SPANDUK Rp. 6.500,-/m Hub: 021-70161620, 021-70103606

Menggugat Pembantaian Rawagede

| | | 0 komentar
Menggugat Pembantaian Rawagede

Dia sudah cukup renta. Pada usia 87 tahun, dengan geligi tandas dan langkah agak limbung, Saih bin Sakam menyimpan kenangan buruk itu. Dia bersyukur, selamat dari pembantaian keji Belanda di Rawagede, Karawang, Jawa Barat, 64 tahun silam. Tapi Saih tak pernah lupa.

Dengan sisa kekuatannya—bahkan untuk memakai sepatu dia harus dibantu orang lain, Saih pergi ke Belanda pada November tahun lalu. Junito Drias dari Radio Nederland, sempat merekam lawatan Saih ke negeri yang pernah merampas hidup keluarganya itu. “Saya tak dendam,” ujar Saih. Wajahnya penuh kerut. Pecinya sedikit melorot.

Mengenang kembali proklamasi Republik Indonesia 66 tahun silam, tentu kisah Saih ini patut kembali disimak. Dia adalah saksi dari pembantaian keji, sebuah kejahatan perang Belanda di Indonesia: 431 warga Rawagede tumpas. Termasuk ayah, dan kawan-kawan Saih.

Sebagai saksi tragedi Rawagede, Saih ingin menuntaskan hal mengganjal itu dalam sisa hidupnya. “Daripada kepikiran terus, yang penting Belanda minta maaf kepada Indonesia,” ujar Saih dalam rekaman video Radio Nederland itu.

Kisah itu bermula 9 Desember 1947, tatkala Belanda melancarkan agresi ke republik Indonesia yang masih muda. Sekitar 300 serdadu Belanda menyerbu Rawagede, kampung petani miskin yang jadi basis gerilyawan republik.

Dipimpin Mayor Alphons Wijnen, ratusan serdadu Belanda menyisir desa itu. Tak satu pun jejak gerilyawan ditemukan. Warga juga bungkam. Murka oleh pembangkangan itu, Wijnen memaksa semua lelaki di atas 15 tahun berkumpul di lapangan. Matahari belum tinggi saat itu. Warga pun berbaris di lapangan.

Para serdadu itu tiba-tiba mengokang senjata. Lalu, trat-tat-trat-tat. Peluru melesat, ratusan warga roboh bersimbah darah. Ada yang mencoba lari, tapi peluru laknat itu lebih cepat ketimbang kaki-kaki kurus para petani.

Saih bin Sakam lolos dari maut. Dia hanya terluka di punggung, dan tangan. Kepada Radio Nederland, Saih menunjukkan bekas luka tembak itu. “Diberondong peluru di badan seperti ini”, ujar Saih. Di punggung, ada bekas lingkaran hitam. “Belum puas kali, maka saya ditembak lagi di bagian tangan,” ujar Saih.

Menurut dia, korban pembantaian hari itu hanya kaum lelaki. Kebanyakan pemuda. Para perempuan dan anak-anak, selamat. (Baca detil kisah pembantaian di Yang Terserak di Rawagede)

Mencari Lukas

Apa yang dicari Belanda di Rawagede? “Mereka mencari Kapten Lukas Kustario,” ujar sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Dr Baskara Wardaya kepada VIVAnews, pekan lalu di Yogyakarta. Lukas adalah komandan kompi Siliwangi .

Dijuluki “Begundal Karawang”, Lukas memang orang paling diuber Belanda. Ulahnya memusingkan. Dia kerap menyerang pos militer. Dia memimpin pasukannya membajak kereta api, menggasak senjata, dan amunisi kumpeni.

Rawagede sendiri adalah jalur lintasan para gerilyawan. Berbagai laskar rakyat singgah di sana. Juga para begundal dan perampok.” Lukas adalah target Belanda,” kata Baskara. Rakyat Rawagede sendiri membela gerilyawan itu.

Itu sebabnya, kata Baskara, mereka bungkam. Karena bungkam itu, Belanda marah. “431 orang dibunuh. Ada beberapa yang lolos, dan pura-pura mati. Mereka lalu menceritakan peristiwa itu,” kata Baskara menambahkan.

