak yang dikoleksi di Inggris. Hal tersebut karena Inggris tidak pernah masuk ke Aceh, kecuali saat Thomas S Raffles pesiar ke daerah ini pada pertengahan 1800-an.

Manuskrip kuno Aceh mempunyai keunikan dan bercitarasa seni tinggi. Setidaknya ini terlihat dari ornamen pada setiap bagian penanda halaman kitab koleksi Tarmizi. ”Walau, memang tak sebagus ornamen manuskrip dari Pattani dan Trengganu,” kata Gallop yang mengaku heran dengan minimnya kepedulian pemerintah terhadap koleksi Tarmizi.

Keprihatinan

Tahun 1995, Tarmizi mendapat tugas dinas ke Brunei. Di Brunei, dia berkesempatan mengunjungi perpustakaan nasional. Di situ dia mendapati ribuan manuskrip kuno Aceh bernilai sejarah tinggi terpajang. ”Saya sangat prihatin. Naskah-naskah kuno itu tak pernah saya lihat di Aceh. Di Aceh juga tak ada perpustakaan yang mempunyai koleksi sejarah Aceh selengkap itu,” tuturnya.

Berangkat dari keprihatinan tersebut, Tarmizi bertekad mencari dan mengumpulkan manuskrip kuno Aceh. Itu tidak mudah. Manuskrip tersebar di seluruh wilayah Aceh, bahkan di provinsi-provinsi sekitarnya. Banyak orang yang masih menyimpan manuskrip tersebut, tetapi tidak menyadari betapa pentingnya itu sehingga tak dipelihara dengan baik.

Tidak hanya di Aceh, Tarmizi bahkan berburu manuskrip kuno Aceh hingga ke pelosok-pelosok Sumatera Utara dan Riau. Kadang dia menukar kitab kuno itu dengan Alquran baru, beras, atau padi.

”Kalau semuanya diganti dengan uang, saya jelas tidak mampu. Apalagi, tak ada standar harga pasti atas kitab-kitab itu,” ujarnya.

Ratusan juta rupiah sudah dia keluarkan untuk mendapatkan manuskrip-manuskrip tersebut. Enam petak sawah warisan orangtuanya di Kabupaten Pidie sudah habis demi upaya tersebut.

Karena ketiadaan biaya, Tarmizi pun hanya bisa merawat koleksinya dengan cara tradisional. Kitab-kitab berusia ratusan tahun itu dibungkus kain putih, diberi kapur barus, lada hitam, lada putih, dan cengkih. ”Yang penting tak dimakan rayap,” katanya.

Tak sekalipun dia mendapat bantuan dari pemerintah untuk pemeliharaan. Bantuan restorasi manuskrip kuno justru pernah datang dari Pemerintah Jepang usai tsunami 2004 lalu. Dari sekitar 500 koleksi Tarmizi, sebanyak 56 naskah kuno berhasil direstorasi. Sayangnya, Tarmizi kesulitan merestorasi naskah-naskah lain karena ketiadaan biaya.

Tarmizi tidak menyerah. Dia pun mendigitalisasi naskah-naskahnya ke komputer. Sebanyak 23 naskah kuno berhasil didigitalisasi. Namun, biaya lagi-lagi menjadi kendala. Dia juga kesulitan mendapatkan orang yang mampu membaca teks kuno.

Dia kemudian mengajak kawannya yang peduli pada naskah kuno untuk mengalihaksarakan naskah koleksinya dari Arab-Jawi ke latin. Tak sia-sia, dua kitab rampung, yaitu Nazam Aceh (Syair Perempuan Tasawuf Aceh) karangan Pocut di Beutong dan Hujjah Baliqha Ala Jama Mukhashamah karya Jalaluddin bin Syekh Jamaluddin Ibnu Al Qadhi.

Saat ini, Tarmizi dan kawannya sedang menyelesaikan alih aksara kitab lainnya.

Ia tak pernah menjual atau mengomersialkan koleksinya. Jerih payah dan uang ratusan juta rupiah yang digunakan untuk mendapatkan dan memelihara manuskrip-manuskrip kuno itu didedikasikannya untuk pengetahuan generasi masa kini dan mendatang.

”Saya sangat senang dan bangga jika ada orang yang mau belajar dan meneliti manuskrip-manuskrip kuno ini,” katanya.

Tarmizi Abdul Hamid

• Lahir: Pidie, 31 Desember 1964 • Pekerjaan: PNS di Balai Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) Banda Aceh • Pendidikan terakhir: Fakultas Pertanian Universitas Abul Yatama, Banda Aceh (1997) • Istri: Nurul Husna (39) • Anak: 1. Salsabila Humaira (12) 2. M Rafi Halis (5)


Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/06/19/01471780/Selamatkan.Secarik.Kebesaran.Aceh

Korban: Nasib Kami Lebih Buruk dari Binatang

| | | 0 komentar
Di masa jayanya, empat pria itu memegang jabatan penting di Khmer Merah, juga dekat dengan sang penguasa, Polpot. Kini, nasib berbalik. Mulai Senin 27 Juni 2011, di masa tuanya, mereka harus duduk sebagai pesakitan, mempertanggungjawabkan perbuatannya: turut andil dalam pembantaian 1,7 juta orang. Hampir seperempat populasi rakyat Kamboja kala itu.