Saih pergi ke Belanda atas undangan Komite Kehormatan Utang Belanda. Dia sebetulnya ingin bertemu Ratu Belanda saat ini, Beatrix. “Kepinginnya sih Ratu bertemu, dan minta maaf. Tapi yang penting, berjabat tangan. Kita kan juga berterima kasih, dan saya memaafkan,” kata Saih. Sayang, untuk alasan yang kurang jelas, Ratu Beatrix menolak bertemu Saih.

Selain Ratu Beatrix, Saih juga ditampik oleh parlemen Belanda dari Komisi Luar Negeri. Tak jelas juga alasannya. Namun ada yang melegakan: Saih boleh bercerita kepada anak-anak sekolah di Kota Gronigen, Belanda Timur Laut.

Kepada anak-anak SD, Saih bercerita bahwa dia tak akan menggugat tentara Belanda. Dia ingin Belanda minta maaf kepada Indonesia, dan membayar ganti rugi. Para pelajar itu terperanjat. Mereka tak menyangka Belanda pernah sekejam itu.

Kadaluwarsa?

Tapi, belum lagi sampai cita-citanya itu, Saih bin Sakam meninggal pada 7 Mei 2011. Dialah korban terakhir tragedi Rawagede yang masih hidup sampai abad ke-21. Dia pergi, justru saat Belanda mulai membuka kasus itu di pengadilan.

Para kerabat korban pembantaian itu terus melaju (Lihat kronologinya di Infografik: Banjir Darah di Rawagede). Pada 20 Juni 2011, mereka menuntut Belanda, melalui pengadilan di Den Haag. Tujuannya, Belanda harus mengakui adanya pembantaian, meminta maaf, dan memberi ganti rugi.

Meski tak disuarakan resmi, Pemerintah Indonesia kabarnya mendukung langkah korban pembantaian Rawagede itu.

Dukungan pemerintah itu diungkapkan Ketua Yayasan Rawagede Sukarman kepada VIVAnews, di Rawagede, Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Karawang pekan lalu. Sukarman adalah cucu salah satu korban. Ia telah bolak-balik ke Den Haag mengikuti proses pengadilan kasus Rawagede di Pengadilan Belanda.

Menurut Sukarman, sebelum menggugat ke Belanda 15 Agustus 2008 lalu, mereka meminta izin ke Komisi I dan Komisi III DPR, serta ke MPR. “Kami juga diundang ke Departemen Luar Negeri, dan langsung dihubungkan ke Biro Eropa. Mereka katakan, lanjutkan tuntutan itu,” ujar Sukarman.

Selama proses gugatan itu pun, Sukarman dibantu oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Belanda. Sidang kasus itu dibuka 20 Juni 2011. Penggugat adalah sanak saudara korban Rawagede. Tergugat adalah pemerintah Belanda.

Perang argumen pun muncul di meja hijau. Pengacara pengugat adalah Liesbeth Zegveld. Dia aktif membela kasus hak-hak azasi manusia internasional, termasuk kejahatan kemanusiaan di Srebrenica, Bosnia.

Di sidang itu, Zegveld bercerita seperti halnya kesaksian Saih bin Sakam. Komite Utang Kehormatan Belanda juga menuntut ganti rugi bagi korban Rawagede. Ada juga sengketa soal jumlah korban. Penggugat mengatakan yang tewas 431 orang. Belanda dalam Nota Ekses 1969, mengatakan hanya 150 orang.

Selain itu, fakta baru diajukan oleh penggugat, berupa dokumen korespondensi. Disebutkan, para petinggi Belanda tak meragukan Wijnen bersalah. Jenderal Simon Spoor menulis surat kepada jaksa agung, bahwa Pengadilan Militer akan menghukum Mayor Wijnen. Tapi, Jaksa Agung tak jadi menggugat Wijnen. Alasannya, kasus itu 'tak ada lagi campur tangan, dan perhatian asing'.

Zegveld menilai para janda yang suaminya dibunuh militer Belanda di Rawagede, diperlakukan tak adil. Ini jika dibandingkan korban kejahatan perang dunia kedua terhadap Yahudi. Hak mereka sebagai korban perang dunia kedua diakui, dan menerima ganti rugi. “Ada kebiasaan Belanda tak menolak tuntutan korban perang dunia kedua hanya karena kadaluwarsa. Kebijakan ini juga harus berlaku bagi janda dari Rawagede,” ujar Zegveld, seperti dikutip Radio Nederland.

Sebelumnya, pengacara Belanda GJH Houtzagers mengatakan kasus pembunuhan oleh serdadu Belanda itu sudah kadaluwarsa. Lagipula, korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, telah meninggal Mei lalu. Houtzagers juga memberi argumen lain. Katanya, ada kesepakatan Belanda dan Indonesia pada 1966. Isinya, kedua pihak setuju mengakhiri sengketa keuangan.

Houtzagers mengingatkan Indonesia dan Belanda kini bekerjasama dalam banyak hal. “Belanda membantu tak saja desa Rawagede, tapi juga wilayah lain. Kedua negara memandang ke depan, membangun masa depan bersama, dan bukan melihat masa lalu,” kata Houtzagers.

Pintu ke kasus lain

Yang menarik, kata Zegveld, jika kasus Rawagede menang di pengadilan. Dampaknya positif bagi korban aksi militer Belanda lainnya di Indonesia. Mereka bisa menuntut ganti rugi juga.

“Kami ingin memberi tahu kepada masyarakat Belanda kejadian sebenarnya. Ini bukan kasus Rawagede saja. Di Sulawesi Selatan ada pembantaian Raymond Westerling, ada juga kasus Kaliprogo di Jawa Tengah, Gerbong Maut di Bondowoso, dan sebagainya”, kata Jeffry Pondaag dari Komite Utang Kehormatan Belanda.

Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda, Batara R Hutagalung sepakat. Dia mengatakan banyak aksi pembantaian Belanda sekitar 1945-1950 di Indonesia yang tak terungkap di dunia internasional. Ironisnya, Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) justru bermarkas di Den Haag, Belanda.

Batara yakin, jika Belanda konsisten, maka kasus ini bisa menang. Dia mengajukan contoh. Dua tahun lalu, ada bekas tentara Jerman dijatuhi hukuman seumur hidup. Dia membantai empat warga sipil di Belanda semasa perang. “Dia dihukum karena membunuh empat orang. Maka logikanya, yang membantai puluhan ribu bisa dimajukan ke pengadilan internasional. Itu sebabnya kami mengajukan kasus Rawagede,” kata Batara kepada VIVAnews.

Berhasilkah gugatan dari Rawagede? Hakim Pengadilan Den Haag mengatakan masih mempelajari pleidoi kedua pihak. Mereka segera memberi putusan dalam waktu 90 hari, atau pertengahan September 2011 ini.(np)

Renne R.A Kawilarang, Nila Chrisna Yulika, Anggi Kusumadewi

Laporan Erick Tanjung |Yogyakarta

www.vivanews.com
http://sorot.vivanews.com/news/read/240339-menggugat-pembantaian-rawagede

Yang Terserak di Rawagede

| | | 0 komentar
Senin, 8 Desember 1947. Lukas Kustario menghimpun kekuatan di Rawagede. Dia seorang serdadu. Pangkat Kapten. Suka nekat dengan nyali seribu. Petinggi militer Belanda memberinya julukan si Begundal Karawang. Kerjanya selalu bikin berang kumpeni.

Berkali-kali Lukas sukses menggempur pos militer Belanda. Dia juga jadi momok sebab kerap menyergap mendadak patroli serdadu Kumpeni di daerah-daerah di sekitar Bekasi dan Karawang.

Berkali-kali diserbu dengan cara mengejutkan, militer Belanda membuat perhitungan dengan Lukas. Dan suatu ketika petinggi serdadu di Jakarta mendengar informasi Lukas bakal melintas di Rawagede.