Mereka --tangan kanan Pol Pot, "kakak kedua" Nuon Chea, mantan Presiden Kamboja Khieu Samphan, mantan Perdana Menteri Kamboja Ieng Sary, dan mantan Menteri Sosial Kamboja Ieng Tirith, diadili dalam kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi 41 tahun lalu.

Pada 1970-1979, saat itu, darah tumpah di Kamboja dan nyawa dianggap tak berharga. Warga hidup dalam teror saat Khmer Merah mendeklarasikan dimulainya 'tahun nol' --sebuah revolusi yang merelokasi paksa warga ke desa-desa demi membangun sebuah utopia negara agraris.

Mimpi itu tak pernah tercapai, yang terjadi justru kematian massal. Ada yang dieksekusi, sakit, kelaparan, atau karena dipaksa kerja rodi.

Para terdakwa boleh menyangkal perbuatannya, namun korban tak akan pernah lupa. Pol Phala (59), salah satunya. Saat periode brutal itu terjadi, ia berusia 25 tahun. Perempuan itu masih ingat saat pasukan Khmer Merah mengusir warga dari kota.

“Waktu itu aku baru keguguran, mereka mengizinkanku beristirahat, tapi hanya sehari. Setelah itu mereka memaksaku berjalan jauh,” kata dia seperti dimuat situs Al Jazeera.

Kata Pol Phala, ia merasa seperti binatang, berjalan kaki dengan tubuh kesakitan berlumuran darah. “Nyatanya, kami semua seperti binatang, tapi makanan yang kami dapatkan bahkan lebih buruk dari makanan hewan.”

Mayat bergelimpangan jadi pemandangan lumrah di sepanjang jalan. “Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana melarikan diri, dan harus ke mana,” tambah dia.

Sampai akhirnya mereka tiba di Desa Sambo. Awalnya, Khmer Merah menyuruh mereka membuat benteng sawah. Tapi, kemudian mereka dipaksa membangun dam besar. “Kami bekerja tanpa alat, hanya dengan tangan. Sangat berat. Jika belum selesai, mereka tak akan memberi kami makan,” kata Pol Phala.

Bagaimana jika ada yang berontak? Kata dia, Khmer Merah pasti akan membunuh siapa pun yang tak menurut. Mereka akan memukuli orang itu di depan yang lain, hingga tewas, lalu menyeret jasadnya pergi.

Para penjaga yang bertugas mengawasi penduduk berusia antara 15-16 tahun. Buta huruf. Meski tergolong anak-anak mereka tak segan bertindak brutal, hingga tega membunuh.

Korban yang lain adalah Lon Him, seorang mahasiswa bisnis yang dipaksa jadi budak pertanian. Awalnya, saat melihat Khmer Merah untuk kali pertamanya, ia merasa sangat gembira. Perang sudah usai, kehidupan akan kembali normal. Tapi, ia salah besar.

Dengan todongan senjata, tentara memaksa mereka meninggalkan Phnom Penh. Menuju desa. Yang menentang, langsung dieksekusi mati. Di desa, warga dipaksa bekerja di sawah dan menggotong karung penuh beras sejauh 5 kilometer.

“Selama 12 jam dalam sehari, kerjaku mengangkut berkarung-karung beras,” kata dia.

Kerja keras tak diimbangi makan cukup. Tiap hari mereka hanya mendapat jatah potongan gedebok pisang dicampur sedikit beras --untuk dimasak sebagai bubur. Dengan tenaga seadanya, mereka tak boleh nampak malas. Akibatnya bisa fatal.

Beberapa orang dihilangkan paksa, dibunuh, biasanya mereka adalah orang yang bisa membaca dan dianggap terlalu banyak omong. Yang selamat adalah mereka yang bisa menyembunyikan asal-usulnya.

Selama itu, Lon Him kehilangan ayah dan empat saudaranya. “Mereka memperlakukan kami seperti binatang, padahal kami adalah manusia,” kata dia.

Puluhan tahun berlalu, ia mengaku masih menyimpan marah di hatinya. “Kami berharap ada keadilan untuk mereka yang tewas, yang kehilangan keluarga, dan mereka yang selamat dalam kondisi memprihatinkan.”

Sementara, kisah Hum Hoy (52) sedikit berbeda. Khmer Merah memberinya tugas berjaga di luar penjara. Sejauh itu, ia belum pernah menyiksa tahanan. Sampai suatu hari, Khmer Merah memintanya bersumpah sebagai kader.

“Saya lalu mengambil tongkat besi dan memukul tahanan di bagian leher belakang hingga tewas,” kata dia.

Namun, Hum Hoy berdalih, ia tak punya pilihan. Jika menolak, ia akan dicap sebagai ‘musuh revolusi’ dan menerima perlakuan buruk. Apakah dengan menjadi kader berarti ia aman? Tidak.

“Setiap orang diperintahkan untuk memata-matai yang lain. Untuk mencari kesalahan sesama kader. Saat itu saya selalu merasa ketakutan,” kata dia. “Jika pemegang pangkat tinggi mengeluarkan perintah, kami harus menurutinya agar selamat.” (art)

www.vivanews.com
http://dunia.vivanews.com/news/read/229643-korban--nasib-kami-lebih-buruk-dari-binatang

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?