Rawagede adalah sebuah desa di Rawamerta. Terletak di antara Bekasi dan Karawang, Rawagede sudah menjadi markas gabungan semua laskar pejuang kemerdekaan. Di situ ada Laskar Citarum, Barisan Banteng, Hizbullah, juga kelompok laskar lain yang menyala semangatnya mengusir Belanda.

Di kawasan itu banyak orang kaya. Semangat mereka untuk merdeka juga membara. Itu sebabnya para laskar membangun basis di sini. Kaum berada itu suka cita menyumbang logistik. Tanpa diminta. Bukan hanya telur ayam. Kerbau pun mereka sumbang. Demi republik.

Pagi itu, Kapten Lukas hendak menghela pasukan ke Cililitan. Menyerang basis serdadu kumpeni di Jakarta. Persiapan sudah matang. Tapi sungguh celaka tiga belas. Pukul sembilan pagi, seorang mata-mata melapor ke Markas Belanda. Belanda berang. Pasukan bersenjata bergegas. Menyusun siasat menyerbu duluan. Pukul empat sore masuk berita dari Karawang. Rawagede bakal dibumihangus.

Penduduk di sana gemetar. Apalagi Kapten Lukas yang cekatan itu sudah membawa pasukan. Sudah tiba di Cibinong. Dan yang terjadi sore itu memang bukan perang. Tapi pembunuhan. Warga desa dihajar ribuan serdadu kumpeni. Berusaha bertahan warga desa membangun benteng. Serdadu Belanda susah merangsek.

Tapi benteng itu cuma sakti sejenak. Sebab serdadu Belanda menganti siasat. Menyerbu dari semua sudut. Jadilah kampung itu terkurung. Warga setempat menyebut siasat model beginian sebagai pengepungan “letter O”. Pukul 12 malam Rawagede sudah di “letter O” oleh Belanda.

Warga kampung melawan ribuan serdadu, jelas bukan perang. Kalah jumlah. Kalah senjata. Di keremangan Selasa subuh, 9 Desember 1947, sebagian warga berusaha kabur dari neraka jahanam itu. Berlari ke arah sawah. Celaka, Belanda sudah menunggu di situ.

Sebagian ditangkap. Sisanya putar balik. Kembali ke desa. Tapi mereka yang berlari pulang itulah yang sial. Pelor berdesing mengejar. Menancap di badan, berjatuhan, lalu mati. Merasa di atas angin, pasukan Belanda merangsek masuk desa. Warga yang bertahan lintang pukang mencari perlindungan.

Tapi yang ada cuma rumah penduduk yang gemetar. Yang mengunci rapat pintu rumah. Cuma sedikit yang membuka pintu. Tapi Belanda justru menaruh curiga dengan rumah-rumah yang terkunci rapat itu. Pintu didobrak, mengeledah semua sudut rumah, dan mengiring penghuni keluar.

Di halaman kampung mereka dibariskan. Laki-laki disuruh berjejer. Ketakutan tiada terkira menyapu wajah mereka. “ Di mana Lukas?” bentak seorang tentara Belanda. Mereka yang berjejer ketakutan itu diam seribu bahasa. Dipaksa buka mulut, mereka cuma menjawab, “Tidak tahu.” Para serdadu Belanda itu murka alang kepalang.

Dan “tidak tahu” itu bisa berarti kematian. Peluru langsung menghujam. Mereka yang berjejer itu berjatuhan. Tersungkur menemui ajal termasuk para lelaki belia belasan tahun. Warga di sana menyebut penembakan model beginian, di dredet.

Pukul 12 siang serdadu Belanda menemukan sebuah rumah yang dipenuhi pejuang dan warga. Dari wanita tua hingga anak-anak Belia. Pasukan Kumpeni langsung memberondong. Sebagian langkah seribu masuk hutan. Banyak pula yang lari lewat saluran air. Berlari sembunyi ke arah sungai. Banyak yang masuk ke dalam air. Juga sembunyi di bantaran sungai, di antara rerimbunan rindang pohon. Agak aman memang.

Tapi itu cuma sementara. Sebab serdadu Belanda menghela anjing galak ke bantaran sungai. Anjing-anjing itu menggonggong seperti sedang berburu. Tahu ada warga di sana, para serdadu beramai-ramai memberondong. Mereka berjatuhan bersimbah darah. Mayat-mayat mengambang dan hanyut. Air sungai berubah merah darah.

Hari itu, 9 Desember 1947, 431 warga laki-laki sipil Rawagede mati bersimbah darah. Hari itu, para lelaki punah dari kampung ini. Hanya tersisa kaum wanita. Mereka menangis sejadi-jadinya. Mengenang anak, suami dan ayah yang bertebar tanpa jiwa di sawah-sawah dan bantaran sungai.

Para wanita itu cuma bisa termangu. Ratusan jenasah itu urung dimakamkan sebab malam sudah datang. Esok harinya, Rabu 10 Desember 1947 ratusan wanita kampung bahu membahu mengangkut jenazah. Mengubur anak, suami, juga ayah.


***

Pagi 9 Desember 2008. Nikolas van Dam berdiri tegak. Duta Besar Belanda untuk Indonesia itu berdiri di depan Monumen Rawagede. Bangunan itu berbentuk bunga melati yang belum lagi mekar. Bagian belakang monumen itu bersambung dengan Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga. Ratusan makam berjajar. Di sana terpampang tulisan besar mengenang kepiluan dari masa lalu itu, ‘Esa Hilang Dua Terbilang.’

Hari itu, Van Dam menghadiri peringatan 61 tahun tragedi Rawagede. Tragedi itu dikenang setiap tahun. Entah untuk membunuh kepiluan itu, warga kemudian menganti nama Rawagede menjadi Desa Balongsari. Tapi duka itu tetap di kenang. Tanggal 9 Desember 2008, warga desa memenuhi kawasan pemakaman itu.

“Atas nama pemerintah Belanda, saya ingin menyampaikan rasa penyesalan yang dalam atas segala penderitaan yang harus dialami,” kata Van Dam di hadapan keluarga para korban pembantaian. Sesudah diperingati selama 61 tahun, itulah kali pertama seorang pejabat Belanda hadir di pemakaman itu.

Peristiwa itu, lanjut Van Dam, merupakan salah satu contoh paling menyedihkan dari cara Belanda dan Indonesia saling berpisah, “Dengan begitu menyakitkan dan penuh kekerasan.” Tindakan brutal para serdadu itu, lanjutnya, telah menaruh Kerajaan Belanda pada tempat yang salah dalam sejarah, sampai kapan pun.

Van Dam hadir di pemakaman itu atas desakan Van Bomel. Harry van Bomel adalah salah seorang anggota parlemen negeri kincir angin itu. Dia wakil Partai Sosialis. Tanggal 18 November 2008, tiga pekan sebelum peringatan itu, Bomel mengajukan mosi ke parlemen Belanda (Tweede Kamer). Bomel meminta parlemen agar mendesak pemerintah mengirim Duta Besar ke acara peringatan pemakaman ini.

Sesudah melewati perdebatan berhari-hari, anggota parlemen menerima usulan itu. Lalu keputusan parlemen pun terbit. Parlemen Belanda mulai membahas kasus ini, sesudah keluarga korban pembantaian itu mengajukan gugatan ke Pengadilan Belanda, 15 Agustus 2008. Pengadilan atas kasus ini kemudian menyedot perhatian media massa dan pemerhati hak asasi manusia internasional.

Sukarman, Ketua Yayasan Rawagede, yang juga anak salah seorang korban pembantaian, bolak-balik Jakarta-Den Haag untuk menghadiri proses peradilan dan melakukan audiensi dengan parlemen Belanda. Oktober-November 2010, ia pergi ke Belanda membawa korban pembantaian yang ditemukan selamat dan masih hidup. 15-30 Juni 2011, ia kembali bertolak ke Belanda sambil membawa sejumlah janda.

***

Tanggal 9 Agustus 2011. Panas menyergap Desa Balongsari. Terik mentari terasa membakar kulit. Namun Suryadi dan Junaedi tetap setia menyapu dan merawat monumen itu. Kepada VIVAnews.com yang berkunjung ke situ, mereka berkisah soal pembantaian itu.

“Warga benar-benar sakit hati karena dibantai tanpa tahu apa salahnya,” kata Junaedi. Pembantaian itu, katanya, sudah jadi ingatan kolektif warga. Diperingati bersama-sama.

Menjadi desa yang tergolong makmur ditahun 1947 itu, kini Rawagede berjalan lambat. Tertinggal dari desa-desa di sekitar. Sekitar 80 persen penduduk desa hidup di bawah garis kemiskinan. Mayoritas warga jadi buruh tadi.

Siang 9 Agustus 2011 itu, sejumlah warga terlihat melintas di jalan kering berdebu. Memakai topi tani, membawa pacul. Sejumlah warga terlihat menumpang sepeda ontel menjaja barang kerajinan tangan.

Surya, Kepala Urusan Kelurahan Desa Balongsari, menegaskan bahwa kehidupan warga desa memang belum menggembirakan. “Hanya 20 persen warga desa ini yang tergolong mampu. Sisanya hanya buruh tani dan usaha kecil-kecilan,” kata Surya.

Ironisnya, dari total areal persawahaan di desa itu, hanya 30 hektar yang dimiliki oleh penduduk asli Rawagede. Sisanya dikuasai pendatang. Desa ini terlihat garing. Sungai yang dulu merah darah itu, kini kering kerontang. Jika ada air menggenang, warnanya hitam pekat.

Di beberapa tempat di pinggir sungai, tampak berdiri kakus seadanya bertiang bambu. Rumah-rumah penduduk yang reyot tampak berselang-seling dengan sedikit rumah yang layak.

Siang 9 Agustus itu, VIVAnews bertemu dengan Nenek Cawi di Sampurna Raga. Dia sudah tua renta. Usianya 87 tahun. Artinya, nenek Cawi berusia 23 tahun ketika pembantaian itu terjadi. Meski renta, dia merekam jelas tragedi itu. Kakak dan suaminya mati pada hari itu.

Dia lalu berkisah. “Saat itu saya sedang tidur, lalu dibangunin suami. ‘Bangun... bangun... banyak Belanda.’ Waktu itu perempuan nggak boleh keluar rumah. Harus diam di rumah saja. Nggak boleh ikut-ikutan lelaki.”

Di luar terdengar bunyi tembakan. Nenek renta ini berusaha mengulang kisah jahanam itu. “ Dor dor dor, tekdung tekdung tekdung, dredededet. Sorenya, perempuan nyariin mayat. Laki saya mati. Rata-rata laki kena tembakan di kepala. Ada yang sampai kepalanya putus. Kakak saya kena di dada. Dihitung ada 9 lubang,” ujar Nenek Cawi. Esok harinya, lanjut nenek Ciawi, kaum wanita susah payah memilah-milah mayat sanak saudara sebab banyak mayat yang berantakan.

Kehidupan setelah pembantaian itu, berjalan sangat sulit. Susah, karena isi desa ini hampir perempuan semua. Semua mengungsi dari Rawagede. “Jadi 15 hari pertama setelah pembantaian, desa kosong,” kenangnya.

Apakah nenek tua ini masih menyimpan dendam? Dan menghendaki para pembantai itu dihukum berat. Ditanya soal itu, sang nenek terdiam sejenak. Lalu, “Saya mah orang bodoh. Itu urusan orang pinter. Ibu sudah nggak ada dendam. Ibu yakin anak-cucu Ibu akan bales,” katanya.

Balas, yang dimaksudkan nenek renta ini bukan membunuh. Tapi menuntut keadilan atas penderitaan panjang itu. Dan itulah yang kini dilakukan salah seorang cucunya, Sukarman.

Berhari-hari, bertahun-tahun kemudian Rawagede menjadi kampung janda. Penyair kondang, Chairil Anwar, mengenang pembantaian itu lewat sajak Karawang Bekasi. Chairil menulis sajak itu di daerah Anjun, dekat Masjid Agung Karawang.

Karawang-Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

Chairil Anwar (1948)


www.vivanews.com
http://sorot.vivanews.com/news/read/240341-jejak-berdarah-rawagede

Ibu Harus Pilih, Anak Mana yang Akan Mati

| | | 0 komentar
Perjalanan para pengungsi Somalia menuju negara tetangga untuk mencari makan kadang menghabiskan waktu berhari-hari. Dalam perjalanan, seorang ibu tidak jarang terpaksa meninggalkan anak mereka yang tidak berdaya, demi kelangsungan hidup anak yang lainnya.

Kenyataan pahit ini harus dijalani oleh Wardo Mohamud Yusuf, seorang ibu berusia 29 tahun. Wardo telah berjalan selama dua minggu di tengah terik menuju perbatasan Kenya. Di tempat ini, dia berharap mendapatkan makanan dan minuman di tenda pengungsian yang disediakan negara jiran.

Wardo menggendong anak perempuannya yang berusia satu tahun di punggungnya, sementara anak lelakinya yang berusia empat tahun berjalan bersamanya. Dua minggu berjalan dengan makanan dan minuman yang minim, bocah lelaki malang tersebut ambruk.

Wardo langsung memberikan sedikit minuman yang dia bawa di kepalanya kepada putranya. Namun, karena tidak sadarkan diri, bocah itu tidak dapat meneguk air untuk menghilangkan dahaga. Wardo berteriak minta tolong, keluarga dan kerabatnya tidak ada yang berhenti. Mereka tetap berjalan, mengkhawatirkan diri mereka sendiri.

Akhirnya, Wardo harus memilih. Sebuah pilihan yang ibu manapun pasti sulit melakukannya.

"Akhirnya, saya putuskan untuk meninggalkan dia, menitipkannya kepada Tuhan, di tengah jalan," ujar Wardo ketika diwawancara di kamp pengungsi di Dadaab, Kenya, dilansir dari laman Daily Mail, Jumat, 12 Agustus 2011.

Pengalaman serupa pernah dialami oleh Faduma Sakow Abdullahi, janda 29 tahun. Dia mengaku berjalan berhari-hari dari kampung menuju Dadaad bersama lima orang anaknya yang berusia 5, 4, 3, 2 dan seorang bayi yang baru dia lahirkan.

Tinggal sehari lagi sampai di kamp pengungsian, putra dan putrinya yang berusia 5 dan 4 tahun tidak bangun setelah istirahat sejenak di bawah pohon. Air yang dia bawa tinggal sedikit, Faduma mengaku tidak ingin menyia-nyiakan air yang bisa diberikan kepada anak-anaknya yang lain itu.

Dia harus memilih, memberikan air kepada anak-anaknya yang sekarat dan membiarkan bayinya kehausan, atau meninggalkan kedua anaknya di jalan dan memberikan air kepada anaknya yang lain. Akhirnya dia memilih untuk meninggalkan mereka berdua. Ragu, Faduma sempat bolak-balik untuk memastikan kedua anaknya telah tewas.

Baik Faduma maupun Wardo sadar betul apa yang mereka lakukan. Mereka mengaku selalu dihantui rasa bersalah yang teramat besar. Wardo mengatakan dia selalu terbayang putranya ketika melihat anak sebayanya bermain. Dr. John Kivelenge, ahli masalah kejiwaan di Dadaad mengatakan keputusan mereka adalah keputusan yang normal.

"Itu adalah reaksi normal di tengah situasi yang abnormal. Mereka tidak mungkin duduk dan menunggu lalu mati bersama-sama," kata Kivelenge.

"Namun setelah beberapa bulan, mereka akan mengalami post-traumatic stress disorder. Mereka akan mendapatkan mimpi buruk dan kilas balik peristiwa tersebut," lanjut Kivelenge lagi.

Menurut laporan pemerintah Amerika Serikat, kelaparan di Somalia telah menewaskan 29.000 anak-anak di bawah umur lima tahun dalam tiga bulan terakhir. Kelaparan antara lain disebabkan kemarau panjang, mahalnya harga pangan, dan konflik berkepanjangan.



www.vivanews.com
http://dunia.vivanews.com/news/read/240260-ibu-harus-pilih--anak-mana-yang-akan-mati

populer

Layak dibaca

IKUT TAMPIL....... BOLEH....?